Para petani di Temanggung ini beralih dari tanam tembakau ke komoditas lain seperti kopi dan sayur mayur. Alasan mereka beragam. Ada petani kapok kena tipu pengepul dan juragan, ada juga karena alasan sakit. Ada petani beralih penuh, sebagian masih tanam tembakau sebagai selingan. Mereka merasa, tanam kopi dan sayur mayur lebih menguntungkan. Ada lagi soal tembakau di Temanggung, yang sebagian tanam di kawasan lindung, mengancam warga karena rawan bencana.
Matori, petani berusia 64 tahun. Dia tinggal di Desa Jurang, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sejak di bangku SMP dia sudah bertani, membantu orang tua.
Sebagian besar penduduk desa Matori, petani. Puluhan tahun lebih Matori bertani tembakau. Empat tahun belakangan, dia beralih, tak lagi tembakau. Di lahan sekitar sehektar itu, dia tanam kopi, sayur dan cabai.
“Tanam kopi dan cabai lebih menguntungkan daripada tembakau,” katanya, Juni lalu.
Kala bertani tembakau, Matori sering tertipu makelar. Itulah alasan utama dia berpindah tanam. Tak hanya Matori , di desa itu ada 60 anggota Tani Ngudi Makmur, rata-rata tak lagi jadikan tembakau komoditas utama mereka. Kala musim kemarau, mereka beralih tanam sayur.
Sebagian petani memang masih tanam tembakau sebagai andalan, tetapi ada juga hanya selingan di antara sayur.
Desa Matori berjarak sekitar lima kilometer dari gudang-gudang perusahaan rokok besar di Indonesia, seperti PT. Gudang Garam dan PT. Djarum.
Sejak 1972, dia bertani tembakau, tak sekalipun bisa jual langsung ke gudang perusahaan.
“Ada petani sudah berulang kali ditipu, masih tanam tembakau. Saya sendiri kapok,” katanya.
Menurut Matori, tembakau modal tak sebesar sayuran. Bedanya, dia bisa menjual sayur langsung ke pengepul, tanpa ada penipuan. Petani bisa pantau harga sayuran langsung dari beberapa pengepul, termasuk nasional.
“Jual tembakau tak bisa dipantau petani, harga ditentukan makelar, juragan dan gudang tembakau, sesuai kualitas atau grade. Puluhan tahun lalu, tak ada makelar, pengepul, gudang, langsung datang ke petani. Ada tembakau dijual, langsung dapat uang.”
Belakangan, Matori dan petani lain tak bisa jual langsung di gudang tembakau. Dia bilang, harus ada kartu tanda anggota (KTA) untuk bisa jual langsung tembakau ke gudang.
Matori menjual tembakau lewat gaok atau makelar. Di Temanggung, dua industri rokok besar penampung tembakau yakni PT. Djarum dan PT Gudang Garam Tbk.
Ketika panen, banyak makelar datang menawari jasa penjualan ke petani. Makelar menentukan harga tembakau, namun menipu.
Dia contohkan, makelar dan petani sepakat harga perkg tembakau Rp20.000. Makelar membawa tembakau ke gudang atau juragan tembakau. Petani tak pernah tahu berapa kesepakatan harga makelar dengan gudang ataupun juragan tembakau. Tiba-tiba makelar membayar tembakau Rp15.000 perkg ke petani.
Alasannya banyak, tembakau jelek, campuran, tak kering dan banyak lagi. Bahkan tembakau yang awalnya dibawa 100 kilogram, berkurang hanya 90 kilogram.
“Pernah sepakat tembakau dibeli Rp5 juta, ternyata dibayar Rp1 juta, sisanya dianggap lunas. Penipuan ke petani tembakau sering terjadi dan berulang,” ucap Matori.
Dia tak lagi mau tanam tembakau. Dia tak mau tertipu kesekian kali. Tak pernah ada tindakan kepolisian terhadap penipuan ini.
Dia merasa tanam sayuran lebih menguntungkan.
Dari cabai, katanya, pernah menjual perkg hingga Rp100.000. Kalau jual daun tembakau basah, paling mahal Rp1.500.
“Cabai panen dua kali sehari, setelah masa tanam sekitar dua bulan. Jika harga cabai murah, bisa dimasak sendiri atau dikeringkan. Jika mendesak perlu uang, bisa jual cepat dan kapan saja, . Tembakau harus tunggu panen, bahkan harus tunggu dibayar makelar atau juragan.”
