Penyelundupan Reptil Terus Terjadi, Hukuman Tidak Memberi Efek Jera?

 

 

Penyelundupan reptil terus terjadi. Pelaku makin nekat, membawanya melalui jalur pelabuhan dan juga bandar udara. Bukan hanya pemain lokal, warga asing juga tanpa takut membawa satwa liar asli Indonesia ini ke luar negeri. Apakah hukum yang berlaku terlalu lemah, sehingga para penyelundup dengan santai melenggang?

Maslim, Project Coordinator Reptile dari Wildlife Conservation Society (WCS) mengatakan, maraknya penyelundupan reptil disebabkan permintaan yang tinggi. Permintaan ini, dipengaruhi perdagangan online, kontes-kontes atau pameran satwa, dan keberadaan komuitas pencinta reptil itu sendiri. Sehingga, orang tertarik untuk memilikinya. “Berdasarkan hal itu, permintaan reptil mengalami kenaikan, kemudian penyelundupan terjadi,” ungkapnya kepada Mongabay Indonesia belum lama ini.

Dari beberapa faktor yang memengaruhi tingginya permintaan, variabel terbesar adalah keberadaan komunitas pencinta reptil. Maslim mengungkapkan, memang ada beberapa komunitas yang benar, dalam arti memiliki izin dan legalitas. Namun, banyak juga yang ilegal. “Seperti halnya kasus penyelundupan yang terungkap di Tanjung Priok. Pelaku mengaku berdasarkan permintaan,” ungkapnya.

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crimes Unit (WCU) mengungkapkan hal yang sama. Faktor utama penyelundupan reptil karena permintaan pasar yang tinggi. “Disinyalir, menjadi alas an utam terjadinya penyelundupan,” urainya.

Menurut Irma, permintaan reptil ini cukup beragam. Ada yang dijadikan peliharaan (pet), dikonsumsi, bahkan ada juga untuk dikembangbiakkan yang kemudian dijual kembali dengan harga tinggi. Keberadaan komunitas pencinta reptil juga, dinilai Irma, menjadi pendorong meningkatnya permintaan. “Ini diungkapkan para pelaku, reptil selundupannya akan dijual ke sejumlah komunitas. Jadi, kami benar-benar mendesak otoritas terkait untuk tegas terhadap para komunitas,” katanya.

Harus diakui, saat ini masih banyak reptil yang belum dilindungi UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dari maraknya penyelundupan belakangan ini, diperlukan kerja sama seluruh stakeholder di objek-objek vital seperti di bandara, pelabuhan, paket jasa pengiriman, dan area lainnya. “Hal ini bertujuan untuk menanggulangi kasus-kasus penyelundupan berikutnya,” urai Irma.

Amir Hamidy, ahli herpetologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) turut berpendapat mengenai penyelundupan ini. Dia mengakui, permintaan tinggi menjadi faktor utama diselundupkannya reptil di dalam maupun luar negeri. Menurut Amir, berdasarkan data yang dipublikasikan Vincent Nijman dalam studinya An overview of international wildlife trade from Southeast Asia, sepanjang 1998 hingga 2007, angka perdagangan reptil mencapai 17 juta individu.

“Artinya, dibandingkan mamalia dan jenis lainnya, reptil tidak kalah fenomenal, karena jumlah individu yang diperdagangkan secara internasional luar biasa besarnya. Dari situ sudah jelas, permintaan pasarnya sangat tinggi,” ungkapnya.

 

Petugas Bandara Soekarno Hatta menunjukkan sejumlah reptil yang hendak diselundupkan warga negara Jepang, pertengahan Mei 2017. Foto: WCS

 

Dua kasus penyelundupan

Sebagaimana diketahui, pada 16 Mei 2017, seorang pria berkewarganegaraan Jepang ditangkap petugas Angkasa Pura II Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, bersama petugas karantina dan pihak kepolisian. Lelaki 51 tahun tersebut, terbukti menyelundupkan 253 reptil dalam empat kopernya dari penerbangan Medan, Sumatera Utara menuju Haneda, Jepang. Rinciannya, 181 ekor kadal dan biawak (6 jenis), 65 ekor ular (4 jenis), dan 7 ekor kura-kura (2 jenis). Dari jumlah tersebut, tiga jenisnya dilindungi undang-undang.

Wakil Direktur Angkasa Pura II, Ruchyana mengatakan, tersangka tertangkap dan dengan jelas membawa jenis yang dilindungi seperti ular pohon hijau, kadal borneo, dan kura-kura moncong babi yang dilindungi Pemerintah Indonesia dan internasional. “Kami dari Angkasa Pura berkomitmen mencegah tindakan melawan hukum terkait penyelundupan satwa dilindungi, tentunya dengan berkooordinasi instansi terkait dan kepolisian setempat.”

Kepala Bidang Penindakan dan Pengawasan Balai Besar Karantina Pertanian Bandar Udara Soekarno Hatta, Ridwan Alaydrus menambahkan, pelaku akan menjalani proses penyidikan oleh PPNS dan dijerat Undang-Undang No 16 Tahun 1992. “Ancaman hukumannya maksimal 3 tahun penjara,” jelasnya.

 

Biawak tak bertelinga yang digagalkan dalam upaya penyelundupan ke luar Kalimantan Barat, melalui Bandara Internasional Supadio, Senin, 14 Maret 2016. Modusnya, pelaku menuliskan paket tersebut berisi mie ramin. Foto: BKSDA Kalbar

 

Manager Wildlife Crimes Unit (WCU), Dwi Adhiasto sangat mengapresiasi penangkapan tersebut. Meski begitu, Dwi berharap, tersangka tidak hanya dijerat Undang-Undang No 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Tetapi juga, didakwa dengan Undang-Undang No 5 Tahun 1990 dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar 100 juta rupiah.

Menurut Dwi, tersangka adalah ‘pemain besar’ dalam perdagangan dan penyelundupan reptil. Pada 2005, pelaku pernah ditangkap kepolisian federal Australia karena menyelundupkan 39 ekor reptil eksotis dari Singapura ke Australia melalui Thailand. “WCU mendukung pihak terkait di Indonesia guna penuntasan kasus ini.”

Kasus kedua, pertengahan Juni 2017, Polres Tanjung Priok, Jakarta, berhasil menggagalkan penyelundupan reptil dari Papua. Dua pelaku langsung diamankan, meski berada di tempat terpisah. Dari tangan pelaku disita masing-masing 279 individu dan 40 individu reptil. Umumnya, reptil yang hendak diselundupkan adalah berbagai jenis ular seperti green tree python chondro, mono pohon, patola phyton, gold albert, dan mono tanah.

Para pelaku saat ini tengah menjalani proses penyidikan. Mereka dijerat Undang-Undang No 16 Tahun 1992 dengan ancaman hukuman maksimal 3 tahun penjara.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,