Bencana Pergerakan Tanah Masih Berpeluang Terjadi di Musim Kemarau

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Barat memprediksi sebagian wilayah Jawa Barat sudah memasuki musim kemarau awal Juni 2017. Kriteria musim kemarau diawali dengan jumlah curah hujan yang relatif sedikit antara 50 milimeter – 150 milimeter dalam satu dasarian (10 harian) atau selama satu bulan.

Menurut Peneliti Cuaca dan Iklim BMKG Iid Mujtahiddin, periode musim kemarau tahun ini pada umumnya masih cerah berawan hingga berawan. Hal tersebut menunjukan bahwa potensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang diprediksi masih akan terjadi.

Iid menuturkan, sifat hujan selama periode musim kemarau dikategorikan normal dan atas normal, dan ada juga yang bawah normal. Artinya sifat hujan atas normal berarti di wilayah yang sifat hujannya atas normal, mendapat suplai air hujan selama periode musim kemarau.

 

 

Wilayah yang kategori sifat hujannya atas normal meliputi Kabupaten Sumedang, Purwakarta, Kuningan bagian barat dan Indramayu bagian utara. Selanjutnya Cianjur, Garut bagian selatan, Tasikmalaya dan Ciamis bagian utara.

Namun, secara umum prakiraan curah hujan bulanan untuk bulan Juli – September berada pada sifat hujan atas normal dan normal. Kendati begitu, kata dia, tidak ada keterlambatan musim kemarau.

“Selama periode musim kemarau tidak mesti tidak ada hujan sama sekali. Tetap ada hujan meskipun dengan frekuensi dan intensitas yang mulai berkurang,” kata Iid saat dihubungi Mongabay belum lama ini.

Ketika disinggung soal kemarau panjang, dia menjelaskan bahwa awal Mei lalu diprediksi akan ada El-nino meskipun dalam kategori lemah. Namun, ketika diupdate pada akhir Mei–fenomena El-nino tidak ada. Berdasarkan analisis dinamika awal Juni kemarin, fenomena El-nino kemungkinan kecil. Kondisi ini juga belum dipastikan mengalami fenomena La-nina.

 

Banjir di Bandung Barat, belum lama ini. Foto: BNPB

 

Namun memang untuk periode musim kemarau ini masih diprediksikan sifat hujannya di atas normal. Hal ini karena pengaruh suhu permukaan laut yang disekitar jawa barat masih relatif hangat sehingga masih ada peluang pembentukan awan-awan hujan. “Untuk update terkini tidak ada kemarau panjang sebagaimana tahun 2015,” ucap Iid.

 

Waspada Bencana

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengatakan, memasuki musim kemarau, potensi bencana seperti pergerakan tanah dengan intensitas menengah – tinggi masih berpeluang. Meskipun kolerasi ancaman mengalami penurun karena peralihan musim. Tetapi potensi dan dampaknya masih dapat terjadi sewaktu – waktu.

“Prediksi kami intensitas curah pada Juni 2017 masih menujukan tanda – tanda peningkatan. Oleh karena itu perlu diwaspadai gerakan tanah. Terutama Jawa Barat yang dominasi bencana yang terbilang tinggi,” kata Ego melalui sambungan telepon.

Merujuk data Badan Geologi, sejak baru dua bulan di tahun 2017 terjadi peningkatan cukup signifikan ihwal bencana pergerakan tanah. Tercatat ada 177 kejadian di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Besar kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah. Angka tersebut mendekati kasus becana alam di tahun lalu yang mencapai 220 kejadian.

Dikataka Ego, pemicu pergerakan tanah dapat disebabkan oleh getaran dan pengaruh curah hujan diatas normal. Selain faktor alam tadi, alih fungsi dan tata kelola lahan yang tidak dilakukan sebagaimana fungsinya juga bisa mempercepat terjadinya bencana.

 

Warga melintas di bangunan yang hancur di Kampung Cimacan, Kecamatan Tarogongkidul, Kabupaten Garut, Jabar, Kamis,(22/09/2016). Banjir Bandang juga menghancurkan instalasi PDAM sehingga warga banyak yang kesulitan mendapat air bersih. Foto : Donny Iqbal

 

Para stakeholder dihimbau untuk meningkatkan kewaspadaan mengingat bencana di Indonesia merupakan kejadian yang terus berulang setiap tahunnya. Fungsi serta perannya di daerah penting dioptimalkan guna menyadarkan masyarakat memahami kebencanaan sejak dini.

“Badan Geologi sudah memberikan dan menyampaikan informasi kebencanaan ke seluruh pemda. Di wilayah mana yang harus diwapadai pontesi bencana, lengkap dengan peta geologi,” paparnya.

Badan Geologi juga sudah memberikan surat kepada seluruh Bupati, Gubernur dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengenai potensi area maupun peta kebencanaan. Sebagian surat edaran tersebut telah ditindaklanjuti. Cuma memang banyak juga yang belum ditindaklanjuti karena laju pertumbuhan penduduk yang tidak terbendung.

“Semua komponen harus terlibat dalam mitigasi bencana. Terutama menjaga lingkungan dari alih fungsi lahan dan vegetasinya. Jika tidak ada kesadaran merawat. Maka bencana yang sama akan terus berulang,” ungkapnya.

Ego menyebut Jawa Barat bagian selatan merupakan kawasan rentan terkena bencana pergerakan tanah. Banyak lereng – lereng yang tidak dirawat baik dari segi kekerasan maupun vegetasinya. Ditambah dengan kawasan kritis di daerah hulu. Dikhawatirkan berdampak longsor dan banjir bandang.

 

Petani menggarap lahan holtikultura dan palawija di Kawasan hulu DAS Cimanuk, Kawasan Darajat, Kabupaten Garut, Jabar. Kawasan pertanian di DAS hulu Cimanuk menyebabkan sedimentasi pada aliran sungai. Foto : Donny Iqbal

 

Deteksi Bencana Melalui Aplikasi

Sebelumnya, Badan Geologi telah menciptakan aplikasi untuk mendeteksi kebencanaan. Aplikasi yang dikembangkan tahun 2015 itu berisi informasi mengenai aktivitas, status gunung api, peta kawasan rawan bencana hingga sebaran abu vulkanis dari gunung api yang meletus.

Aplikasi tersebut bernama Multiplatform Aplication for Geohazard Mitigation and Assessment ( MAGMA) Indonesia. Lewat aplikasi ini, masyarakat bisa mengakses informasi serta bisa berkontribusi untuk menyampaikan informasi terkait gejala bencana yang terjadi di sekitar mereka. Aplikasi ini bisa dengan mudah diakses melalui komputer serta ponsel berbasis android.

Sebagai acuan informasi dari tingginya potensi ancaman bencana geologi. Dengan 127 gunung api aktif yang bisa meletus kapan saja, dampak yang ditimbulkan tentunya bukanlah sesuatu yang bisa dihindari begitu saja. Belum lagi, Indonesia memiliki tiga lempeng tektonik dan sesar di darat yang bisa mengakibatkan gempa bumi maupun tsunami terjadi seketika. Selain itu, topografi berupa lereng dan tingginya curah hujan pun ikut berpengaruh pada gerakan tanah yang secara terus menerus bisa menimbulkan bencana.

“Aplikasi ini sudah menjadi referensi negara lain. Banyak atensi untuk dikoneksikan sebagai informasi untuk mendukung kegiatan pariwisata dan penerbangan. Informasi dan data tersaji terus diperbaharui setiap bulan,” pungkas Ego.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,