Tata niaga tembakau seperti ini, katanya, bikin petani makin miskin.
Matori baru menanam kopi hingga belum berbuah. Kopi dia tak perlu pupuk kimia, cukup pupuk kandang.
***
Lain Matori, lain Sumari. Petani ini menanami satu hektar lahan pertanian dia dengan tembakau sebagai selingan sejak empat tahun terakhir.
Sumari memilih tanaman utama cabai keriting merah. Peralihan ini, katanya, karena harga tembakau rendah dan musim selalu berubah.
Di Dusun Lamuk, Desa Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung, lebih 50% petani berpaling ke sayur dan kopi arabika. Desa ini berada di Lereng Gunung Sindoro, ketinggian sekitar 1.200 meter mdpl.
“Penghasilan kopi dan sayur lebih pasti. Petani pilih tanaman yang harga jual jelas dan baik,” kata petani 66 tahun ini.
Selain bertani, dulu dia menjabat carik dan guru. Sepulang mengajar dia bertani. Sekarang sering sakit walau masih bertani, menanam cabai di ladang.
Bagi Sumari, menanam tembakau hanya hiburan. Dia jual kontan ke pengepul. Dia tak mau dibohongi makelar. Dia pernah tertipu makelar. Kala panen lima tahun lalu, dia dapat empat keranjang tembakau, atau sekitar 100 kilogram.
Makelar sepakat membeli Rp50.000 perkg, ketika tembakau Sumari dibawa ke juragan dan gudang, tembakau hanya dibeli Rp40.000.
Dia tak pernah diberi tahu, berapa harga tembakau kepada juragan atau gudang tembakau. “Pernah dibeli empat keranjang, yang dua keranjang dibayar duluan, namun dua keranjang tak dibayar,” kata Sumari.
Menurut Sumari, ada berbagai macam cara memiskinkan petani tembakau, melalui tata niaga yang tak transparan dan tak adil.
Ada sistem juragan, katanya, biasa tanam tembakau hingga panen dimodali juragan, petani hanya menggarap lahan. Selama masa tanam, petani terkadang kesulitan penghasilan, hingga meminjam uang pada juragan, dan dibayar ketika panen.
Ketika menjelang panen, juragan menentukan sendiri harga beli tembakau. Mekanisme ini, katanya, bikin petani banyak terjerat utang.
Adapula sistem jual kontan. Petani menjual tembakau baik daun basah atau hasil rajangan langsung pada juragan atau makelar. Ada tembakau, ada uang. Mekanisme ini mulai banyak digunakan petani menghindari penipuan.
Sistem lain, katanya, petani menitipkan tembakau untuk jual ke gudang lewat makelar. Harga disepakati di awal, sering tak ditepati makelar.
“Bahkan utang, lebih buruk lagi dibawa kabur.”
Sejak 1972, Sumari bertani tembakau. Tak pernah sekalipun menjual hasil pertanian tembakau hingga ke gudang perusahaan rokok. Dia pernah mengalami masa keemasan harga tembakau era 1990an. Sayangnya, lima tahun belakangan terjadi ketidakpastian harga dan musim membuat dia beralih dari tembakau.
“Harga tak cocok, dibohongi lagi. Mending beralih tanam, lebih bahagia,” katanya.
Petani lain, Darmadi, dari Desa Gedekan, Ngadirejo. Darmadi tanam tembakau karena ladang mendukung. Dia jadikan tembakau selingan antara terong. Cabai jadi tanaman utama.
Dia dan anaknya jadi pengepul tembakau bagi petani lain. Anaknya memiliki KTA untuk mengakses jual tembakau hingga ke gudang perusahaan rokok.
“Jika tak jual langsung ke gudang, harga rendah,” kata Darmadi.
Menurut dia, perbandingan harga bisa terpaut Rp10.000, dibandingkan lewat juragan. Sejak dia bertani tembakau 1980, sepuluh tahun terakhir tata niaga tembakau sangat buruk. Petani jadi korban penipuan, bahkan hingga rugi. Sebelum jual ke gudang perusahaan langsung, dia jual tembakau ke juragan pemilik gudang kontrak.
“Banyak petani ditipu. Tembakau belum dibayar, tembakau sudah dibawa kabur,” katanya.
