Pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga sumber daya laut perlahan tapi pasti semakin meningkat. Penanda itu bisa dilihat dari komitmen masyarakat dan juga nelayan yang ada di sebagian daerah di Nusa Tenggara Barat untuk tidak lagi menangkap benih lobster.
Nelayan yang sudah berkomitmen itu, tercatat ada di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Di tiga daerah itu, sedikitnya ada 2.246 rumah tangga (RT) yang yang terbiasa menangkap benih lobster untuk mendapatkan penghasilan rutin.
Nelayan yang menyatakan komitmennya, kemudian mengucapkan ikrar janji di hadapan para pejabat yang ada di Provinsi NTB dan juga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mereka semua, berjanji tidak akan mengakap lagi benih lobster ataupun lobster dengan ukuran berat 200 gram atau lebih kecil lagi dan sedang bertelur.
Ikrar tersebut, secara bersamaan diucapkan oleh Saeful Rizal, wakil nelayan dari Lombok Barat, Legur dari wakil nelayan Lombok Tengah, dan Lalu Mahruf mewakili nelayan Lombok Timur. Setelah berikrar, ketiga orang tersebut kemudian menyatakan akan beralih usaha ke bidang kelautan dan perikanan.
“Kami juga bersedia memusnahkan alat tangkap benih; dan turut serta menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan. Serta sepakat melaporkan penerima bantuan yang masih melakukan aktivitas penangkapan benih kepada Pemerintah dan aparat terkait,” ucap Legur yang diamini dua rekannya.
Dengan adanya ikrar dari nelayan dan masyarakat di tiga daerah tersebut, itu menunjukkan bahwa implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan dan Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Wilayah NKRI, dinilai semakin bagus. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto.
“Implementasi Permen ini bukan semata-mata didasarkan pada niatan untuk mematikan usaha masyarakat, namun Pemerintah justru ingin menyelamatkan kepentingan yang lebih besar, yaitu bagaimana menyelamatkan sumberdaya lobster agar nilai ekonominya bisa dinikmati secara jangka panjang,” ungkap dia.
Slamet menuturkan, meski ada yang menentang dengan pemberlakuan Permen tersebut, namun itu harus disikapi sebagai bagian dari pembelajaran bangsa Indoensia yang mengemban tugas dan tanggungjawab untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Kata dia, aspek keberlanjutan harus dimaknai oleh semua pihak sebagai proses untuk memanfaatkan sumber daya tanpa mengorbankan generasi mendatang.
“Mereka juga punya hak yang sama atas sumberdaya yang ada baik kuantitas maupun kualitasnya,” ucap dia.
Menurut Slamet, pentingnya menumbuhkan kesadaran di NTB, karena di provinsi tersebut ada banyak potensi sumber daya kelautan yang sangat besar, terutama lobster. Untuk itu, penting menjaga kelestarian aset tersebut, sehingga siklus kehidupan lobster bisa berjalan secara normal.
“Jika eksploitasi benih lobster terus berlangsung, maka dipastikan siklus kehidupan lobster ini akan terputus, dampaknya maka ketersediaan stok lobster di alam akan menurun drastis dan sangat mungkin anak cucu kita tidak akan mengenali lagi komoditas satu ini,” lanjut dia.
Pemusnahan Pocongan Lobster
Sebagai provinsi yang dikenal sebagai sentra produksi lobster, ikrar yang diucapkan para nelayan di tiga daerah semakin memperkuat rencana Pemerintah untuk menjaga potensi lobster yang masih ada. Selain berikrar, para nelayan juga memusnahkan ribuan alat tangkap benih lobster atau dalam istilah nelayan setempat disebut pocongan.
Pemusnahan pocongan tersebut dilakukan dengan cara dibakar di Teluk Bumbang yang merupakan salah satu sentral terbesar tangkapan benih lobster di Lombok. Di teluk tersebut, sedikitnya ada 1.000 lubang keramba jaring apung (KJA) yang di dalamnya berisi Pocongan. Itu berarti dalam sehari bisa puluhan ribu benih lobster yang tertangkap dan diperjualbelikan secara ilegal.
Padahal, selain Teluk Bumbang, sentra benih lobster di Lombok ada juga di empat lokasi lainnya, yakni Teluk Awang, Teluk Grupuk, Teluk Ekas dan Teluk Sepi. Itu artinya, jumlah tangkapan benih lobster setiap harinya diperkirakan berkali-kali lipat banyaknya.
Panjang Jumadi, salah seorang nelayan yang biasa menangkap benih lobster mengaku menghentikan aktivitas menguntungkan tersebut karena sadar bahwa itu adalah kegiatan yang tidak benar. Karenanya, dia bersama masyarakat bersepakat untuk beralih ke usaha perikanan budidaya.
Sebagai gambaran bagaimana tingginya eksploitasi benih lobster, pada 2015 saja ada upaya penyelundupan 1,9 juta ekor benih lobster senilai Rp98, 3 miliar ke berbagai daerah dan luar Indonesia. Sementara, dalam rentang tahun 2014 total benih lobster yang keluar dari NTB tercatat 5,6 juta ekor dengan nilai mencapai Rp130 miliar.
Kompensasi Rp50 miliar
Untuk memuluskan implementasi Permen KP No 56/2016, KKP sudah mengalokasikan dana sebesar Rp50 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk biaya kompensasi pemberlakuan Permen kepada para nelayan dan pembudidaya ikan.
Slamet Soebjakto menyebutkan, dana kompensasi tersebut di antaranya akan diberikan untuk 2.246 RT eks penangkap benih lobster, masing-masing di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 873 RTP, Lombok Timur 1.074 dan Lombok Barat sebanyak 229 RTP.
“Kami telah menyerap aspirasi masyarakat dengan memberikan kesempatan pilihan usaha budidaya yang akan digeluti pasca pengalihan ini. Karena sebenarnya mereka pada awalnya juga pembudidaya ikan, jadi kami akan kembalikan pada profesi semula,” jelas dia.
Sementara, Direktur Badan Layanan Usaha (BLU) KKP Sharif Syahrial mengungkapkan, pihaknya siap membantu akses pembiayaan untuk pengembangan usaha budidaya melalui sistem pinjaman lunak. Kata dia, masyarakat tinggal mengajukan proposal pinjaman melalui pendamping BLU yang ada di daerah masing-masing dan kemudian ditindaklanjuti.
Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto menyatakan apresiasi atas kesadaran masyarakat eks penangkap benih lobster untuk menghentikan kegiatannya. Menurutnya, ini menandakan masyarakat mulai memahami pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Rifky mengungkapkan, setidaknya 4 juta ekor benih lobster yang bernilai ekonomi sangat besar setiap tahun keluar dari NTB dengan tujuan utama ke Vietnam. Menurutnya, fenomena eksportasi benih lobster tersebut justru menguntungkan negara lain, sementara Indonesia tidak bisa merasakan nilai tambah apa-apa.
“Pemerintah sadar bahwa implementasi aturan ini pasti akan memberikan dampak ikutan yang akan mempengaruhi ekonomi masyarakat. Oleh karenanya itu, Pemerintah pasti tidak akan tinggal diam, kami telah siapkan antisipasi atas dampak ikutan tersebut dengan memberikan kompensasi berupa dukungan untuk kegiatan usaha pembudidayaan ikan,” pungkasnya.