Sejumlah persoalan besar masih menghantui hutan gambut Rawa Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Aceh. Perambahan dan pembukaan lahan untuk perkebunan masih saja terjadi. Selain itu, putusan pengadilan yang jelas menyatakan adanya perusahaan kelapa sawit bersalah, yang telah merusak kawasan tersebut, hingga kini belum dieksekusi.
Sekretaris Forum Orangutan Aceh (FORA), Idir Ali pada 29 Juni 2017 mengatakan, pada 20 Juni 2017 telah digelar diskusi terfokus mengenai nasib Rawa Tripa di Banda Aceh, yang dihadiri sejumlah pegiat lingkungan. Dari kegiatan tersebut diketahui, Rawa Tripa memang rawan akan berbagai kegiatan ilegal.
“Berdasarkan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser, hutan gambut Rawa Tripa merupakan bagian Kawasan Ekosistem Leuser. Statusnya masuk areal penggunaan lain (APL),” ujarnya.
Idir menjelaskan, penetapan Rawa Tripa sebagai APL berdasarkan Kepmenhut No 170/2000 dan SK No. 941/Menhut-II/2013. Akan tetapi, Pemerintah Aceh memfungsikan areal rawa gambut ini sebagai Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (KLLKH), baik melalui SK Gubernur Provinsi Aceh No. 19/1999 tentang arahan fungsi hutan Provinsi Aceh, maupun dalam Qanun No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Aceh tahun 2010-2030.
“Tapi, kegiatan ilegal terus terjadi, yang turut mengancam habitat orangutan. Bahkan, 11.359 hektare dari 61.803 hektare luasan Rawa Tripa yang ditetapkan Pemerintah Aceh sebagai kawasan lindung gambut kondisinya terancam, karena statusnya belum ditingkatkan menjadi kawasan konservasi.”
Idir Ali meminta Pemerintah Aceh dan penegak hukum serius menjaga Rawa Tripa dari perambahan. Juga, memastikan perkebunan kelapa sawit tidak lagi bercokol di hutan gambut tersebut. “Tidak hanya penting bagi masyarakat setempat tetapi juga tempat hidupnya satwa liar,” ungkapnya.
Eksekusi
Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Peduli Rawa Tripa, Kamaruddin mengatakan, pemerintah harus mengevaluasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang membuka lahan di dalam Rawa Tripa.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan mengajukan permohonan eksekusi putusan pengadilan terhadap PT. Kallista Alam, perusahaan kelapa sawit yang terbukti melakukan pelanggaran.”
Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, Badrul Irfan coba menjelaskan pesoalan utama perusahaan ini. Menurut Dia, dalam persidangan yang telah digelar 2014 lalu, PT. Kalista Alam terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Yaitu, membakar lahan gambut seluas 1.000 hektare di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.
“Putusan itu, sebagaimana tertuang dalam amar perkara perdata Nomor 12/PDT.G/2012/PN-MBO yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh pada 8 Januari 2014.”
Baca: Mahkamah Agung Kembali Tolak Kasasi PT. Kalista Alam, Ini Putusannya
Putusan PN Meulaboh ini diperkuat Pengadilan Tinggi Aceh Nomor 50/PDT/2014/PT-BNA, pada 15 Agustus 2014. Dan makin bertenaga setelah keluar putusan Mahkamah Agung RI Nomor 651K/PDT/2015, pada 28 Agustus 2015, yang juga mendukung putusan PN Meulaboh dan Pengadilan Tinggi Aceh.
“Menteri KLHK harus segera mengajukan permohonan eksekusi terhadap putusan pengadilan ini,” ujarnya.
Senada, kuasa hukum Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM), Nurul Ikhsan mengatakan putusan PN Meulaboh harus segera dieksekusi. Hutan gambut yang dirusak dengan cara dibakar itu harus segera dipulihkan agar tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. “Lapisan permukaan gambut yang dibakar rata-rata ketebalannya antara 5 hingga 10 cm.”
Baca juga: Vonis Mengecewakan Mahkamah Agung untuk Perusahaan Sawit Pembakar Lahan
Nurul Ikhsan menyebutkan, andai PT. Kallista Alam mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan.
“Setelah dua tahun sejak putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, PT. Kallista Alam juga tidak menunjukan itikad baik untuk memenuhi isi keputusan. Jadi, sudah seharusnya eksekusi dilakukan guna mencegah timbulnya kecurigaan ada pihak yang bermain,” ungkap Nurul Ikhsan.
Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Nomor 12/pdt.G/2012/PN-Mbo, PN Meulaboh menghukum PT. Kallista Alam untuk membayar ganti rugi materi Rp114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp251,7 miliar.
Selain PT. Kallista, ada juga perusahaan bermasalah yaitu PT. Surya Panen Subur dan PT. Dua Perkasa Lestari yang kasusnya masih tahap kasasi di Mahkamah Agung. Serta, PT. Gelora Sawita Makmur yang terjerat pidana khusus dan masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan.