Warga Desa Tiberias Menang! PTUN Manado Batalkan IUP-B PT Malisya Sejahtera

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado memenangkan gugatan warga Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Majelis hakim, melalui putusan nomor 90/G/2016/PTUN.Mdo, tanggal 21 Juni 2017, membatalkan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) PT Malisya Sejahtera.

PT Malisya Sejahtera adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengambangan kelapa hibrida. Sejak 2001, perusahaan ini memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Tiberias. Kemudian, pada 10 Mei 2016, mereka memperoleh IUP-B yang diterbitkan pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow melalui kepala kantor pelayanan perizinan terpadu.

Terbitnya dua izin tersebut menimbulkan reaksi. Masyarakat menggelar protes, demonstrasi serta menempuh jalur hukum. Pada 22 November 2016, warga Desa Tiberias menggugat IUP-B perusahaan. Kemudian, 24 November 2016, warga kembali menggugat sertifikat HGU PT Malisya Sejahtera.

(baca : Konflik Agraria, 31 Warga Desa Tiberias, Ditangkap, Bangunan Dibakar dan Tanaman Dirusak)

 

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Utara menuding perusahaan telah melakukan pelanggaran dalam pemanfaatan IUP-B. Sebab, dalam penelusuran, mereka menemukan komoditas yang dikembangkan PT Malisya Sejahtera adalah kelapa genja dan kelapa sawit.

Padahal, menurut mereka, Bappeda-PMS Bolaang Mongondow dalam tata ruangnya, merekomendasikan komoditas Izin Usaha Perkebunan (IUP), yaitu kelapa hibrida dan kelapa dalam.

Kemudian, masih menurut catatan Walhi Sulut, sejumlah izin yang dimiliki perusahaan seluruhnya terbatas pada kegiatan pengelolaan perkebunan kelapa dalam dan kepala hibrida. Tidak termasuk kelapa genja dan kelapa sawit. Izin-izin itu di antaranya, Surat Izin Undang-Undang Gangguan, Tanda Daftar Perusahaan Perorangan (TDP), Surat Izin Tempat Usaha, dan Surat Izin Usaha Perdagangan.

“Tapi, dalam praktiknya, sebelum terbitnya objek sengketa, PT Malisya Sejahtera telah menanam kelapa genja dan kelapa sawit di lokasi objek sengketa. Dalam hal ini, nyata-nyata pemerintah telah sangat tidak cermat dalam menerbitkan objek sengketa,” demikian tertulis dalam laporan yang diterima Mongabay Indonesia.

(baca : Konflik Lahan di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow Berlanjut, Perusahaan Bongkar Pondok Warga)

Theo Runtuwene, Direktur Walhi Sulut, dari temuan tersebut menilai, PT Malisya Sejahtera telah mengembangkan komoditas yang juga tidak sesuai dengan izin kantor pelayanan perizinan terpadu.

“Dalam objek sengketa ada kelapa dalam dan kelapa sawit. Tidak besar. Kurang-lebih 15 sampai 20 hektar. Tapi itu sudah melanggar aturan,” kata Theo Runtuwene kepada Mongabay, Senin (26/6/2017).

 

Tanaman Sawit di lokasi objek sengketa yang diduga milik PT Malisya Sejahtera. Foto : Walhi Sulut

 

Dalam laporannya, Walhi Sulut memang meminta pemerintah untuk mencabut seluruh izin PT Malisya Sejahtera yang tidak sesuai prosedur. Sebab, mereka menilai, dalam penerbitan izin, pemerintah harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Sawit dinilai hanya memberi dampak buruk, dan karenanya, akan mendapat penolakan masyarakat.

Dengan dicabutnya izin oleh PTUN Manado, Theo berharap, perusahaan tidak melakukan aktifitas di lokasi objek sengketa dan menghormati proses hukum. Kemudian, jika dalam prosesnya, peradilan tetap berpihak pada masyarakat, dia juga berharap warga memperoleh ganti-rugi.

 

Putusan Hakim Dinilai Janggal

Sementara itu, kuasa hukum perusahaan merasa adanya kejanggalan dalam putusan tersebut. Dalam sebuah rilis, mereka menyatakan, majelis hakim telah sangat keliru memberikan pertimbangan hukum yang membatalkan IUP-B PT Malisya Sejahtera.

