Ekspedisi Ini Temukan Peninggalan Budaya Maritim Sangihe

 

 

Fuad Ansyori, didapuk jadi ketua tim UGM Maritim Culture Expedition di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara pada 25 April-10 Mei 2017.  Pada ekspedisi The Northen of Nusantara ini, mereka berhasil mengungkap potensi bawah laut Sangihe dari memetakan dan menginventarisasi peninggalan budaya maritim.

“Kami dapatkan 25 situs tersebar di tiga Sangihe,” katanya kepada Mongabay, pekan lalu.

Pemilihan Sangihe, katanya, karena pulau terdepan di bagian utara Indonesia, yang kemungkinan jadi tempat bangsa asing masuk ke nusantara, terutama masa kolonialisme. Terbukti, ada beberapa tinggalan arkeologi berupa kapal, jangkar, dan bangunan bergaya kolonial.

Penelitian sejarah maritim banyak, namun mengambil tema di perdagangan maritim di jalur pulau-pulau besar seperti Sumatera (Sriwijaya), Majapahit, dan Kalimantan.

“Daerah perairan Sulawesi Utara termasuk Sangihe, jadi daerah pertempuran dan perebutan kekuasaan antara antara Jepang dan sekutu pada Perang Dunia II,” kata Fuad.

Tim ekspedisi terbagi tiga kelompok ke tiga wilayah di Kecamatan Tahuna, Manganitu, dan Manganitu Selatan. Sebelum penerjunan, tim disuksi dengan intansi terkait dan masyarakat lokal. Ada 15 mahasiswa dari berbagai fakultas dan departemen terlibat ekspedisi ini.

Di bawah laut, katanya, ada beberapa obyek mereka survei, dari hasil penggalian informasi dengan masyarakat ada tinggalan berupa kapal dan jangkar.

Satu kapal di Pelabuhan Tua Tahuna kedalaman 18-25 meter, panjang 40 meter dan tinggi tujuh meter dengan sebagian besar bagian kapal ditumbuhi terumbu karang.

Juga ada dua jangkar di Kampung Lesa. Jangkar tak jauh dari bibir pantai Kampung Lesa, sekitar 50 meter dari garis pantai kedalaman 5-7 meter di bawah permukaan laut. Berukuran besar dan panjang sekitar 3,4 meter, ditumbuhi karang dan terlihat sangat tua. Kedua jangkar berdekatan dengan jarak sekitar 10 meter.

“Kondisi koral dan biodiversiti di Sangihe, kami tak banyak tahu. Untuk Tempat survei di Pelabuhan Tua Tahuna dan Kampung Lesa, kondisi koral masih bagus, begitu juga di Kampong Lesa,” katanya.

Fahmi menambahkan,  tim menggali informasi budaya di Sangihe, misal, tradisi mengubur keluarga yang meninggal di depan rumah atau dalam rumah, bahkan di bawah tempat tidur.

Bagi Orang Sangihe,  tak ada jarak orang mati dengan yang hidup. Mereka percaya ada ingkude, kehidupan setelah kematian, dan roh adalah kuduwa (kembaran manusia).

Sangihe banyak tradisi budaya, namun kontak dengan Belanda membawa budaya penginjilan, hingga beberapa tradisi luntur.

Dulu masyarakat Sangir mengandalkan kehidupan dari laut, setelah pembajak laut dari Sulut termasuk Mindanau untuk ekspansi, orang Sangir berpindah pemukiman ke pegunungan.

“Selama mereka bersembunyi di hutan-hutan, perbukitan, tradisi nelayan dan pertanian mereka tak maju,” katanya.

Soal menjaga kebersihan laut masih kurang. Warga membuang sampah di laut, hingga kala penyelaman banyak sampah plastik. Namun,  tak semua masyarakat Sangihe seperti itu, banyak peduli kondisi lingkungan. Banyak masyarakat Sangihe peduli budaya mereka.

Sedangkan peran pemerintah dalam menjaga kearifan lokal belum terlihat. Yang terus menjaga budaya baru masyarakat lokal dan Balai Arkeologi Manado, yang wilayah kerja mencakup Sangihe.

