Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang

 

 

Jerit chainsaw itu memecah kesunyian. Meraung sejadinya. Memenggal batang-batang sawit yang tegak menjulang. Di tangan pemiliknya, Suparman, mesin berbobot 18 kilogram itu, adalah “pembunuh” nomor satu pepohonan monokultur ilegal yang tumbuh besar di dalam hutan lindung.

Dalam sehari, lelaki 51 tahun itu, sanggup merobohkan sawit paling minim 40 batang. Pekerjaan yang telah dilakukannya sejak 2015 lalu. Ada harapan besar tiap kali mesinnya itu sukses meratakan sawit dengan tanah. Hutan lindung di Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang, Aceh, yang tengah direstorasi ini, benar-benar kembali menghutan.

Sebagai masyarakat Tenggulun, Suparman, tidak ingin lagi melihat hutannya diacak-acak pendatang. Sementara masyarakat lokal, hanya menjadi penonton. Apalagi jika harus mengingat banjir bandang yang menerpa Aceh Tamiang 2006 silam. Dadanya sesak. Musibah datang akibat hutan yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser itu dirambah berbarengan munculnya kebun sawit ilegal.

 

Baca: Hutan Lindung yang Direstorasi Itu Jantungnya Aceh Tamiang

 

Kini, bersama anggota kelompok tani Subur Lestari, Suparman diberi mandat mengelola hutan yang direstorasi itu seluas 74 hektare. Setidaknya, ada dua kelompok tani lain yang telah terdaftar, Tukul Lestari (80 hektare) dan Karya Bersama (80 hektare). Lahan tersebut berdasarkan SK Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, digunakan sebagai hak pakai untuk jangka waktu 10 tahun. Dengan harapan, masyarakat tidak hanya mengelola tetapi juga mencegah datangnya para perambah yang terkutuk.

“Hutan harus dihijaukan kembali, sawit harus dihilangkan. Masyarakat melalui kelompok tani bisa mengelola hutan ini, bukan menjadi penonton seperti sediakala,” ujarnya, di pertengahan Juni 2017.

 

Sawit ilegal di hutan lindung Aceh Tamiang terus dimusnahkan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Mahruzal, pengawas restorasi dari Forum Konservasi Leuser (FKL), mengatakan, target pemberangusan sawit di hutan lindung Tenggulun ini seluas 1.071 hektare. Saat ini telah sudah 230 hektare yang terealisasi, dan akan terus dilakukan.

“Kabar gembiranya adalah, satwa liar mulai datang ke sini. Ada jejak beruang madu dan kotoran gajah. Untuk jenis burung, pastinya bertambah,” terangnya.

 

Baca juga: Mereka Penjaga Hutan Aceh Tamiang

 

Terkait kelompok tani, Mahruzal menjelaskan, memang sudah ada tiga kelompok di Tenggulun yang diberi wewenang mengelola. Mereka diberi kewajiban menanam bibit pemberian Dinas Kehutanan Provinsi Aceh dan FKL. “Mereka juga bisa menanam palawija dan sayuran sembari menanti pepohonan menghasilkan.”

Jenis pohon yang ditanam adalah gaharu, durian, duku, trembesi, aren, damar, meranti, jengkol dan petai. “Selain itu semua, sangat tidak diperbolehkan. Karet dan cokelat apalagi, dilarang masuk,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia.

 

Sudah 230 hektare sawit ilegal di Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang, Aceh, yang dirobohkan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Konsep restorasi

Rudi Putra, Manajer Konservasi FKL menjelaskan, target restorasi hutan lindung seluas 1.071 hektare tersebut memang wajib dikerjakan. Meski begitu, dalam perkembangannya, ada sebagian wilayah yang tidak bisa ditebang karena telah dikerjasamakan lebih dahulu oleh Dinas Kehutanan Provinsi Aceh dengan bekas pemilik sawit sebelumnya. “Luasannya, di Tenggulun sekitar 100 hektare. Keseluruhan Aceh Tamiang mencapai 300 hektare.”

