Hari Sagu, Upaya Mereka Merawat Tanaman Kehidupan

 

Sagu bermakna penting bagi kehidupan warga. Guna menguatkan makna ini, berbagai elemen di Papua, menggagas 21 Juni sebagai Hari Sagu.

Mereka ini, terdiri dari Kelompok Pencinta Alam Hirosi, Komunitas Pramuwisata Papua, Papua Jungle Chef Community, Klub Pencinta Alam Mangrove, Kelompok Hutan Sagu Yebha Keera dan PT AJN Agri Papua (Anjap).

Bertempat di Kampung Kwadeware Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Rabu (21/6/17), perayaan perdana Hari Sagu bersamaan dengan Festival Sagu.

Kelompok masyarakat dari Kampung Kwadeware, Suku Korowai dan Marind Merauke ikut terlibat dalam festival ini.

“Kita lihat kasat mata alih fungsi dusun sagu cepat sekali. Sagu pohon bermanfaat untuk kehidupan, punya nilai sakral, tapi kita membiarkan hutan sagu hilang. Karena itu, kami menggagas Hari Sagu sebagai pengingat untuk kita semua,” kata Marsel Suebu, Ketua Kelompok Pencinta Alam Hirosi.

Festival ini dilaksanakan langsung di tengah dusun sagu. Para pengunjung diberi kesempatan belajar cara menanam sagu, melihat penebangan, proses jadi tepung hingga jadi berbagai jenis makanan.

Beragam menu. Ada papeda, sagu bakar, sagu bakar campur ikan, sagu bakar isi gula dan kelapa, pisang bakar, papeda dan ikan kuah hingga ulat sagu.

Semua jadi santapan gratis pengunjung sambil menanyakan proses pembuatan kepada masyarakat yang menyiapkan. Pengunjung juga bisa merasakan sensasi berada di rumah pohon khas Suku Korowai—disiapkan khusus acara ini.

Sagu bermanfaat bagi berbagai kebutuhan. Selain bahan pangan, daun bisa jadi atap, keranjang dan sapu lidi, gabah sebagai lantai dan kulit batang jadi dinding rumah.

Tanaman ini perlu 10 tahun baru bisa panen. Ia mudah tumbuh di tanah berair dan teduh. Banyak sagu tumbuh sendiri, tetapi kini banyak masyarakat berinisiatif menanam terutama di lahan-lahan terbuka seperti di Kampung Kwadeware.

Sagu membutuhkan tempat teduh untuk tumbuh, perlu tanaman tumpang sari seperti pisang dan antar tanaman berjarak lima meter. Pisang tanam di antara bibit sagu.

Siska Manam, warga Jayapura mengatakan, mereka tak menkonsumsi sagu tiap hari. “Di rumah selalu ada sagu, tapi hanya makan pada Minggu atau saat ada bikin ikan kuah,” katanya.

Senada dikatakan Agus. “Jarang juga. Kalau mace ada beli ikan atau daging, itu berarti kita makan dengan papeda. Lebih sering makan nasi.”

Awalnya, sagu adalah makanan pokok bagi masyarakat di pesisir Papua. Kini makanan sagu hanya dijumpai dalam acara-acara khusus. Sebagai makanan pokok, sagu sudah tergantikan beras.

“Ini Hari Sagu, hari di mana orang-orang diajak mengingat sagu. Walaupun kecil, ini semangat yang kita mau bangun,” ucap Marsel.

Konsep Festival Sagu ini menuai pujian dari para pengunjung. Pengunjung tampak menikmati acara.  Pada 21 Juni, sengaja dipilih karena bertepatan dengan Hari Krida Pertanian, berdekatan Hari Lingkungan 5 Juni.  Juga bertepatan dengan ulangtahun Presiden Joko Widodo.

Marsel mengatakan, gagasan Hari Sagu dari masyarakat ini juga mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Jayapura.

Pemerintah, katanya, berencanna membahas kembali peraturan daerah Jayapura No.3/2000 tentang hutan sagu, hingga kini belum terimplementasi.

“Di Papua hanya Kabupaten Jayapura yang memiliki Perda Sagu 17 tahun lalu tapi mati suri. Kabupaten punya upaya membahas kembali.”

Dia bilang, perayaan ini sebagai tonggak baru revisi kekurangan aturan itu. Marcel sebutkan, beberapa kekurangan seperti belum ada satuan tugas untuk memberi sanksi jika penjualan hutan sagu tak melalui prosedur. Sanksi, katanya, dianggap terlalu ringan.

