Kajian soal RUU Perkelapasawitan: Bukan Untung, Malah Bisa Buntung

 

Pembahasan RUU Perkelapasawitan terus bergulir. Pada 6 Juni 2016, DPR dan pemerintah (Badan Legislasi dan Kementerian Hukum dan HAM) rapat kerja memutuskan perubahan program legislasi nasional RUU prioritas 2015-2019. RUU Perkelapasawitan, usulan anggota lintas fraksi inisiatif DPR masuk Prolegnas 2017.

Beragam kritikan muncul kala DPR bertahan mengusung RUU ini, dari bahasan materi sampai substansi diduga hanya mementingkan kepentingan pengusaha sawit dan jauh dari perbaikan tata kelola sawit.

Awal Juni, Kemitraan bersama dengan Rimawan Pradiptyo, peneliti Universitas Gadjah Mada dan Willy Riawan Tjandra, peneliti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengkaji RUU Perkelapasawitan dari sektor ekonomi dan hukum. Publikasi berjudul Pembebanan Risiko Bisnis Korporasi kepada Sektor Publik yang menyebutkan, RUU Perkelapasawitan akan membebankan APBN.

Rimawan Pradiptyo, juga Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, mengatakan, dari sisi ekonomi, RUU ini sama sekali tak akan mendukung peningkatan ekonomi lewat devisa negara. Malahan, katanya, khawatir akan membebani fiskal negara.

”RUU ini tak ada prinsip ekonominya. Kami analisis, seharusnya high risk, high return. Namun, RUU low risk, high income. Ini tak rasional, ini (dikatakan) the slavery game,” katanya. Slave adalah pemerintah, yang bakal berakhir pada publik yang taat membayar pajak negara, sedangkan master of game adalah pemodal.

Analisis ini menyatakan, RUU banyak berbicara fasilitas dan insentif pemerintah terhadap korporasi hingga memungkinkan korporasi maupun investor mengalihkan beban risiko bisnis kepada publik.

“Ini akan menjadi beban fiskal besar bagi pemerintah,” katanya dalam diskusi RUU Perkelapasawitan dan instrumen ekonomi lingkungan bersama Kemitraan.

Pada Pasal 46, berbicara terkait bidang produksi dan pemasaran. Pemerintah wajib bertanggung jawab atas ketersediaan pupuk sesuai kebutuhan para pelaku usaha budidaya sawit dengan harga ‘khusus’ alias lebih murah. Begitupula, pengawasan ketersediaan dan distribusi menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pemerintah pun harus memfasilitasi penyediaan air dan pengelolaan gambut di perkebunan sawit, serta memantau pemasaran produk perkebunan (Pasal 49 dan 50). Dampaknya, pemerintah perlu menyediakan anggaran khusus terkait itu.

”Enak dong, ada orang yang mau berusaha, tapi disediakan dulu oleh pemerintah. Bukankah itu harusnya menjadi tanggung jawab bisnis mereka?”

Begitu juga pada Pasal 18 memberikan keringanan di sektor pajak, seperti pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan, pembebasan/penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor barang modal, mesin, atau peralatan produksi, serta keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) di kawasan tertentu.

”Data KPK menyebutkan 94% pengusaha belum membayar pajak, bahkan tidak memiliki NPWP,” katanya.

Adapun insentif itu, malahan meningkatkan ekspansi budidaya sawit yang akan berdampak negatif pada kelestarian lingkungan, mengancam keragaman hayati dan hutan.

Rimawan bilang, produksi perkebunan sawit per hektar memang lebih tinggi dibandingkan komoditas lain, seperti teh, kakao dan kopi. Sawit 3.69 ton, teh 1,69 ton, kakao 0,80 ton dan kopi 0,72 ton per hektar. ”Meski produktivitas tinggi tapi negatif sisi ekologis cukup tinggi.”

Masalah cukup besar adalah alih fungsi lahan. Sejak 1990-2015, alih fungsi lahan di Indonesia terbesar di ASEAN, yakni 275.350 km2. Angka ini lebih luas dari hutan di Malaysia 1990, yakni 237.760 km2.

Jika pembahasan RUU ini berlanjut, ekspansi akan terus meningkat, menyebabkan perkebunan lain akan beralih ke sawit. Kondisi ini, bisa berakibat fatal kala lahan pangan beralih ke perkebunan sawit. “Jelas tak menunjukkan pembangunan perkebunan berkelanjutan.”

 

Hilirisasi mandek

RUU inipun, katanya, bias petani budidaya, tak memberikan peran ke industri hilir dan tata niaga.

Indonesia, katanya, terjebak bada comfort zone budidaya sawit, dengan penjualan minyak sawit mentah, tak perkembangan industri pengolahan. Hal ini, malah tak diatur dalam RUU Perkelasawitan dan membuat Indonesia ketinggalan jauh dari Malaysia.

