Indonesia telah memiliki Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum 2015 – 2025. Dalam dokumen yang disusun bersama oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya – LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi Bengkulu, serta Dewan Riset Daerah Bengkulu itu dinyatakan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak merupakan strategi utama.
Namun, strategi yang dideklarasikan pada International Symposium on Indonesian Giant Flowers – Rafflesia and Amorphophallus, 14-16 September 2015 di Bengkulu tersebut, belum diimplementasikan secara efektif. Kasus pemindahan dan pengecatan R. arnoldii menggunakan cat semprot oleh sejumlah warga di Kabupaten Bengkulu Tengah menjadi bukti nyata. “Sangat terkejut dan malu,” kata Koordinator Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Sofian Ramadhan kepada Mongabay Indonesia, Selasa (04/07/17).
Kasus ini mencuat setelah adanya ungkapan kekecewaan para pengunjung, Kamis (29/06/17). Menyikapi laporan tersebut, petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu – Lampung segera turun ke lokasi, memastikan kebenarannya, Jumat (30/06/17). Dalam pemeriksaan itu, petugas menemukan sebuah R. arnoldii yang dipindahkan dari kawasan hutan lindung ke lokasi pinggir Jalan Raya Bengkulu – Curup. “Perbuatan itu sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai konservasi,” ujar Sofian yang terlibat menyusun dokumen SRAK.
Baca: Rafflesia, Bunga Misterius yang Butuh Sentuhan Peneliti
Minimnya pembinaan pemerintah daerah terhadap kelompok masyarakat yang memanfaatkan mekarnya R. arnoldii untuk memperoleh pendapatan dari kunjungan wisatawan, diduga kuat sebagai pemicunya. Padahal, puspa unik dan terbesar di dunia yang ditetapkan sebagai Puspa Langka Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional itu menjadi ikon pariwisata Bengkulu. “Tidak ada perhatian. Terhadap kasus yang berdampak buruk bagi pengembangan pariwisata itu pun, tidak ada reaksi,” tambah Sofian.
Selama ini, KPPL aktif menyebarkan informasi yang disampaikan warga mengenai rafflesia yang mekar di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah. Dengan adanya kasus tersebut, KPPL meninjau kembali aktivitas yang telah mereka lakukan selama ini. “Kami merasa tertipu. Pengunjung yang datang berkat informasi yang kami sebarkan pun tertipu. Khusus wilayah Bengkulu Tengah, kami tidak mau lagi membantu. Untuk wilayah Kepahiang, Bengkulu Utara dan Kaur, kami tetap akan membantu seperti selama ini,” kata Sofian.
KPPL juga menyerahkan sepenuhnya kasus itu kepada BKSDA Bengkulu – Lampung. “Apakah BKSDA sekadar memberi peringatan sebagai bentuk pembinaan atau memprosesnya secara hukum, kami tidak ingin mempengaruhi. Yang jelas, mereka sudah mengetahui bila rafllesia adalah puspa dilindungi undang-undang. Kasus ini juga bukan yang pertama, untuk kasus sebelumnya, kami juga sudah mengingatkan agar tidak mengecat dan menindahkannya,” ujar Sofian.
Proses hukum
Kepala BKSDA Bengkulu – Lampung Abu Bakar mengatakan, pihaknya telah melaporkan kasus tersebut ke Polres Bengkulu Utara agar diproses secara hukum. “Kami berharap pelakunya bisa disanksi sesuai perbuatannya. Langkah ini sengaja dipilih, untuk memberikan efek jera. Apalagi, informasi yang kami terima, perbuatan ini bukan yang pertama, sudah berulang kali. Kalau tidak diproses hukum, bisa terulang lagi. Dampaknya bisa memicu kepunahan rafflesia,” kata Abu, ditemui di ruang kerjanya, Selasa (04/07/17).
Abu menambahkan, pihaknya tidak melarang warga untuk memanfaatkan pesona rafflesia guna memperoleh pendapatan dari kunjungan wisatawan. “Yang dilarang adalah mengecat, memindahkan, dan merusak inangnya. Jadi, silakan saja dimanfaatkan untuk pariwisata dan pemasukan, namun harus sesuai nilai-nilai konservasi. Terlebih, rafflesia yang mekar di kawasan hutan lindung,” ujarnya.
Abu sepakat dengan strategi konservasi rafflesia yang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak. Menurutnya, strategi ini memang tepat. Pemerintah daerah, mestinya membangun kemitraan dengan banyak pihak, terutama masyarakat. Sebab, habitat rafflesia di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah umumnya adalah kawasan hutan lindung, yang kondisi sebagian besarnya sudah digarap atau dibuka oleh warga menjadi kebun. “Kalau memang ada inisiatif dari pemerintah daerah untuk mengembangkan pola seperti itu, kami siap mendukung dan membantu,” tandas Abu.