Dia berharap, revisi Perda Hutan Sagu ini, masuk APBD perubahan Kabupaten Jayapura.

L Franky dari Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Masyarakat Adat (Pusaka) mengatakan, industri perkebunan sawit adalah ancaman terbesar bagi Papua, baik bagi dusun sagu, hutan maupun tempat penting lain masyarakat adat.

Meski ada mekanisme seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) utnuk melindungi sumber-sumber pangan masyarakat, namun tak jarang perusahaan mengabaikan.

Dengan begitu, katanya, penting bagi Papua—sebagai wilayah dengan hutan sagu terluas di Indonesia– untuk memprakarasi perlindungan hutan dan dusun sagu, salah satu lewat Hari Sagu.

 

Dua warga sedang berada di dusun sagu. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

Industri sagu

Di Papua, perusahaan besar sagu mulai beroperasi, salah satu Anjap, yang mensponsori Festival Sagu ini. Investigasi Pusaka, Anjap menguasai lahan seluas 40.000 hektar untuk industri sagu berlokasi di Distrik Metamani Sorong Selatan.

Anjap, adalah anak perusahaan Austindo Group milik miliarder Indonesia George Tahija. Beberapa anak perusahaan Austindo Group ini beroperasi di perkebunan sawit, pertambangan dan kelistrikan di Papua.

Terkait kehadiran perusahaan sagu, Marsel Suebe memberikan pendapat. “Kita mau sagu jadi pangan kuat untuk Indonesia dan dunia. Untuk industri, tak bisa diambil di hutan masyarakat.”

Pengolahan sagu perusahaan maupun masyarakat, sama penting. Hanya perlu diatur lahan yang tepat untuk perusahaan. Lahan bernilai religi dan ekologi harus tetap terjaga.

Franky berpendapat lain. Perusahaan sagu, katanya, justru ancaman baik lingkungan maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua.

Contoh nyata, ada  Distrik Metamani tempat AJN beroperasi. Masyarakat setempat hidup dari penangkapan ikan dan udang di rawa. Penebangan sagu jumlah besar akan mengubah ekosistem dan berdampak pada ekonomi masyarakat.

Belum lagi, tanaman sagu dibeli dengan harga sangat murah, hanya Rp8.000 perpohon. Dia menilai, kehadiran perusahaan tak memberikan dampak sosial maupun ekonomi berarti kepada masyarakat.

Di Kampung Yobe, Sentani, ada Kelompok Waliyau mengolah sagu jadi tepung menggunakan mesin. Tiap minggu kelompok ini hanya mengolah satu batang sagu. Satu batang bisa hasilkan 100 kg tepung sagu.

Sumber sagu dari dusun sagu milik masyarakat. Hasil pana dibagi bersama.

“Sebaiknya dikelola masyarakat sendiri dengan skala terbatas, menggunakan pengetahuan masyarakat. Bukan perusahaan yang belum diketahui risiko sosial dan ekologi seperti apa.”

Nunìk Mahaŕani Maulana, Head Corporate Communicatìons  ANJ mengatakan,  Anjap merupakan anak usaha Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ) bergerak bidang pemanenan dan pengolahan sagu jadi tepung.

Anjap, katanya, sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang sagu.

“Keterlibatan kami sebagai salah satu sponsor sejalan dengan tujuan mempopulerkan sagu. Kami akan terus aktif melihat peluang kegiatan, sesuai kemampuan sumber daya kami, agar sagu makin mendapat tempat di masyarakat Indonesia.”

Soal operasi perusahaan yang khawatir menimbulkan masalah, katanya, setiap industri pengolahan sumber daya alam pasti ada dampak.

“Bagi kami, kuncinya pengembangan bertanggung jawab, yaitu keseimbangan antara kegiatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi di Sorong Selatan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga lingkungan,”’ katanya.

Sagu, katanya, berpotensi besar tetapi belum terkelola maksimal hingga perlu perhatian, tak hanya swasta, juga pemerintah dan masyarakat.

Dia bilang, mereka beropèrasì dengan izin dan dukungan pèmeriñtah maupun masyarakat. “Ďinamika sosial di Sorong Selatan memang jadi tantangan. Setiap isu sosial ķami vèrifikasi dan bicarakan dengan pemangku kepentinģan ťerkait.”

 

Sagu dan ikan dimasak dengan bakar batu di Festival Sagu. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,