Hampir 2500 Ekor Burung Diselundupkan dari Lombok. Bagaimana Akhirnya?

Sedikitnya 2491 ekor dari 10 jenis burung diselundupkan dari Pelabuhan Lembar, Lombok, NTB, menuju Padangbai, Bali pada Kamis (06/07/2017) malam. Supirnya sedang diperiksa di Mataram dan para burung dilepasliaran segera pada Jumat di Taman Wisata Alam (TWA) Kerandangan, Lombok.

Ribuan burung tersebut diduga akan diperdagangkan di Bali atau Pulau Jawa. Diperkirakan burung tersebut berasal dari Pulau Sumbawa, dan sekitarnya.

Kesepuluh jenis burung tersebut adalah Punglor Kepala Hitam (Zoothera doherty), Kepodang (Oriolus Chinensis), Sesap Madu Australia (Lichmera Indistincta), Kacamata Laut (Zoosterops Chloris), Gelatik Batu Kelabu (Parus major), Cinenen Jawa (Orthotomus Sepium), Opior Paruh Tebal (Heleia Cassirostris), Apung (Anthus Sp), Bondol Hijau Dada Merah (Erithrea Hyperthura), dan Cica Kopi Melayu (Pomatorius Montanus).

 

 

Lalu Muhammad Fadli, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I (Lombok) Balai Konservasi Sumber Daya (BKSDA) NTB menyebut penangkapan dilakukan di Pelabuhan Lembar, Lombok Barat saat pengawasan rutin oleh petugas gabungan. “Supir sudah ditahan untuk ditelusuri pelakunya,” ujarnya.

Burung-burung ini diangkut dengan truk dan disimpan dalam kotak-kotak kardus seperti wadah bibit ayam. Barang bukti segera dilepas di TWA Kerandangan, Senggigi, Lombok Barat untuk rehabilitasi. TWA ini terbuka untuk umum dengan jalur trekking, wisata air terjun, sungai, dan lainnya.

Menurut Fadli penangkapan seperti ini sudah beberapa kali dengan barang bukti ribuan. Salah satu petanda, penghobi burung makin senang membeli dan memerangkapnya dalam kandang dibanding melihatnya di alam liar.

Balai  Konservasi SDA dan Ekosistem Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan transportasi burung tidak dilengkapi dokumen yang sah. Balai KSDA NTB bersama dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Jabalnusra, Polres Lombok Barat/ Polsek KP3 Lembar, dan Balai Karantina Pertanian Mataram pada 6 Juli 2017 di Pelabuhan Lembar Lombok Barat melaksanakan patroli gabungan dengan sasaran pemeriksaan terhadap kendaraan yang akan menuju atau menyeberang ke Pulau Bali.

Dalam pemeriksaan tersebut sekitar pukul 21.15 WITA, tim menemukan 1 unit Truk Fuso Nopol DK 938 KL mengangkut 2.491 ekor burung yang tidak dilengkapi dokumen yang sah. Penemuan ini merupakan hasil pengembangan informasi masyarakat dan upaya menekan dan mengendalikan peredaran satwa liar di Provinsi NTB.

Dari barang bukti, terbanyak burung Kecial Kuning dan Apung Tanah masing-masing 850 ekor, Bondol Hijau Dada Merah 300 ekor, Punglor Kepala Hitam 112 ekor, Gelatik Batu Kelabu 125 ekor, Sesap Madu Australia 150 ekor, Cinenen Jawa 4 ekor, Kepodang 30 ekor, dan Opior Paruh Tebal 70 ekor.

Burung diserahkan ke BKSA NTB, sedangkan sopir menjalani pemeriksaan intensif oleh PPNS BPPH LHK dan BKSDA NTB.

 

Tumpukan kardus berisi ribuan ekor burung dari 10 jenis yang diselundupkan dari Pelabuhan Lembar, Lombok, NTB pada 6 Juli 2017. Foto: BKSDA NTB

 

Keesokan harinya pada Jumat, burung segera dilepaskan di Kandang habituasi lokasi pelepasan TWA yang dibangun pada Maret 2017. Kandang tersebut berukuran 10 x 6 meter dengan dinding dari jalanet. Semua burung tersebut disebut dipelihara sementara di kandang habituasi untuk dikondisikan agar bisa menyesuaikan diri dengan habitat alam.

