Kebijakan membebaskan akses data pengawasan kapal perikanan yang ada di perairan Indonesia kepada publik di seluruh dunia, mendapat kecaman keras dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurut KNTI, kebijakan tersebut salah kaprah karena mengancam keberlangsungan industri perikanan di Tanah Air.
Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata mengungkapkan, seharusnya Pemerintah Indonesia memberi batasan yang ketat terhadap publik yang mengakses data pengawasan kapal perikanan atau vessel monitoring system (VMS). Dengan diberikan batasan, itu bisa melindungi industri perikanan nasional.
“Tanpa ada pembatasan yang ketat mengancam proses industrialisasi perikanan Indonesia. Dengan dibukanya akses bebas terbuka terhadap data pergerakan kapal akan menyulitkan pengelolaan perikanan dengan pembatasan akses kapal terhadap sumber daya perikanan yang memiliki potensi tinggi tersebut,” ujar dia belum lama ini.
Marthin mengatakan, saat Indonesia membebaskan akses data untuk dunia, sejumlah negara justru berbuat sebaliknya. Hingga hari ini, negara-negara tersebut masih membatasi pembukaan data VMS kepada publik dan hanya bisa diakses untuk kepentingan tertentu.
Yang dimaksud kepentingan tertentu, menurut Marthin, adalah pembukaan akses data untuk digunakan pengelolaan perikanan, penegakan hukum, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, juga untuk pengembangan, penerapan, perubahan dan/atau upaya pemantauan konservasi dan pengelolaan perikanan dengan ketentuan hukum yang tepat.
Marthin menyebut, negara adi daya seperti Amerika Serikat yang selama in memiliki industri perikanan besar, hingga saat ini juga masih membatasi akses VMS untuk dunia. Bagi AS, data VMS yang ada dalam bisnis perikanan dengan sistem pengelolaan terbatas, memasukkannya sebagai data yang rahasia alias confidential.
“AS juga membatasi akses tertentu berdasarkan the Magnuson-Stevens Fishery Conservation and Management Act atau Undang-Undang Konservasi dan Perlindungan Perikanan AS,” papar dia.
Sama seperti negara lain yang membatasi akses data VMS, kata Marthin, AS juga mewajibkan data VMS dibuka dan dikumpulkan hanya untuk investigasi dan penegakan hukum saja. Kewajiban tersebut diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Amerika Pengecualian Tujuh AS atau the Freedom of Information Act Exemption Seven.
Pemulihan Laut Indonesia
Sementara itu Wakil Sekretaris Jenderal DPP KNTI Niko Amrullah mengatakan, jika Indonesia tetap membuka kebijakan akses data VMS untuk publik dunia, maka itu sama saja membuka seluruh potensi perikanan Indonesia yang saat ini sedang melakukan pemulihan setelah terkena kondisi penangkapan ikan berlebih (overfishing).
“Tanpa ada pembatasan akses data, itu akan memicu usaha perikanan untuk berlomba-lomba mengakses wilayah (perairan Indonesia) yang banyak didatangi oleh kapal perikanan,” tutur dia.
Niko menjelaskan, meski ada proses pemulihan kondisi ekosistem di seluruh perairan laut Indonesia, namun faktanya hingga kini tingkat eksploitasi sumber daya perikanan semakin memburuk. Di seluruh wilayah pengelolaan perikanan RI (WPP RI) pada 2015, kata dia, kondisi overfishing mengakibatkan wilayah perairan sekitarnya mengalami kondisi kritis.
Mengingat pada saat yang sama ada masalah yang lebih mendesak, Niko mendesak agar Pemerintah untuk memilah mana yang harus diselesaikan segera dan mana yang bisa ditunda. Dibandingkan dengan membuka akses data VMS yang akan merugikan industri perikanan nasional, dia berpendapat, sebaiknya Pemerintah fokus dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan.
“Dan juga Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional,” jela dia.
Selain itu, Niko mengingatkan, agar permasalahan besar yang kini sedang menghinggapi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, Pemerintah juga sebaiknya segera menyelelesaikannya. Salah satu contohnya, adalah permasalahan alat tangkap yang dinila merusak dan tidak ramah lingkungan, itu harusnya bisa segera diselesaikkan solusinya.
