Rapor Merah dari Petani Kecil, BPDP Sawit Perlu Bebenah

 

 

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sudah berusia dua tahun. Para petani kecil masih memberi catatan (rapor) merah buat badan ini, terutama soal alokasi anggaran dan target penyaluran dana sawit. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pun menilai dana berjalan tak sesuai mandat UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014.

”Kalau dari petani rapor merah, kalau pengusaha ya rapor hijau,” kata Mansuetus Darto, Ketua SPKS, dalam konferensi pers Review Dua Tahun Kinerja BPDP-KS, di Jakarta, dua pekan lalu.

Kontribusi BPDP-KS kepada riset dan pengembangan industri sawit terutama kapasitas petani sangat sedikit dibandingkan subsidi bahan bakar nabati atau biodiesel kepada produsen biodiesel.

Hanya 10% alokasi pengembangan sektor sawit dari Rp11,7 triliun penerimaan dana sawit 2016.

Berdasarkan laporan KPK, subsidi biofuel menuju pada tiga grup usaha perkebunan terdiri atas 11 perusahaan besar, sejak Agustus 2015-April 2016. Aliran dana kepada perusahaan-perusahaan PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Wilmar Bioenergi, PT Musim Mas, dan PT Damex Biofuel mencapai 81,7%  dari penerimaan dana.

”Dana 10% dari penerimaan BPDP-KS dialokasikan bagi lima kegiatan utama sekaligus itu keterlaluan. Padahal, penggunaan dana biodiesel ini tidak tercantum dalam UU. Kenapa bisa masuk ke peraturan turunan? Sudah begitu, porsi alokasi besar pula. Dana sawit bukan untuk korporasi,” katanya.

SPKS mengindikasi ada ‘penyelundupan’ pasal pengaturan biodiesel dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2014 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, yakni Pasal 9 ayat (2).

Sedangkan, Pasal 93 ayat (4) UU Perkebunan, penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana perkebunan.

”PP ini sangat tidak sesuai konstitusi. Kami mempertanyakan masuknya penggunaan dana bagi biodiesel dari dana himpunan BPDP-KS,” katanya.

Dengan ada ketidaksesuaian pasal di kedua beleid ini, SPKS akan meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait peran dan fungsi BPDP-KS. Langkah lanjutan uji materi Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 24 /2015 ke Mahkamah Agung, Juli nanti.

Dia optimistis, bersama Koperasi Unit Desa yang bergabung dalam koalisi akan menang dalam uji materi.

Darto menilai, ada kepentingan tertentu bermain dan ada indikasi monopoli dana subsidi biodiesel.

Hifdzil Alim, dosen hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, PP Nomor 24 /2015 mengandung unsur transfer pricing. “Dana terkumpul langsung disalurkan lagi ke korporasi sawit.  Padahal duit dari mereka juga. Ini mirip transfer pricing. Ini perlu dilawan karena petani akan jadi korban. Dana sawit tak tersalur ke mereka.”

 

Terlalu sulit

Vincentius Haryono, petani Tanjung Jabung Barat, Jambi menyebutkan,  mekanisme pengajuan dana BPDP-KS masih terlalu sulit dan berbelit-belit.

Pasalnya, ada perbedaan angka dalam rencana anggaran replanting (RAR) antara petani dan pemerintah. Bagi petani rakyat, biaya replanting hanya Rp35 juta per hektar. Sedangkan pemerintah mengharuskan petani memiliki RAR Rp60 juta per hektar untuk dapatkan dana BPDP-KS,

Tak hanya itu, petani harus punya tabungan untuk dapat uang. ”Bisa saja pinjam ke bank, tapi mereka butuh jaminan.”

Jika tak terpenuhi untuk replanting, biasa petani menjual lahan. Lalu buat tambahan hidup jadi buruh tenaga panen. ”Jika petani mengamini itu, kemiskinan bagi kami, kami tidak memiliki kebun lagi.”

Haryono bercerita, akhirnya warga replanting swadaya. ”Padahal lahan yang bisa replanting capai 10.000 hektar. Apa benar uang pungutan dana sawit turun ke petani lagi?”

Selain masalah pendanaan, legalitas dan tumpang tindih lahan perkebunan sawit masih jadi kendala petani di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Bahriansyah, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Paser menyebutkan, wilayahnya sebagian besar petani plasma sawit sejak 1980-an.

Dulu, kebun sawit milik para transmigran yang ditinggalkan karena dianggap tak mampu menafkahi dan digarab transmigran baru.

Proses balik nama sertifikat tanah ini, katanya, jadi kendala dalam BPDP, dimana ada syarat pemohon dan nama sertifikat harus sama.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Passer, luas perkebunan mencapai 180.328,7 hektar, 79.219 hektar milik pekebun plasma dan swadaya.

Dinas Perkebunan masih menunggu realisasi dana BPDP-KS untuk penanaman ulang sawit. ”Sudah tiga kali pelatihan dengan BPDP, namun karena persiapan belum tuntas, replanting belum dilaksanakan hingga hari ini,” katanya.

Senada dikatakan Gunardi Sudarmanto, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang,  Kalimantan Barat. Dia khawatir, petani plasma masih belum bisa replanting karena belum mendapatkan dana BPDP Sawit. Padahal, umur tanaman sudah 20 tahun. ”Kami coba mencarikan permodalan untuk para petani plasma.”

Sejauh ini, katanya, di Sintang infrastruktur masih belum memadai, ada 46 perusahaan memiliki izin, hanya empat pabrik sawit. ”Jika semua menghasilkan baik, pabrik akan over.”

Untuk mengangkut ke PKS lain perlu sarana dan prasarana memadai. Harapannya, petani swaaya mandiri dapat terakomodir dari bibit hingga infrastruktur.

 

Janji Kementan

Pada kesempatan berbeda, Bambang, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, menargetkan 45% dari dana BPDP untuk peremajaan sawit, pada 2018.

”Jika dana BPDP sawit Rp10 triliun 40% untuk peremajaan, artinya ada Rp4 triliun, dengan bantuan Rp25 juta per hektar maka akan ada kebun replanting 160.000 hektar,” katanya.

Bambang menilai, produktivitas sawit masih di bawah standar dan kalah dengan Malaysia. Di Indonesia, petani sekitar dua sampai tiga ton per hektar, swasta empat ton per hektar. Berbeda dengan Malaysia, produktivitas mencapai 10 ton per hektar.

Pada 2017, BPDP sawit menargetkan 20.750 hektar lahan sawit dengan ketersediaan benih 60.000 hektar.

Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) menyebutkan, BPDP belum memiliki kapasitas mencapai pekebun rakyat.

“Mengembalikan tujuan dari pengelolaan BPDP-KS ke UU dan konstitusi, bahwa penggunaan dana itu bukan untuk korporasi, tapi peningkatan kapasitas pekebun sawit dan peningkatan perkebunan sawit.”

Dia mendesak, perlu ada akuntabilitas dan transparansi dari BPDP-KS, misal, bekerjasama dengan KPK dan BPK agar kinerja lebih baik.

Kala kini BPDP banyak dekat dengan ‘petani’ besar, ke depan petani rakyat juga dibisa terakomodir, salah satu membantu peningkatan legalitas mereka.

Tata kelola penggunaan dana sawit pun perlu perbaikan, dimana porsi biodiesel, replanting, riset dan lain-lain perlu penyeimbangan. ”Idealnya 40% untuk kebun, sisanya biodoesel karena itu penting juga.”

Perbaikan alokasi dana ini, katanya, akan menampung semua perwakilan parapihak.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,