Fakta ini yang menjadi kendala. Sementara di sisi lain, kami juga harus menumbangkan sawit ilegal itu. “Andai saja mulus, tidak ada lagi sawit yang berdiri. Jadi, bukan masalah pendanaan karena biaya satu hektare penebangan sekitar 1,5 juta Rupiah.”

Bagaimana dengan konsep resorasi? Rudi mengatakan, sekitar 400 hektare dari luasan restorasi, memang dikerjasamakan dengan masyarakat di pinggir kawasan. Bentuknya kelompok tani.

 

Jalan panjang mewarnai sejarah hutan lindung di Aceh Tamiang ini. Sempat dijadikan HPTS, kini fungsinya dikembalikan lagi sebagai hutan lindung. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Kelompok ini yang akan menanaminya dengan tanaman hutan lokal bisa dimanfaatkan. Hutan campuran, dengan tanaman lokal yang telah disepakati bersama jenisnya. Ini yang dijadikan buffer zone atau zona penyangga.

“Di belakang 400 hektare, hutan dibiarkan tumbuh alami. Dihijaukan kembali sebagaimana belantara. Pastinya, tim perlindungan satwa FKL tetap patroli menjaga.”

Menurut Rudi konsep restorasi ini akan diterapkan saat pemberangusan sawit di Aceh Tenggara. Dalam waktu dekat, sekitar 16 ribu hektare kebun-kebun yang ada di dalam Taman Nasional Gunung Leuser itu akan dihutankan kembali.

“Tahap pertama nanti akan direstorasi sekitar 5.500 hektare. Dari luasan ini, 1.800 hektare dikerjakan dengan pola kemitraan, sedangkan 3.700 hektare dibiarkan alami,” tuturnya di penghujung Juni.

 

Kawasan Ekosistem Leuser tidak hanya penting bagi kehidupan 4 juta masyarakat yang hidup di sekitarnya, tetapi juga habitat utama gajah, harimau, badak, dan orangutan sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Hutan lindung ditanam sawit?

Perjalanan panjang memang mewarnai hutan lindung di Tenggulun ini. Pemerintah Belanda sedari awal, tahun 1932, padahal telah menetapkannya sebagai hutan lindung. Ada peta dan penunjukan batas kawasannya. Ketika Indonesia merdeka pun, daerah ini tetap dijadikan hutan lindung, UU No 5 Tahun 1960 menjelaskan hal tersebut.

Gejala inkonsistensi terjadi pada 1970-an ketika hutan kaya kayu ini, diturunkan statusnya diturunkan menjadi hutan produksi terbatas (HPT). Tidak itu saja, ada penambahan kata sementara yang membuatnya berlabel hutan produksi terbatas sementara (HPTS). Dan ini, hanya terjadi di Aceh, saat itu, yang berlaku hingga tahun 2000.

Penataan dilakukan kembali ketika Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan Menteri No 170 Tahun 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh, yang mengembalikan HPTS ini ke posisi semula: hutan lindung.

Sebagian kawasan ini memang dilepaskan untuk areal kelapa sawit. Hanya saja, ketidaktahuan masyarakat, kepala desa, dan pihak yang bermain, membuat mereka berpikir, bisa mengambil kayu yang ada di seputaran hutan tersebut sekaligus mendudukinya.

 

Aksi jual beli tanah tidak terhindari lagi, hingga wilayah hutan lindung turut dikapling. Ketika banjir bandang menghantam Aceh Tamiang pada 2006, terlihat jelas hutan lindung tersebut telah berubah fungsi menjadi kebun sawit yang disertai perambahan. “Restorasi ini yang sekarang kita giatkan. Membebaskan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari sawit dan segala hal merusak,” tegas Rudi.

Aceh Tamiang merupakan satu dari 13 kabupaten/kota di Aceh yang melingkupi KEL. Peran penting KEL terlihat jelas sebagai pengatur air, pelindung bencana ekologis, serta habitat empat spesies satwa kebanggaan Indonesia: orangutan, gajah, badak, dan harimau sumatera. KEL yang membentang seluas 2,6 juta hektare di Aceh (2,25 juta hektare) dan Sumatera Utara ditetapkan pula sebagai Kawasan Strategis Nasional.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,