Petani lain, Sumardi dari Desa Katekan, sama dengan Matori. Sejak 2009, dia tak lagi tanam tembakau karena jantung lemah. Dia harus banyak istirahat. Lahan pertanian banyak dijual untuk biaya berobat.
Kini, dia hanya tanam cabai, jipang, bawang dan kopi arabika.
“Bertani sayur dan kopi lebih tenang, tak kepikiran kena tipu,” kata Sumardi.
Dia tak tahu, penyakit jantung lemah yang dideritanya dampak tanam tembakau sejak 1977 atau bukan. Namun dia bercerita, petani tembakau lebih banyak buntung tertipu daripada untung.
Kalau tanam kopi, walau hasil tahunan, tetapi penjualan mudah. “Harga tembakau susah ditebak. Banyak petani rugi dan bangkrut, nanggung utang. Pernah dibayar uang cas, dan rokok bungkusan.”
Banyak juga, katanya, juragan di gudang tembakau ketika membeli tembakau petani, selain bayar tunai, 5% dengan beberapa bungkus rokok.
“Seumpama, tembakau saya dibeli Rp1 juta, uang tunai Rp900.000, Rp100.000 dibayar dengan rokok bungkusan.”
Mekanisme ini banyak diterapkan juragan dan pemilik gudang rokok. “Jual tembakau untuk rokok, tapi dibayar rokok,” ucap Sumardi.
Bambang, warga Kecamatan Ngadirejo, sudah puluhan tahun jadi gaok atau makelar tembakau. Menurut dia, tata niaga tembakau rumit. Sistem hanya menguntungkan pengusaha besar, petani atau makelar rugi.
Selama ini, dia sebagai makelar bayar tunai setiap tembakau. Tembakau jual pada juragan, dengan pembayaran bertahap. Jika harga tak sesuai, makelar menanggung kerugian. Jadi, katanya, ada makelar yang membohongi petani, karena menghindari kerugian.
Dampaknya, pertanian tembakau mulai menurun. “Petani pinter, malas tanam tembakau. Kualitas tembakau terbaik di Temanggung, hanya ada di Desa Lamuk Lego, jenis srintil. Ini dibeli hingga jutaan rupiah oleh perusahaan Djarum.”
Bambang bercerita, ada tembakau tak laku tahun lalu dicampur hasil panen terbaru, ditambahi gula pasir agar lebih berat bahkan campur bahan kimia tertentu agar warna bagus.
Untuk tata niaga, katanya, bahkan sampai terjadi makelar dan juragan gudang membayar petugas mulai keamanan hingga petugas grader agar keranjang-keranjang tembakau terbeli perusahaan rokok.
Dia bilang, sudah seharusnya ada perbaikan mekanisme tata niaga tembakau yang berkeadilan bagi petani.
“Beralih tanaman lain, sudah tepat. Daripada rugi tentu pilih untung,” kata Bambang.
Mongabay berusaha konfirmasi kepada humas PT. Gudang Garam Tbk, dengan menghubungi kantor pusat di Jakarta, namun diminta hubungi kantor di Kediri. Telepon kami hanya diterima operator bernama Eni dan menyarankan kirim pertanyaan via email.
Kami pun mengirim konfirmasi lewat email resmi humas perusahaan dan melalui kontak yang terdapat di website perusahaan pada Rabu, 5 Juli 2017. Juga mengirim pesan kepada Iwhan Tri Cahyono, Kabid Humas PT Gudang Garam, namun tak ada respon hingga berita turun.
Serupa kala konfirmasi kepada PT. Djarum. Email melalui kontak resmi tertera di website perusahaan belum ada respon hingga berita ini diturunkan.
Rambah hutan lindung
Udara terasa cukup dingin, waktu menunjukkan pukul 13.30. Aplikasi di smartphone terlihat 20 derajat celcius. Lima ratus meter dari rumah Sumardi, Pos I, lahan konservasi kelolaan Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Temanggung Kedu Utara.
Berkendaraan roda dua, kanan dan kiri jalan terlihat cabai, tomat, bawang, terong dan kopi arabika. Tembakau berukuran 20-100 centimeter tumbuh jadi selingan sayur. Ada juga lahan khusus tembakau, namun di pinggir kopi.