Kini, Malaysia telah memproduksi 100 jenis produk hilir, Indonesia 40 baru jenis. Belum lagi, banyak pengusaha Malaysia investasi di Indonesia, kemudian mengirimkan CPO ke luar negeri. Malaysia mengolah dan kembali kirim ke Indonesia.

Bila dibandingkan UU Perkebunan, 60% isi RUU sama dengan aturan lama. ”Ini cakupan lebih kecil, tidak komprehensif.”

Belum lagi ada aturan hilang, seperti data informasi, hak ulayat, larangan tentang pemindahan hak atas tanah perkebunan yang menurunkan luas lahan di bawah luas minimum. Juga pengusaha harus mengerjakan 30% lahan perkebunan paling lambat tiga tahun sejak pemberian hak status tanah dan tahun keenam  harus mengusahakan lahan 100%.

Hal penting malahan tidak diatur, seperti beneficiary ownership, kepemilikan NPWP, ketaatan membayar pajak dan PNBP untuk perpanjangan izin.

 

Kebun sawit di Indonesia, sudah belasan juta hektar. Data Kementerian Pertanian, sudah 11 juta hektar. Data Sawit Watch malah sudah 15 jutaan hektar. Komoditas ini digadang-gadang jadi andalan, tak luput juga bejibun masalah muncul dari kerusakan lingkungan sampai konflik lahan. Foto: Sapariah Saturi

 

Hentikan bahasan RUU

Atas temuan analisis itu, peneliti dan Kemitraan mengambil sikap agar DPR menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan ini. Dewi Rizki, Direktur Program untuk Sustainable Development Governance (SDG) Kemitraan, menyebutkan, Kemitraan bukan menolak atau tak mendukung budidaya sawit, namun menyayangkan isi RUU ini berpihak pada korporasi besar.

”Kajian ini dilakukan tanpa maksud menghalangi kemajuan budidaya sawit tanah air.”

Seharusnya,  pemerintah memberikan dukungan kebijakan dan instrumen ekonomi yang mampu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani swadaya sawit, bukan korporasi. Dia contohkan, teknologi budidaya, akses keuangan dan pasar, dan praktik perkebunan berkelanjutan.

Sikap serupa pun dilakukan Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagiyo. ”Secara politik ekonomi di perkelapasawitan, proses pembahasan RUU ini harus dihentikan,”katanya.

Dia menilai, ada logika terbalik dan merusak sistem hukum di Indonesia dari pembuatan RUU ini, dimana dalam nasakah akademik disebutkan konflik lahan tidak bisa teratasi. Disebutkan, karena UU Pokok Agraria tidak berjalan dan tak dapat memfasilitasi. ”Tapi malah kemudian diterobos dengan UU khusus ini, kan aneh.”

“Persoalan sekarang ini (tata kelola sawit) bukan ketiadaan legislasi, tapi implementasi dan komitmen penegakan hukum.”

 

Hampir 90% rampung

Firman Soebagyo, Wakil Ketua Baleg DPR menjamin UU ini tak diskriminatif, tidak ada dalam RUU memihak pengusaha tertentu. ”UU ini bisa menjadi payung hukum melindungi berbagai aspek kepentingan, dari kecil hingga besar. Kami buat UU itu harus dipenuhi rasa keadilan,” katanya usai diskusi pekan lalu.

Dia bilang, bahasan RUU sudah 90% selesai. Dia berdalih, dasar pembuatan RUU ini untuk menjawab kepastian hukum, baik petani rakyat, pelaku usaha, tenaga kerja, dan aspek lingkungan. ”UU ini menjadi lex spesialis.”

Harapannya, UU ini menjadi instrumen hukum yang menjawab berbagai persoalan dan hambatan pengelolaan perkelapasawitan Indonesia.  

Hal mendesak lain, katanya, perlu ada peta jalan produksi sawit sebagai komoditas strategis nasional dan penggali devisa negara, hingga posisi UU diharapkan menjadi cetak biru industri sawit dari hulu hingga hilir. Dia contohkan, target luasan, jika sudah maksimal, tak ada lagi ekstensifikasi, melainkan fokus intensifikasi.

”Agar tak hanya ekspor bahan mentah, di hilir harus mencetak CPO menjadi bahan setengah jadi. Perlu ada added value di tanah air, bukan malah di negara orang.”

Firman bilang, hilirisasi sawit sudah masuk RUU, meski belum ada pembahasan lebih rinci dengan kementerian dan lembaga untuk optimalisasi ini. ”Ini draf masih inisiatif DPR, jadi nanti ada di pembahasan tingkat satu,” kata politisi Partai Golkar ini.

Yunita Sidauruk, Ketua Bidang Hukum GAPKI mengakui ada pro kontra terkait pembahasan RUU ini. RUU ini, katanya, tak hanya berbicara korporasi, juga perkebunan rakyat.

“Kalau kita lihat 42% ada petani rakyat, petani independen, perorangan, plasma, transmigran.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,