Soal Dokter Hewan, sampai Kandang Transit, Begini Cerita BKSDA Jambi dan Papua

 

Habitat tergerus, hidup satwa liar pun makin terdesak. Tak pelak, konflik dengan manusia terjadi hingga tak jarang satwa harus evakuasi. Belum lagi, penyitaan-penyitaan satwa hasil buruan, peliharaan maupun yang masuk pusaran perdagangan. Beragam permasalahan itu,  menyebabkan banyak satwa hidup di luar habitat.

Kondisi ini, menuntut lembaga berwenang seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) punya sarana dan prasarana demi kelancaran penyelamatan satwa, dari sumber daya manusia, seperti dokter hewan, polisi hutan sampai kandang transit (sementara). Sayangnya, penyediaan hal-hal penting seperti ini masih terbilang minim.

Satu contoh penyelamatan macan dahan di Solok, Sumatera Barat. BKSDA datang evakuasi, lalu bawa ke Padang, tanpa ada pemeriksaan kesehatan di lokasi karena tak ada dokter hewan. Sampai di Padang, malam hingga klinik dokter hewan tak ada buka, menunggu sampai pagi hari.

“Sampai malam, tak ada klinik hewan buka, pagi hari baru diperiksa. Dehidrasi sudah tinggi, karena tak makan dan minum selama terjepit. Periksa ke klinik hewan di Padang, usahakan pasang inpus, namun akhirnya mati,” kata Zulmi Gusrul, Wakil Komandan Satuan Tugas BKSDA Sumbar. Dehidrasi parah, tak mau makan, akhirnya macan mati.

Serupa di Jambi. Jambi juga tak ada dokter hewan. “Terus terang kami kesulitan menghadapi konflik satwa karena kami (BKSDA) tak memiliki dokter hewan” kata Sahron, Koordinator Penanganan Konflik Manusia dan Satwa BKSDA Jambi.

Dia bilang, dengan tak ada dokter hewan juga konsekuensi terhadap biaya operasional. “Kami terpaksa harus mendatangkan dokter hewan dari tempat lain. Ini tentu membutuhkan biaya, harus kami siasati dari dana operasional,” katanya.

Untuk mengatasi kondisi ini,  BKSDA Jambi bekerjasama dengan Kebun Binatang Taman Rimbo dan beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Zoological Society of London/ZSL) yang punya dokter hewan maupun Dinas Peternakan di kabupaten/kota. Mereka membentuk Wildlife Conflict Response Team (WCRT).

“Sejauh ini jika membutuhkan dokter hewan Taman Rimbo siap membantu dan pakai biaya operasional mereka sendiri,” katanya.

Kolaborasi penanganan konflik satwa dan manusia BKSDA Jambi dan ZSL ini, katanya, mulai 2012. Awalnya, tim bernama Wildlife Conflict and Crime Response Team (WCCRT) bertugas menangani konflik dan kejahatan satwa liar khusus harimau.

Setelah evaluasi kinerja tim ini dibagi dua yaitu tim penanganan konflik dan tim penanganan kejahatan satwa liar. “Pembagian agar kedua tim lebih fokus dan kinerja penanganan konflik maupun kejahatan satwa liar maksimal” kata Yoan Dinata, Manajer Konservasi Harimau, ZSL.

Meskipun WCRT, tim penanganan konflik harimau dengan manusia namun tim tetap siap membantu satwa lain.

Berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008 tentang pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar disebutkan, satuan tugas penanganan konflik satwa dan manusia dikomandani kepala BKSDA harus memiliki tenaga medis profesional dan kesejahteraan satwa.

Tim ini memiliki tugas pokok antara lain, menerima laporan mengenai konflik satwa dan manusia, pemeriksaan ke tempat konflik, menangani konflik serta monitoring pascakonflik.

Satu contoh kolaborasi penyelamatan satwa, kala macan dahan masuk ke Desa Muara Sadak, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. WCRT berhasil menangkap macan dahan dan mengecek kesehatan sebelum translokasi.

“Ketika kami cek ternyata macan dahan menderita hernia dan diperlukan tindakan medis,” kata Ahmad Faisal, Koordinator WCRT ZSL juga dokter hewan yang menangani macan dahan.

Tindakan medis tak dapat dilakukan di lokasi, tim membawa macan dahan ke Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi. Setelah operasi dan siap translokasi,  macan dilepasliarkan di kawasan yang jauh dari pemukiman.

Macan dahan ini jadi macan dahan pertama di Indonesia yang menggunakan kalung GPS,  hingga kini terpantau gerakannya.

 

Kandang sementara BKSDA Papua. Foto: Asrida Elisabeth

 

Kondisi di Papua, pun sama, BKSDA tak punya dokter hewan.

“Kita sebenarnya harus memperhatikan kesehatan satwa, menyiapkan tenaga teknis bidang kesehatan, apakah dokter hewan atau yang memiliki kompetensi terhadatp satwa. Sampai sekarang belum. Sumber daya manusia kurang,” kata I Ketut Diarta Putra, Kasubag Data, Evaluasi, Pelaporan, dan Kehumasan BKSDA Papua.

BKSDA, katanya, juga belum memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam menangani satwa-satwa yang sakit. Ketika ada keperluan, biasa memanggil dokter hewan di Jayapura.

BKSDA tak hanya perlu dokter hewan, juga polisi kehutanan dan kandang transit yang representatif. BKSDA Papua, sudah ada kandang transit di Buper Waena, pinggiran Kota Jayapura, tetapi masih sederhana. Kandang antarsatwa hanya pakai penyekat sederhana.

Lokasi kandang transit steril dari aktivitas manusia dan sengaja dibiarkan seperti hutan. “Selama di kandang transit, sifat liar satwa dipulihkan,” katanya.

Satwa, katanya, kebanyakan hasil sitaan dari masyarakat baik peliharaan maupun perdagangan. Biasanya, setelah mengetahui keberadaan satwa, BKSDA langsung operasi bekerjasama dengan pihak lain seperti kepolisian dan TNI. “Tergantung kebutuhan.”

Yowel Wenda, polisi kehutanan bertugas menjaga kandang transit. Dia mencatat satwa-satwa sitaan BKSDA yang masuk ke kandang transit, merawat dan memberi makan satwa tiap hari, hingga membantu proses pelepasan.

Makanan satwa dia beli di pasar atau dapat di hutan. Tiap dua minggu Yowel menerima uang dari Kantor BKSDA untuk membeli makanan satwa.

Besaran uang tergantung jumlah satwa yang menghuni kandang transit. Yowel juga membuat laporan perkembangan satwa-satwa ini.

Saat Mongabay berkunjung, berbagai satwa sitaan ada di kandang tansit, seperti kura-kura moncong babi, penyu, kasuari, buaya, nuri, kakatua raja hitam dan putih, bayan, mambruk, juga anggrek Papua. Dia yakin, masih banyak satwa beredar di masyarakat di Jayapura dan sekitar.

Tahun ini, kata Ketut, BKSDA Papua, bakal punya kandang transit yang lebih representatif di lokasi sama. Kandang lama direnovasi.

Dia berharap, ke depan kebutuhan lain seperti tenaga untuk polisi hutan dan dokter hewan bisa terpenuhi di Papua.

 

Kura-kura moncong babi di kandang transit BKSDA Papua. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,