Di Pos I jalur pendakian Gunung Sindoro dari Desa Katekan, iklan rokok Djarum 76 menyambut pengunjung. Area berswafoto dan tempat istirahat tak lepas dari iklan. Kawasan hutan itu merupakan pengelolaan bersama antara Perhutani KPH Kedu Utara dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sindoro Mukti, RPH Kwadungan.
Sepintas melihat dari Pos I, pinus dan damar tumbuh tegak. Di bawahnya kopi arabika, terong Belanda dan rumput liar.
Berjalan sekitar 200 meter dari pintu masuk, saya temukan tembakau tumbuh di lereng-lereng hutan konservasi. Berukuran 20-70 centimeter, tumbuh di bawah kopi, tanaman keras lain.
Erwin, Administrasi KPH Perum Perhutani, Kedu Utara Temanggung kaget dan langsung memerintahkan asper kehutanan meninjau lokasi.
Temuan di lapangan benar, ada beberapa titik sekitar Desa Katekan ditanami tembakau ilegal.
Dia bilang, tak boleh dan tak ada dalam kerjasama antara LMDH dengan Perhutani, soal tanam tembakau. Dia akan menidaklanjuti dengan penertiban temuan ini.
“Justru yang bisa ditanam sesuai kerjasama, kopi, terong Belanda di bawah tegakan pinus,” katanya, akhir Juni lalu.
Perhutani selalu sosialisasi agar tak tanam tembakau. Di lapangan, masyarakat tak memahami. “Kerja sama kami dengan LMDH tak membolehkan tanaman semusim seperti sayur dan tembakau.”
Dia berharap, ada bantuan Pemerintah Temanggung untuk bersama-sama menangani. “Ke depan akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk pendekatan persuasif agar tak ada lagi tenaman semusim di lahan konservasi.”
Tahun 2015, data BKPH Kedu Utara Temanggung, luas kawasan hutan 5.430,46 hektar. Sebanyak 278,35 hektar tanaman semusim yakni tembakau.
Data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah 2013, KPH Kedu Utara itu hutan produksi 23.740,86 hektar, hutan lindung 12.602,53 hektar. Hutan produksi berisi tanaman komersial.
Tahun lalu, Perhutani mencabut paksa tembakau di hutan lindung seluas 15 hektar, antara lain di Desa Katekan, Giripurno, dan Canggal.
“Luas hutan lindung yang dibebaskan dari tanaman semusim (tembakau) 170 hektar.”
Warga, katanya, bisa menanam sendiri tetapi jenis tanaman konservasi. “Kopi bisa panen setelah tiga hingga empat tahun, terong Belanda delapan bulan. Tembakau bukan tanaman konservasi karena akar pendek. Usia tiga bulan daun sudah bisa panen. Usai panen batang, tanaman dicabut.”
Kondisi ini, katanya, menyebabkan Lereng Gunung Sumbing dan Sindoro, terlihat gersang. Seharusnya, hutan lindung jadi menyangga kehidupan lingkungan sekitar, misal, mengendalikan erosi, menahan intrusi air laut, menjaga daerah tangkapan air dan memelihara kesuburan tanah. “Luas lahan kritis cenderung meningkat tiap tahun,” katanya.
Berisiko bencana
Eko Teguh Paripurno, Kepala Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta mengatakan, tembakau berdampak buruk dan berisiko bencana jika ditanam di lereng terjal.
Pengolahan lahan untuk tembakau, katanya, mendorong erosi besar-besaran. Tembakau perlu panas, pasti menghilangkan tanaman pelindung. Kawasan lindung bawahan, kontra produktif jika ditanami tembakau.
“Saya tak menyarankan konversi lahan dataran tinggi, apalagi kawasan konservasi ditanami tembakau. Risiko bencana besar,” katanya.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Temanggung 2010-2014, luas lahan tanam tembakau berkisar 12.000-15.000 hektar, masyarakat pertembakauan mencapai 51.958 jiwa.
Data 2015, petani kopi arabika 8.559 orang, 15% dibandingkan petani tembakau.
Danang Purwanto, Kepala Bidang Statistik dan Litbang Bappeda Temanggung mengatakan, ada upaya pemerintah memberikan bibit kopi arabika untuk tanam di lereng gunung sejak 15 tahun lalu. Tujuannya, bertahap ada perubahan pola tanam. Bersambung