Riset: ASEAN Belum Melindungi ABK di Kapal Penangkap Ikan

Sejumlah lembaga yang terdiri dari SEAFish for Justice, Ever Green Myanmar dan JPKP Sulawesi Tenggara, melakukan riset berjudul “Pengalaman Para ABK di Kapal Perikanan: Temuan dan Rekomendasi Kebijakan untuk ASEAN”. Riset itu bertujuan mendorong negara anggota ASEAN agar meratifikasi konvensi ILO 188.

Kajian tersebut dilakukan di 2 lokasi, yakni Indonesia dan Myanmar. Di Indonesia, penelitian dilaksanakan di desa Kasuari, kecamatan Kaledupa Selatan, kabupaten Wakatobi. Serta di desa Boneoge, kecamatan Lakudo, kabupaten Buton Tengah.

Sedangkan, di Myanmar, penelitian dilakukan di desa sepanjang Mouth of Irrawady yang memiliki ciri khusus yakni adanya bagan, kapal perikanan, lokasi pendaratan dan pasar, serta tempat pengolahan ikan.

 

 

SEAFish for Justice menyebut, ketidakadilan yang dihadapi nelayan disebabkan oleh tidak tersedianya pelatihan kerja, kurangnya akses terhadap mekanisme pengaduan, kurangnya penegakan hukum dan kurangnya kontrol terhadap situasi yang dihadapi oleh nelayan.

Cakupan jaminan sosial juga sangat buruk. Dari penelitian tersebut, nelayan mempunyai alasan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik terkait dengan penangkapan ikan. Situasi di negaranya, mendorong mereka untuk meninggalkan Indonesia atau Myanmar, demi mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi bagi keluarga mereka.

Para nelayan, yang berasal dari Myanmar dan Indonesia, mengaku telah mengalami kondisi kerja yang brutal. Termasuk pengekangan paksa, kerja paksa, tidak mendapat pembayaran gaji, jam kerja yang berlebihan, dan penganiayaan psikologis dan fisik.

“Inilah letak lemahnya perlindungan dari 10 anggota ASEAN pada pekerja kapal penangkapan ikan. Ratifikasi konvensi ILO akan menunjukkan komitmen negara-negara anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Myanmar untuk memperhatikan keadilan,” demikian menurut SEAFish for Justice.

Pada tahun 2007, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengesahkan Konvensi 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Tujuannya, untuk memastikan awak kapal mempunyai kodisi kerja yang layak, dalam hal persyaratan minimal untuk bekerja di kapal.

Kondisi yang layak itu mencakup, standard-standar persyaratan layanan, akomodasi dan makanan, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, serta perawatan kesehatan dan jaminan sosial.

 

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

 

Namun, SEAFish for Justice menyebut, belum ada negara dari ASEAN yang meratifikasinya. Situasi ini menunjukkan bahwa nelayan dan pekerja perikanan masih belum menerima perhatian yang layak dalam hal perlindungan sosial.

“Mengingat tujuannya untuk melindungi pekerja perikanan dan nelayan, maka penting mendorong ratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan Myanmar,” terang SEAFish for Justice.

 

Temuan di Indonesia dan Myanmar

Ada sejumlah faktor yang mendorong pekerja perikanan dari Indonesia, terutama dari Boneoge dan Darawa, untuk bekerja di kapal penangkap ikan asing. Faktor-faktor itu di antaranya, kondisi alam yang tidak mendukung mata pencaharian nelayan dan pembudidaya, rendahnya tingkat pendidikan, hingga tertarik dengan upah yang lebih tinggi.

Di kapal asing, pekerja dari Indonesia mendapat upah yang dibayarkan tiap bulan, dengan masa kontrak 18 hingga 20 bulan. Di kapal Jepang, Portugal dan Spanyol, tidak ada pemotongan gaji. Namun, mereka menyebut, kapal perikanan Malaysia memberlakukan pemotongan gaji, sebagai jaminan paspor sekaligus kontribusi kepada pemerintah Malaysia.

ABK kapal Jepang, Spanyol dan Portugis, nyaris tak punya waktu tidur atau istirahat. Sebab mereka harus bekerja selama 14 hingga 18 jam per hari, dalam 7 hingga 9 hari.

Di kapal ini, mekanisme pengaduan atau keluhan sangat sederhana. “Mereka mengajukan setiap masalah kepada kapten atau pengawas. Jika tidak ada respon, baru mengadu kepada agensi,” sebut SEAFish for Justice.

