Sumut Rumuskan Perbaikan Tata Kelola Tambang Bersama

 

 

Pemerintah Sumatera Utara bersama Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Sumatera, menandatangani rumusan bersama menyelamatkan hutan dan perbaikan tata kelola tambang.

Penandatanganan ini inisiasi Walhi Sumut dan LBH Medan. Dari Pemerintah Sumut penandatangan Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), dan Dinas Kehutanan. Walhi Sumut dan LBH Medan juga membubuhkan tanda tangan di Medan, Rabu sore (21/6/17).

Adapun bunyi rumusan bersama ini soal peran bersama penyelamatan hutan di Sumut, mendorong perbaikan tata kelola pertambangan, dan menindak tegas perusahaan pemegang izin logam dan batubara, yang melanggar aturan.

Isi lain, mengenai saling berbagi informasi dan data, mendorong akses kelola masyarakat di hutan bekas tambang menjadi perhutanan sosial. Selain itu, review izin pertambangan logam dan batubara, serta monitoring dan mendukung upaya perbaikan tata kelola pertambangan.

Terakhir, mendorong kebijakan moratorium izin pertambangan logam dan batubara, sampai ada evaluasi tata kelola.

Sebelum penandatanganan, pejabat dari dinas terkait memaparkan kondisi dan penanganan kehutanan serta pertambangan di instansi masing-masing, baik Dinas Kehutanan maupun Dinas ESDM Sumut.

 

Beragam permasalahan

Merry Carolina, Kepala Bidang Pengusahaan Hutan, Dinas Kehutanan Sumut, mengatakan, berdasarkan luas hutan di Sumut hutan lindung sekitar 1, 200 juta hektar atau 39,49% dari luas hutan.

Luas hutan konservasi 427.000 hektar, hutan produksi konversi 75.684 hektar, hutan produksi tetap 704.000 hektar, dan hutan produksi terbatas 641.749 hektar.

Untuk izin-izin pertambangan, katanya,  lewat izin pinjam pakai kawasan hutan dari hutan lindung dan hutan produksi.

Data yang mereka miliki, ada 10 pengguna izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan di Sumut, seperti di Mandailing Natal, Padang Lawas, Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, dan Langkat.

Dedi Kurniawan Nasution, Fungsional Inspektur Tambang, Dinas Pertambangan dan Energi Mineral (ESDM) Sumut, mengatakan,  ada beberapa kewajiban pemegang izin pertambangan harus dilakukan selain mendapatkan IUP atau izin khusus, yakni, menerapkan kaedah teknik pertambangan yang baik, dan mengelola keuangan sesuai sistem akutansi Indonesia. Juga meningkatkan nilai tambah, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, dan mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta lingkungan harus terjaga baik.

“Jadi semua yang mengantongi izin harus melaksanakan semua aturan. Jika mengabaikan akan diberi peringatan tertulis hingga pencabutan izin. Operasi alat dan keselamatan juga harus diperhatikan, apakah baik bagi masyarakat sekitar dan lingkungan atau tidak? Ini penting untuk menyelamatkan konservasi di dunia pertambangan, ” ucap Dedi.

Dia mengatakan, tanggung jawab pengawasan pemerintah di sektor tambang, ada aspek teknis oleh inspektur tambang, dan non teknis kepada pejabat pengawas tunjukan pemerintah.

Masalah di lapangan, katanya, pejabat pengawas sangat sedikit dengan  area luas hingga banyak tak terawasi. “Ini menyebabkan pengawasan pertambangan tak optimal.”

 

Kondisi hutan Batang Toru kala jadi tambang emas. Foto: Ayat S Karokaro

 

Pertambangan banyak belum ikuti kaedah teknis yang benar, katanya, penyebab lain karena pedoman teknis dan bimbingan teknis kurang. “Sumberdaya manusia terbatas, dan dana pemerintah terbatas. Kesadaran pemegang izin dalam pengelolaan lingkungan juga rendah.”

Bukan itu saja. Tata kelola tambang buruk karena banyak pemilik tambang belum memahami peraturan. Pengawas atau penanggung jawab perusahaan pertambangan, belum berkompeten. Hal lain, katanya, belum ada aturan khusus terhadap komoditas batuan, hingga perlakuan sama dengan logam dan batubara.

Data Dinas ESDM, di Sumut, ada tiga kontak karya, IUP logam dan batubara 11 izin dan IUP batuan 250 izin dengan tahapan eksplorasi dan operasi produksi.

Oslan Purba, Kepala Departemen Pengembangan Program dan Monitoring Evaluasi Walhi Nasional, mengatakan, di kawasan hutan termasuk sekitar pertambangan, kemiskinan cukup tinggi. Secara nasional 10,2 juta orang miskin di kawasan hutan dan 25.000 desa di sekitar dan dalam hutan yang bergantung hidup pada hutan. Mereka sulit akses terhadap hutan.

Konflik terus terjadi di kawasan hutan. Catatan Walhi, ada pergeseran dari konflik infrastruktur ke perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Pertambangan, juga salah satu sumber konflik sumberdaya alam di Indonesia termasuk di Sumut.

Dari identifikasi Walhi, sumber konflik antara lain kebijakan negara tak pro terhadap masyarakat miskin, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam. Negara, katanya,  lebih suka memberikan hak pengelolaan kepada perusahaan besar, dan unit usaha semacam koperasi, tetapi sebetulnya manipulatif. Di belakang koperasi, katanya, ada pengusaha yang memanfaatkan.

Kebijakan negara, katanya, jadi satu sumber konflik utama. Meskipun kini digembor-gemborkan perhutanan sosial dengan lahan pencadangan 12,7 juta hektar untuk rakyat dan reforma agraria lewat program 9 juta hektar tetapi rencana kerja kementerian dengan rencana tak sejalan.

Dia contohkan, rencana perhutanan sosial tahun ini hanya 300.000 hektar, sementara program Presiden 2,5 juta hektar.

Soal pertambangan rakyat ilegal, kata Oslan, juga persoalan, seperti terjadi di Mandailing Natal, Sumut, seharusnya ada penegakan hukum.

“Pertambangan rakyat jika masif, akan berkontribusi terhadap perusakan hutan. Tanpa ada aturan jelas soal pertambangan rakyat, Walhi tak akan pernah mendukung,” ucap Oslan.

Beberapa tahun lalu, Walhi mengkritisi soal tambang dari penetapan wilayah pertambangan, yang dianggap kurang partisipatif. Masih ada problem di penetapan wilayah pertambangan. Masyarakat, katanya,  seharusnya menolak wilayah jadi pertambangan.

Selain soal penetapan wilayah pertambangan, masalah lain reklamasi pasca tambang. Banyak perusahaan-perusahaan tak bertanggung jawab. Nasib jaminan reklamasi juga tak jelas.

“Bencana ekologis mulai terjadi di kawasan pertambangan. Ini harus disikapi serius. Konsep wilayah kelola tambang berbasis masyarakat harus diutamakan. Jangan sampai ruang bagi rakyat makin kecil.”

Dana Tarigan, Direktur Walhi Sumut, mengatakan, target pertemuan ini demi menguatkan pengawasan izin tambang. Selama ini, perizinan tambang di kabupaten/kota amburadul.

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,