Karena, kuasa hukum perusahaan menilai, yang menjadi objek Tata Usaha Negara Manado adalah sah atau tidaknya proses penerbitan IUP-B PT Malisya Sejahtera, yang diterbitkan pemerintah. Namun, dalam prosesnya, majelis hakim malah membatalkan IUP tersebut karena hal yang dianggap sederhana atau di luar kewenangan hakim.

“Yaitu karena PT Malisya Sejahtera belum membuat pelaporan berkala kepada dinas perkebunan. Sedangkan, fakta hukumnya, dari pihak penggugat saja tidak mencantumkan hal tersebut dalam gugatannya. Bahkan, dari pihak tergugat, dalam hal ini Pelayanan Terpadu Satu Pintu, tidak mempersoalkannya,” demikian diterangkan dalam rilis tersebut.

 

Tanaman sawit di lokasi objek sengketa diduga milik PT Malisya Sejahtera. Foto : Walhi Sulut

 

Kemudian, masih menurut kuasa hukum PT Malisya Sejahtera, jika membaca dan menganalisa Permen Pertanian 98/2013, mekanisme pencabutan IUP-B bisa dilakukan melalui surat peringatan dari pemberi izin. Peringatan itu dilakukan sebanyak 3 kali dengan tenggat waktu 4 bulan.

“Ini domain pemberi izin, bukan PTUN Manado. Sehingga jelas sekali, pertimbangan majelis hakim tersebut telah sangat fatal. Karena telah menabrak Permen Pertanian 98/2013 tentang Pedoman Izin Usaha Perkebunan.”

Menyikapi putusan tersebut, kuasa hukum akan mengajukan banding ke PTUN Makassar. Sehingga, secara hukum, IUP-B PT Malisya Sejahtera diyakini tetap berlaku sepanjang putusan PTUN belum berkekuatan hukum tetap dan tergugat belum mencabut secara tertulis IUP-B tersebut.

“Atas potensi dugaan abuse of power tersebut, maka kami akan melaporkan tindakan pihak-pihak yang telah memberikan atau menjatuhkan putusan dan mencabut IUP-B perusahaan, kepada Komisi Yudisial, Kepolisian, atas dugaan pelanggaran kewenangan yang telah dilakukannya.”

 

Menanti Putusan HGU

Berdasarkan kronologis yang diterima Mongabay Indonesia, sengketa agraria ini bermula pada 2001, ketika Badan Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow menerbitkan sertifikat HGU atas nama PT Malisya Sejahtera. Luas lahan mencapai 177,1320 hektar.

Terbitnya sertifikat tersebut dianggap menyalahi prosedur dan hukum yang berlaku. Sebab, sesuai catatan Walhi Sulut, penerbitan sertifikat HGU itu, tidak membuat terlebih dahulu pengesahan akta PT Malisya Sejahtera, pada Kementerian Hukum dan HAM.

“Sertifikat HGU ada terlebih dahulu. Kemudian, mereka minta izin ke Kemenkumham. Ibarat anak belum lahir, sudah ada aktanya,” jelas Theo Runtuwene, Direktur Walhi Sulut. “Sidang Sertifikat HGU diputus tanggal 5 Juli 2017. Semoga kami menang lagi,” harapnya.

 

Bangunan warga desa Tiberias yang diduga dirusak karyawan PT Malisya Sejahtera. Foto : warga desa Tiberias

 

Pejabat Bupati Bolaang Mongondow juga sempat mencabut izin HGU PT Malisya Sejahtera. Pencabutan izin itu dilakukan pada 15 September 2016.

Tak terima dengan keputusan itu, 27 September 2016, perusahaan menggugat balik. Hasilnya, pada 24 November 2016, PTUN Manado mengabulkan gugatan PT Malisya Sejahtera.

Berbekal kemenangan itu, pihak perusahaan berkeras melakukan aktifitasnya dengan melakukan pengosongan lahan yang ditempati warga. Mereka juga meminta pemerintah kabupaten dan pemerintah desa menghimbau warga, agar membongkar bangunan dan mengosongkan lahan secara sukarela.

Konflik agraria ini, sempat berujung ketegangan antara warga dan aparat keamanan. Selasa (2/5/2017), terjadi pembongkaran pondok-pondok warga, tindak intimidasi dan kekerasan, serta aksi penangkapan terhadap 31 warga desa Tiberias.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,