 

ABK berdiri di kapal Mitra Mas I, kapal milik PT Ocean Mitra Mas di pelabuhan tambat PT SBM di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Kapal itu bakal dimusnahkan KKP meski telah lolos verifikasi analisa dan evaluasi, Foto : M Ambari

 

Karena paspor mereka ditahan, para perkerja perikanan harus mengikuti peraturan agensi, bekerja lembur untuk memenuhi target kapal, tidak ada jam istirahat yang memadai, bahkan terkadang mengalami kekerasan atau ancaman di kapal. Ketika mereka mencoba angkat bicara, situasi bahaya akan datang mengancam.

Kondisi semakin berbahaya karena mereka tidak mendapatkan fasilitas yang memadai, seperti makanan, minuman, air dan obat-obatan. “Mereka (pekerja dari Indonesia) harus hidup di bawah tekanan tanpa memiliki kebebasan untuk beristirahat dan berbicara, mereka tidak mempunyai pilihan selain bertahan dan patuh terhadap situasi yang harus dihadapi.”

Sedangkan, faktor yang mendorong pekerja perikanan untuk meninggalkan Myanmar adalah situasi ekonomi dan politik di negara itu. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan banyak pekerja migran menyebar ke seluruh wilayah Asia Tenggara, terutama Thailand, Malaysia, Indonesia dan Singapura.

Di kapal rakit Trammel, contohnya, banyak orang menyusup melalui rute di perbatasan Thailand-Myanmar, Ranong, stasiun Kaw dan Phya Pon Township. Sehingga, tidak ada pekerja perikanan atau nelayan yang terdaftar di sana.

Kapal rakit Trammel terletak di teluk Benggala dan laut Matapan. Di situ, para pekerja mengangkat jaring empat kali sehari. Artinya, setiap 6 jam mereka harus mengangkat jarring, mengambil semua tangkapan, lalu kembali meletakkan jaring ke laut. Meski begitu, mereka tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu.

Bukannya mendapat waktu istirahat atau tidur, para perkeja perikanan justru didera siksaan dari pemimpin kapal rakit. Dijelaskan dalam riset itu, tekanan semakin parah saat mereka dipaksa minum alkohol bercampur bahan kimia, yang belum diketahui jenisnya, supaya bisa bekerja keras.

“Tidak ada yang disebut air tawar yang bisa diminum dan tidak ada pula air untuk mencuci muka. Mereka hanya bisa menggunakan air laut untuk mencuci dan mandi, tidak ada pilihan, tidak ada fasilitas sanitasi di kapal rakit.”

“Pekerja perikanan harus menghadapi kondisi berbahaya. Mereka tidak mendapatkan makanan dan minuman yang cukup, harus bekerja keras, dan ketika sakit tidak ada fasilitas medis.”

 

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

 

Tujuh Rekomendasi untuk ASEAN

Karena itu, SEAFish for Justice mendorong ASEAN dan 10 negara anggota untuk meratifikasi konvensi ILO nomor 188 tahun 2007. Serta, memperbaiki sistem peraturan, dukungan kelembagaan dan anggaran. Perbaikan-perbaikan itu diharapkan dapat memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada calon nelayan dan nelayan saat ini.

Adapaun, SEAFish for Justice mengajukan tujuh rekomendasi yaitu, pertama, dalam mendorong ratifikasi konvensi 188, pemerintah ASEAN dapat bekerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Internasional untuk Buruh Migran (IOM). Kerja sama itu, bertujuan untuk menciptakan migrasi yang aman, dan mempromosikan hak pekerja migran.

Rekomendasi kedua, negara anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Myanmar, harus memiliki peraturan nasional tertentu yang dapat melindungi pekerja perikanan dengan benar.

Ketiga, pemerintah ASEAN harus secara serius bekerjasama untuk menangani masalah pekerja migran dan perdagangan manusia. Keempat, meningkatkan kerjasama negara-negara ASEAN terutama Kamboja, Laos, Thailand, Myanmar, Indonesia dan Malaysia dan memerangi perdagangan manusia dan korupsi.

Kelima, promosi investasi dari negara-negara kaya ASEAN seperti Singapura, Brunei, Malaysia dan Vietnam untuk industri padat karya dan industri pengolahan makanan laut di Myanmar, Kamboja dan Indonesia.

Keenam, mengakui organisasi masyarakat sipil dalam advokasi dan lobi di kawasan ASEAN. Ketujuh, serikat pekerja perikanan di tingkat ASEAN atau federasi serikat pekerja perikanan diperlukan untuk perlindungan yang bijak terhadap pekerja perikanan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,