“Permasalahan lain juga terkait upaya penegakan hukum terhadap kapal-kapal skala besar yang diduga melanggar hukum berdasarkan hasil analisis evaluasi KKP terhadap 769 kapal eks-asing. Hingga hari ini, kapal-kapal tersebut tidak ada tindak lanjut upaya penuntutan pidana maupun gugatan ganti kerugian atas sumber daya perikanan yang diduga dicuri,” pungkas dia.
Global Fishing Watch
Indonesia menjadi negara pertama yang mengadopsi teknologi pemantauan kapal perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang bisa diakses publik secara bebas. Teknologi tersebut hasil kerja sama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Google, Oceana, dan Sky Truth. Teknologi tersebut dipasang dalam sistem bernama Global Fishing Watch.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan, dengan dioperasikannya sistem pemantauan perikanan, maka Indonesia akan menjadi negara pertama yang membagi datanya dalam sistem pemantauan kapal VMS yang dipasang di setiap kapal perikanan.
“Iini merupakan langkah penting dan terobosan baru bagi Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendorong kebijakan penegakan hukum secara global guna membebaskan perairan Indonesia dari praktek penangkapan ikan secara ilegal,” ujar dia.
Susi Pudjiastuti meyakini, kolaborasi dengan Google, Oceana dan SkyTruth tersebut akan efektif dan teladan untuk menghilangkah aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di perairan Indonesia dan negara lain.
“Saya percaya ini merupakan terobosan yang sangat dibutuhkan dunia untuk melawan IUUF. Semua orang harus bisa mengakses keberadaan ikan untuk dikonsumsi sebagai sumber kehidupan. Tapi ingat, masing-masing negara juga harus menghormati kedaulatan negara lain,” ungkap Susi.
“IUU Fishing merupakan kejahatan global dan untuk mengakhirinya harus menggunakan perangkat yang bisa mengawasi dan mencatat semua kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Dengan teknologi seperti ini, kita semua dapat menggerakkan swasta dan pemerintah di sektor perikanan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan,” tambah dia.
Data Real Time
Susi melanjutkan, dalam sistem Global Fishing Watch, publik bisa mengakses secara penuh data-data kapal perikanan yang ada di Indonesia dan juga seluruh dunia. Data-data yang bisa diakses tersebut, sepenuhnya adalah data terbaru dan termutakhir yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Sementara untuk feeding data VMS di internal KKP , itu akan disegerakan dengan hasil yang lengkap mencakup semua data VMS di 11 WPP,” jelas dia.
Lebih jauh Susi memaparkan, berlakunya transparansi data melalui produk perangkat daring berbasis informasi dan teknologi, menjadi momen tepat untuk mempercepat pemberantasan IUU Fishing.
“Semoga negara lain bisa memanfaatkan sistem ini dengan baik. Karena, data yang digunakan juga sebagai timbal balik untuk pemerintah dan reformasi kebijakan yang lebih baik. Itulah sebabnya saya mendorong setiap negara untuk terlibat dalam inovasi yang luar biasa ini,” cetus dia.
Untuk diketahui, Global Fishing Watch merupakan konsorsium yang terdiri dari Google Earth Outreach, Sky Truth, dan Oceana yang menyediakan perangkat visualisasi aktivitas pergerakan kapal global berbasis Sistem Identifikasi Otomatis (Automatic Identification System/AIS). Dengan menggabungkan data VMS dan AIS, maka visualiasi pergerakan kapal penangkapan ikan di Indonesia bisa dilihat di Google Earth dan Google Maps.
AIS sendiri dirancang sebagai platform keamanan bagi kapal agar terhindar dari tabrakan di laut. Sistem itu menampilkan secara cukup akurat antara lain identitas kapal, lokasi, kecepatan, hingga arah tujuan kapal. VMS selama ini menjadi sistem pemantauan yang diwajibkan Pemerintah kepada Perusahaan penangkapan ikan komersial. Dalam sistem Global Fishing Watch, data-data VMS terhubung secara komputasi awan (cloud computation).