 

Pendataan peninggalan maritim dan kekayaan laut Sangihe. Foto: tim ekspedisi Sangihe UGM

 

Fairuz Azis, juga tim ekspedisi mengatakan,  hasil survei di Tahuna ada 12 situs meliputi kompleks bangunan dan benda arkeologi. Bangunan bergaya kolonial mendominasi tinggalan di Kecamatan Tahuna, antara lain gereja, makam, rumah, jangkar tua, dan kapal karam.

Sultan Karunia AB mengatakan, di Manganitu terdapat lima situs arkeologi meliputi makam raja rumah raja, gereja, dan goa yang tersebar di beberapa desa.

Goa merupakan tinggalan zaman prasejarah, berada di tepi pantai dan ada lukisan bergambar wajah dan manusia pakai pahat.

Di Manganitu Selatan, ada delapan tinggalan arkeologi berupa kerkhof (makam Belanda), Ceruk Rangka, keramik, makam, meriam, goa, dan kompleks kubur batu.

“Hasil ekspedisi telah kami presentasikan di Balai Arkeologi Manado (Balar). Mereka apresiasi hasil temuan kami,”katanya.

 

Ekspedisi Wakatobi

Sementara itu, Kelompok Studi Kelautan Biogama Fakultas Biologi UGM, mengeksplorasi Perairan Pulau Wangi-wangi di gugusan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Citra Septiani mewakili tim ekpsedisi mengatakan, mereka terbagi lima tim penelitian, yakni tim penelitian algae dan lamun, crustacea, echinodermata, mollusca, serta pisces dan coral.  Mereka melakukan pengamatan dan penelitian terkait ekosistem dan biodiversitas laut di empat lokasi yakni Pantai Liya, Soumbu, Waha, dan Waelumu.

“Potensi perairan di Pulau Wangi-wangi tergolong tinggi, spesies ikan, hewan laut, dan terumbu karang cukup beragam ” katanya.

Hasil eksplorasi di Pulau Wangi-wangi, Pantai Soumbu ditemukan tujuh spesies lamun atau tumbuhan Angiospermae hidup di dasar laut pada zona intertidal pantai.

Di Pantai Waha, biota laut cukup beragam. Ada 11 famili ikan karang, Echinodermata, e famili anggota Crustacea, empat famili anggota Mollusca, serta sembilan spesies lamun.

Tutupan karang di kedalaman tiga meter terdapat karang hidup 51%, sembilan meter karang hidup 25% dan kedalaman 10 meter karang hidup hanya 10%.

Di  Pantai Waelumu, dijumpai 10 famili ikan karang, lima spesies Echinodermata, lima famili anggota Mollusca, dan delapan famili anggota Crustacea. Di Pantai Liya, ada lima spesies Echinodermata, tiga famili anggota Mollusca, tujuh famili anggota Crustacea, serta satu spesies lamun.

“Kami juga adakan pelatihan  pengelolaan terumbu karang dan ekowisata desa. Juga edukasi tentang penting menjaga laut dan lingkungan kepada anak-anak di Kampung Bajo,” kata Citra.

Peneliti Naturalis Biodiversity Center, Belanda, Dr. Bert W. Hoeksema ditemui Mongabay di Yogyakarta mengatakan, upaya konservasi terumbu karang sangat perlu.  Salah satu, katanya dengan memulai eksplorasi potensi terumbu karang di perairan Indonesia.

Walau sudah banyak penelitian, katanya, masih banyak terumbu karang belum berhasil terungkap, termasuk di Indonesia.

Terumbu karang, katanya,  mempunyai berbagai peran penting baik sebagai habitat dan tempat berlindung organisme lain dan sumber makanan. Terumbu karang juga bisa sebagai obat-obatan.

“Bunga karang yang organisme kunci dalam ekosistem laut juga berperan sebagai filter alami yang mampu menyaring virus dan bakteri” katanya.

 

Tim Ekspedisi Sangihe UGM. Foto: tim ekspedisi

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,