Karena banyaknya burung, pelepasan burung ke dalam kandang habituasi dilakukan secara bertahap. Begitu dilepaskan dalam kandang, burung yang masih sehat dan segar akan langsung bertengger di tenggeran bagian atas. Burung yang masih sehat ini kemudian dilepaskan dengan cara membuka dinding penutup kandang bagian atas. Burung yang kurang sehat akan tertinggal di kandang dan selanjutnya dipelihara lebih dahulu sampai sehat. Pelepasliaran ini dimaksudkan untuk mengembalikan burung-burung tersebut ke habitat alaminya.

Izin Penangkaran Dipermudah

Apa yang terjadi jika burung-burung selundupan ini lolos dan diperdagangkan di pasar burung atau langsung ke pelanggannya? Selain berdampak pada keseimbangan ekosistem alam, perubahan perilaku satwa, juga bisnis yang makin menggiurkan.

“Bali salah satu tujuan perdagangan burung,” kata Suharyono, Kepala BKSDA Bali. Menurutnya modus transportasi darat antar pulau sudah jadi modus biasa. Ia mengaku pernah menangkap penyelundup 2000-4000 ekor burung.

 

Sedikitnya 2491 ekor burung dari 10 jenis diselundupkan dari Pelabuhan Lembar, Lombok, NTB pada 6 Juli 2017, dilepasliarkan di Taman Wiasta Alam Kerandangan, Lombok. Foto : BKSDA NTB

 

Tidak semua burung yang ditransportasikan jenis dilindungi. Namun menurutnya dilindungi atau tidak, proses perdagangan harus dilakukan dengan bijak. Salah satu cara memantau perdagangan burung adalah memantau pasar-pasar burung secara terbuka dan tertutup. “Kami juga punya tim cyber online,” katanya soal pemantauan perdagangan di dunia maya.

Misalnya di Bali, menurutnya jumlah perdagangan burung dilindungi sudah berkurang. Salah satu siasatnya, mempermudah izin penangkaran. “Dipermudah izinnya, tanpa biaya,” tandas Suharyono.

Ia mencontohkan sebuah kelompok usaha penangkaran di Kabupaten Tabanan yang didukung salah satu pejabat DPRD disana menangkarkan Jalak Bali. Kini anggotanya 30 orang. Usaha penangkaran ini dimulai dengan pemberian indukan dari penangkar inti. “Ciri yang diperdagangkan burungnya menggunakan ring atau cincin,” tambahnya. Petanda hasil penangkaran bukan produksi alam liar. Jika burung Jalak Bali tanpa cincin di pasar atau rumah, bisa diduga illegal.

Tak hanya mendapat penghasilan dari penjualan burung, menurutnya usaha ini memberikan masukan untuk para perempuan yang bekerja menyuapi burung. “Mereka bisa dapat Rp300 ribu sebulan, kalau bisa menyuapi 3-4 burung kan sampai Rp1,2 juta,” lanjutnya. Kelompok usaha seperti ini disebut membantu konservasi burung langka.

 

Sedikitnya 2491 ekor burung dari 10 jenis diselundupkan dari Pelabuhan Lembar, Lombok, NTB pada 6 Juli 2017, dilepasliarkan di Taman Wiasta Alam Kerandangan, Lombok. Foto : BKSDA NTB

 

Di Sumberklampok, salah satu desa penyangga Taman Nasional Bali Barat juga ada kelompok penangkar Jalak Bali. Hasil tangkaran mendapat surat dari BKSDA. Harga Jalak Bali yang cukup tinggi barangkali menarik bagi masyarakat untuk mengembangbiakannya.

Sejak 2014 bertugas di Bali, Suharyono menyebut sudah mengeluarkan lebih dari 50 izin. Untuk mendorong kelompok penangkar, ia mengaku menggerakkan BUMN untuk menyalurkan CSR ke sejumlah pelestari hewan tak hanya burung juga penyu dan lainnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,