Nasib Warga Pulau Sembilan yang Berdekatan dengan Pembangkit Listrik Batubara (Bagian 1)

 

Sore itu, tampak seorang pria lalu lalang di pinggir dermaga di Pesisir Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dia sedang mencari penumpang yang akan menyeberang ke pulau-pulau kecil dengan kapal bermuatan 15-20 orang.

Teriakan nyaring memberitahukan kalau kapal terakhir akan berangkat. Bagian atas kapal ada beragam barang dari sepeda motor, jaring keramba, hingga keperluan sehari-hari.

Saya naik ke kapal, duduk di bagian atas agar leluasa memandang keindahan laut. Dekat saya terlihat anak berusia sembilan tahun duduk bersama ayahnya. Mereka akan menyeberang ke Pulau Kampai, masih di Langkat.

“Ayah apa tu,” kata Zulham, sang anak sambil menunjuk bangunan dengan dua corong besar mengeluarkan asap. Jarak tak sampai dua kilometer dari dermaga penyeberangan kapal ini.

“PLTU.” Jawab sang ayah singkat.

Kapal mulai menyusuri lautan. Di sepanjang perjalanan tampak PLTU Pangkalan Susu, terlihat menutupi hutan bakau yang mulai hilang. Kapal pengangkut material lalu lalang.

Setelah satu jam lebih menyeberangi lautan, saya sampai ke Pulau Sembilan, Pangkalan Susu, Langkat. Pulau ini, wilayah terdekat dengan PLTU batubara ini. Jarak sekitar 750 meter ke pembangkit.

Disini, malam hari warga yang rata-rata nelayan dan membuka tambak ikan dan udang, hanya bisa mendapatkan penerangan listrik seadanya.

PLN, menurut warga, sampai sekarang belum bisa memenuhi kebutuhan listrik pulau itu. Penerangan hanya ada sejak pukul 18.00 hingga subuh. Selebihnya, desa praktis tak teraliri listrik.

Arifin Sum, Kepala Desa Pulau Sembilan mengatakan, soal belum ada penerangan 24 jam, warga sudah menemuni perusahaan. PLTU bilang hanya menjual api, listrik langsung ditangani PLN.

Kalau siang hari ada listrik, katanya, bisa ada usaha lain warga dalam menggerakkan ekonomi mereka, selain melaut.

Di Pulau Sembilan, selain listrik belum penuh mereka rasakan, masalah lain juga muncul setelah kehadiran PLTU seperti pencemaran laut dan udara.

Catatan Puskesmas, setiap hari ada saja warga datang berobat karena mengalami sesak nafas atau Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Namun perawat Puskesmas tak berani mengatakan kalau itu dampak terhirup asap PLTU atau debu batubara.

Arifin Sum, Kepala Desa Pulau Sembilan mengatakan, limbah batubara cair ke laut sangat berdampak bagi nelayan. Hasil tangkapan ikan, katanya, terus menurun.

Belum lagi tongkang pembawa batubara yang bersandar di sekitar PLTU mengganggu kegiatan nelayan tradisional mencari ikan. Batubara yang jatuh ke laut juga mengancam kehidupan laut.

Arifin bilang, sudah menemui perusahaan agar tak membuang limbah ke laut, karena bisa mencemari laut dan sekitar.

 

Corong PLTU Pangkalan Susu, tampak dari kejauhan. Foto: Ayat S Karokaro

 

Di Pulau Sembilan, ada 150 keluarga memiliki usaha keramba ikan kerapu. Jarak tak jauh dari PLTU. Kondisi ini, katanya, bikin khawatir warga kalau limbah mencemari pesisir pantai.

“Perlahan tapi pasti limbah batubara ke laut akan merusak laut. Lima, 10 tahun kedepan, kami tak bisa membayangkan bagaimana nasib kami. Bagaimana nasib laut, biota laut jika pembuangan limbah terus terjadi, ” kata Arifin.

Dia berharap, ada perhatian serius dari eksekutif dan legislatif dalam mengatasi permasalahan ini.

Warga sudah protes. Bersama Pemerintah Desa Pulau Sembilan, mereka sudah ke DPRD Langkat dan pemerintahan kabupaten. Hasilnya, nihil.

Arsyad, nelayan Desa Pulau Sembilan menceritakan, berulangkali aksi. Seperti pertengahan Juni lalu, nelayan 62 tahun ini aksi diam di dekat proyek PLTU.

Sejumlah spanduk bertuliskan selamatkan pesisir pantai dari ancaman limbah udara dan limbah cair PLTU batubara, mereka bawa. Anak muda desa juga ikut serta.

Di kapal ikan mereka, spanduk di kertas karton mereka kembangkan persis di belakang tongkang batubara yang tengah bongkar muat.

Mereka mendesak pemerintah menghentikan pembuangan limbah batubara ke laut, dan tak lagi menggunakan batubara.  “PLTU ini sangat menyulitkan bagi nelayan tradisional pulau ini,” kata Arsyad.

Hasil menurun dan ikan dan udang tangkapan kecil-kecil. Sebelum ada PLTU, nelayan tradisional bisa membawa hasil tangkapan empat hingga lima kilogram sekali turun di laut dekat pesisir.

Sekarang, katanya, setiap melaut mereka hanya membawa pulang hitungan berat ons, tak sampai satu kilogram. Setelah mereka cari tahu, mereka menduga kuat karena pencemaran limbah batubara.

“Sekarang hasil laut bisa dibilang tak ada lagi. Sudah tandus, istilah kami karena pencemaran limbah batubara ke laut. Sekarang main perons aja, tak sampai sekilo, ” ucap Arsyad. Bersambung

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,