Penambangan Pasir di Perairan Galesong Terus Berlanjut, Warga Ultimatum Pemprov Sulsel

Tuntutan masyarakat Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan yang menolak penambangan pasir di laut terus berlanjut dan kian mengarah ke ancaman tindakan anarkis. Pemerintah Provinsi Sulsel dan perusahaan dinilai tidak konsisten memenuhi janji mereka. Aktivitas pengambilan pasir masih terus berlanjut melanggar kesepakatan mereka dengan warga selama ini.

Amarah dan kekecewaan warga ditumpahkan pada saat pertemuan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulsel di Hotel Colonial, Makassar, Kamis (22/6/2017). Pertemuan ini adalah tindak lanjut dari hasil rapat kordinasi pelaksanaan pertambangan pasir laut Kabupaten Takalar pada 10 Mei 2017 lalu di Ruang Rapat Sekretaris Daerah Pemprov Sulsel.

 

 

Pertemuan yang dihadiri Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel yang mewakili Gubernur, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel dan Komisi Amdal Sulsel, Pemda Takalar dan sejumlah camat dan kepala desa di Takalar seharusnya merupakan diskusi dan sosialisasi namun berubah ricuh ketika warga dari Galesong dan Sanrobone Takalar menggunakan momentum ini untuk mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proses penambangan tersebut.

“Tambang ini harus segera dihentikan sebelum ada korban jiwa. Coba bayangkan dalam sehari kapal itu bisa tiga kali pulang balik ambil pasir dengan selisih 8 jam. Yang kami inginkan adalah pemerintah ataupun perusahaan harus membuat pernyataan bahwa pertambangan itu tak ada lagi,” ungkap Haji Mone, salah seorang perwakilan warga.

(baca : Ramai-ramai Menolak Tambang Galian Pasir Laut di Galesong)

Haji Mone mengakui ia hampir mati ketika perahu yang ditumpanginya hampir saja tenggelam ketika berusaha mengejar kapal yang sedang beroperasi.

Warga semakin marah ketika Camat Galesong Utara, Syahriar, yang dianggap pro tambang mencoba memberikan klarifikasi dan menenangkan warga.

“Tuntutan bapak dan ibu itu sudah diterima…” katanya, yang langsung dipotong warga namun salah faham dengan pernyataan tersebut dan serentak berteriak:

“Pembohong! Dari dulu kami menolak. Kami tidak pernah terima!” teriak warga histeris.

 

Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel, Hasbi, menyatakan akan menghentikan aktivitas tambang pasir yang dilakukan oleh kapal Fairway milik perusahaan Boskalis di perairan Galesong. Foto: Wahyu Chandra

 

Irfan, salah seorang warga lain bahkan menyerukan untuk menyandera seluruh pejabat yang ada dalam ruangan sebelum menyatakan menerima tuntutan warga dan ikut menolak keberadaan tambang pasir tersebut.

“Tak ada pejabat di ruangan ini boleh pergi sebelum memberi pernyataan akan menolak tambang pasir,” katanya, yang segera disambut warga lain dengan teriakan, “Betull!”

(baca : Tolak Tambang Pasir, Masyarakat Galesong Utara Lapor ke KPK)

Menanggapi tuntutan warga tersebut, Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel, Andi Hasbi, menyatakan bahwa penambangan tersebut tidak bisa serta merta dihentikan, namun ada aturan hukum yang harus dilalui. Masyarakat tidak bisa memaksakan kehendaknya karena ada aturan hukumnya.

“Tidak bisa langsung begitu saja. Namun kita akan menghentikan dulu ini (aktivitas pengerukan kapal Fairway). Proses untuk menghentikan selanjutnya akan kita selesaikan. Kita tidak bisa menghentikan begitu saja. Walhi sendiri tidak bisa menghentikan begitu saja,” katanya.

Warga langsung memotong sambil berteriak lantang, “Kami bisa!”

Andi Hasbi yang mulai terpancing meninggikan suara. “Semua ada aturan mainnya. Kalau bapak punya aturan main untuk menghentikan silahkan. Negara ini negara hukum. Kalau seperti ini tidak ada yang bersifat langsung. Kalau kita sepakat berada di negara hukum maka kita harus berdasar hukum. Kita harus melaksanakan sesuai prosedur,” katanya.

Mendengar tanggapan Kadis PLH tersebut, Muhammad Al Amin, Kepala Biro Advokasi Walhi Sulsel menimpali bahwa pernyataan Kadis PLH agar warga menaati hukum bukanlah hal yang tepat saat itu. Hanya upaya tarik ulur pemerintah. Ia menilai situasi tersebut tidak akan selesai dan akan terus berulang selama tak ada langkah konkrit dari Pemprov Sulsel.

“Sekarang kita akan mendengar apakah Gubernur Sulsel yang diwakili oleh Kadis lingkungan hidup setuju dengan masyarakat agar menghentikan pertambangan Galesong. Jangan bertele-tele. Sekarang tugas kita adalah agar kapal itu berhenti dan pergi dari Galesong. Kita mau agar semua kapal-kapal tersebut meninggalkan Galesong sekarang juga. Pakai otoritas gubernur atas nama Kadis lingkungan hidup untuk menghentikan aktivitas tersebut,” ungkap Amin berapi-api.

(baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris)

Mendapat tantangan tersebut Kadis PLH langsung mengiyakan untuk memenuhi sebagian dari tuntutan warga.

“Ok. Khusus untuk kapal itu, saya menyatakan akan meminta agar ditarik hari ini,” katanya, yang segera mendapat tepuk tangan dari warga.

 

Sekitar 100-an perahu jolloro dari Galesong Kabupaten Takalar, Sulsel, menduduki kawasan CPI. Membentangkan spanduk penolakan tambang pasir. Mereka mulai berangkat dari Kampung Beru, Galesong Utara, sejak pukul 06.00 dan tiba di Pantai Losari sektar pukul 07.30. Foto: Wahyu Chandra

 

Irfan mengapresiasi pernyataan tersebut namun ia menilai itu harus dibuktikan dengan ditariknya kapal pengeruk pasir tersebut yang kini masih berada di wilayah perairan Galesong.

“Kita akan lihat di aplikasi apakah kapal tersebut sudah bergerak meninggalkan lokasi atau tidak. Jika memang sudah ada pergerakan maka kami akan keluar dari tempat ini. Dan seterusnya kami berharap tak ada lagi penambangan. Panggil dulu pihak kapal,” ujar Irfan setengah berteriak.

Menurut Amin, pernyataan Kadis BPLH itu adalah garansi (jaminan) bahwa kapal pengeruk pasir itu akan menghentikan aktivitasnya dan segera meninggalkan perairan Galesong.

“Sekarang waktunya kita akan memantau. Kalau ada pergerakan yang nyata maka kita tinggalkan tempat ini dan sebaliknya jika tidak kita akan tetap bertahan,” katanya mengulang seruan Irfan.

Amin melanjutkan bahwa Walhi beserta masyarakat akan terus berupaya memperjuangkan penghentian pertambangan itu.

“Kita akan terus berjuang hingga pertambangan itu dihentikan. Kita akan memaksa Provinsi Sulsel, Gubernur Syahrul Yasin Limpo untuk menghentikan penambangan dengan mencabut izin yang terlanjur sudah dikeluarkan untuk perusahaan tersebut,” katanya.

Setelah ada jaminan dari Kadis DPLH Sulsel, sejumlah perwakilan masyarakat dari berbagai desa menyatakan pernyataan sikap.

“Pada hari ini saya menyatakan mewakili seluruh masyarakat Galesong Selatan khususnya warga Bonto Marannu menolak penambangan pasir. Bahkan kami sudah melakukan penghadangan di kapal,” ungkap Dunial Maulana, Kepala Desa Bonto Marannu, Galesong Selatan.

 

Kapal pengeruk pasir Fairway setelah sempat menghentikan pengerukan pasir selama tiga hari kembali beraktivitas dengan pengawalan dari Polair. Foto: NT/ist

 

Tetap Berlanjut

Menurut Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, kemarahan warga terkait aktivitas penambangan pasir ini adalah buntut dari ketidakkonsistenan pihak perusahaan yang terus melakukan penambangan meski izinnya belum lengkap.

“Di sisi lain pemerintah Provinsi Sulsel terkesan menutup mata terhadap aktivitas tersebut, meski izinya belum lengkap,” katanya.

Pada 9 Mei 2017 lalu, warga sempat mencegat dan memaksa sebuah KM Bulan di sekitar perairan Galesong. Melalui mediasi dari Kapolres Takalar, kapten kapal berjanji untuk tidak lagi melakukan penambangan dan menyatakan saat itu mereka masih sebatas melakukan survey.

Masalah semakin membesar ketika sebuah kapal pengeruk pasir lain dengan kapasitas lebih besar, yaitu Fairway datang dari Belanda. Tak menunggu lama sejak kedatangan, kapal ini langsung beroperasi di sekitar perairan Galesong. Warga sendiri bisa memantau aktivitas dan kedatangan kapal-kapal tersebut melalui aplikasi FindShip yang diunduh dari Google Store.

Warga sempat bemain kucing-kucingan dengan pihak kapal. Warga bahkan melakukan pencegatan dan melemparkan petasan ke kapal, yang membuat kapal segera meninggalkan kawasan tersebut.

Setelah aksi pencegatan tersebut, terdengar kabar bahwa kapal Fairway akan berhenti beroperasi sementara sebelum adanya kepastian perizinan. Namun warga menanggapi kabar tersebut dengan dingin, dianggap sebagai isu yang sengaja disebar agar masyarakat lengah.

Aktivitas Fairway sempat terhenti tiga hari setelah pencegatan tersebut. Namun pada 18 Juni 2017, Fairway kembali melakukan aktivitas dengan kawalan dari Polair. Beberapa warga yang berusaha melakukan pencegatan terhenti karena adanya kawalan tersebut. Hingga kemudian Pemprov menginisasi pertemuan di Hotel Colonial tersebut.

Pantauan Mongabay menggunakan aplikasi FindsShip beberapa jam setelah pertemuan di Hotel Colonial tersebut, terlihat bahwa kapal tersebut memang meninggalkan perairan Galesong. Sayangnya tidak pulang menuju kawasan Centerpoint of Indonesia (CPI) Makassar, namun menuju Kepulauan Tanakeke yang jaraknya beberapa mil dari perairan Galesong.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,