Belajar dari Letusan Sileri, Begini Berwisata Aman ke Kawah Gunung

 

 

Sebuah mobil patroli polisi terparkir di pertigaan jalan menuju lokasi wisata Sileri, Selasa (4/7/17). Beberapa polisi tampak berjaga. Lima ratus meter menuju kawah, seorang polisi dan tentara bersiaga, di gardu pandang, salah satu lokasi terbaik menyaksikan Sileri dari kejauhan.

Di lokasi itu ada pita kuning bertuliskan, “Caution, do not enter.”  Ada papan bercat usang dan karatan bertuliskan, “Perhatian. Jangan mendekat ke bibir kawah. Dinbudpar Kab. Banjarnegara.”

Posisi papan pengumuman sedikit tersembunyi. Beberapa masker, disiapkan untuk keadaan darurat.

Loket pembelian tiket kawah kosong tanpa petugas, beberapa pengunjung masih mendatangi Sileri. Sementara, tak bisa mendekat hanya bisa melihat kawah dari gardu pandang.

Asap putih terus mengepul dari kawah. Area sekitar kawah terlihat hitam. Begitu juga pohon-pohon dalam radius 50 meter dari kawah.

Pada Minggu (2/7/17) siang, Kawah Sileri mengeluarkan letusan disertai asap dan lumpur hitam. Material inilah yang menutupi tanah dan pepohonan di sekitar kawah, termasuk kentang milik warga.

.

Letusan freatik

Semburan lumpur dan asap setinggi sekitar 100 meter dari kawah itu istilah geologi disebut letusan freatik. Menurut pakar geologi dan kebencanaan sekaligus mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohadi, letusan itu karena ada air masuk ke rongga magma.

“Ada air hujan meresap ke bawah, melalui rekahan, mengenai magma. Saat mendidih, punya tenaga dan melemparkan lumpur di atasnya,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Berbeda dengan awan panas Gunung Merapi yang lebih dikenal sebagai wedhus gembel itu masuk tipe magmatik. Magma keluar ke atas, lalu ke bawah menutup kawah. Gas yang terperangkap di dalam karena volume bertambah menyebabkan tenaga besar.

Peristiwa di Sileri itu, katanya, prinsipnya seperti tenaga geothermal. Panas dari perut bumi ikut menaikkan suhu air hingga timbulkan tekanan atau tenaga.

Tak jauh dari Sileri, ada perusahaan Geo Dipa Energi, yang memanfaatkan geothermal untuk pembangkit listrik. Dalam situs mereka menyebut ada potensi 400 MW energi panas bumi di Dieng. Sedang kerjasama Pertamina dan PLN ini baru hasilkan 60 MW.

Menurut Rovicky, sekitar kawah merupakan daerah bahaya. Hanya saja bahaya tidak sepanjang tahun.

“Ada saat-saat aman, ada saat tak  aman.”

Sebenarnya, kemarin sudah ada monitoring Badan Geologi atau Direktorat Vulkanologi bahwa sempat terlihat ada aktivitas kenaikan gas tertentu. “Hingga mereka memberikan amaran,” katanya.

Amaran (perintah) tak sepenuhnya sampai ke pengelola bahkan wisatawan hingga timbul korban.

“Mendekati kawah bagaimanapun berbahaya. Sebenarnya menikmati kawah itu dari jauh bukan dari dekat. Mungkin dalam radius 200-300 meter dari kawah. Harus ada jarak aman antara kawah dan pengamat.”

 

Pintu masuk ke wisata Sileri, Dataran Tinggi Dieng. Foto: Nuswantoro

 

Dalam keterangan kepada awak media, Surono, pakar geologi dan mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, seharusnya pihak berwenang memasang rambu peringatan di pintu masuk. Tujuannya,  agar wisatawan tak berada dalam radius 100 meter dari Kawah Sileri.

“Wisatawan melihat pemandangan sebetulnya tak harus dekat kawah, dalam status normal dekat kawah juga bahaya,” katanya.

Rekomendasi itu, katanya, bukan untuk menghalangi wisatawan menikmati keindahan kawah namun sebagai jaminan keamanan dari ancaman erupsi.

Ada pemahaman keliru selama ini bahwa penyebutan kawasan rawan bencana berarti menghalangi wisatawan untuk menikmati lokasi itu.

“Daerah rawan bencana itu hak gunung api untuk mendapat ruang ekspresi diri dan hak masyarakat untuk mengetahui agar dapat beraktivitas dengan aman. Mari kita menghormati hak-hak alam, bila kita ingin dihormati juga.”

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, menyebutkan, ada 17 pengunjung di lokasi dan terkena cipratan lumpur. Empat menderita luka-luka dan dirawat di Puskesmas I Batur. Tak ada yang tewas.

Keterangan dari Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, Kawah Sileri berbentuk kepundan datar. Permukaan air kawah yang mendidih mencapai empat hektar.

Di Dieng, Kawah Sileri termasuk paling berbahaya dan paling aktif. Kawah ini tercatat pernah meletus beberapa kali, pada 1939, 1944, 1964, 1984, 2003, dan 2009. Sebelum kejadian, pada 2017, menurut catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Sileri telah dua kali meletus yaitu April dan Mei.

 

Minim informasi

Terkait bencana, Alif Fauzi, Ketua Paguyuban Wisata Dieng Pandawa mengatakan, warga Dieng relatif sudah tahu bahaya alam seputar tempat tinggal mereka.

“Kalau warga lokal sudah terbiasa dengan peristiwa itu, yang perlu diberi tahu justru pengunjung. Kesadaran warga tentang bahaya sudah cukup tahu.”

Warga, katanya,  sudah menangkap tanda-tanda alam sebelum kejadian letusan. “Orang sini bilang ada lindu kecil. Ini mau ada apa to?” katanya saat dihubungi menirukan keheranan warga Dieng.

Sepengetahuannya, Sileri ke arah barat masuk kawasan patahan. Jika ada gerakan tanah, kondisi kawah jadi labil.

Soal minim papan informasi, dia mengakui kekurangan fasilitas memudahkan dan meningkatkan keselamatan wisatawan ke Dieng.

“Masih sangat terbatas. Di lokasi cuma satu, itupun di pintu masuk.  Seharusnya dipasang lagi, ditambah.”

 

Papan larangan mendekat ke Kawah Sileri. Foto: Nuswantoro

 

Meski ada papan informasi, tampaknya papan peringatan tak diindahkan pengunjung, warga, maupun pengelola wisata. Terbukti, kejadian Minggu itu wisatawan terkena cipratan lumpur.  Bahkan, ada warga bertani di seputar kawah, dan waterpark justru tak jauh dari kawah.

Rovicky menyarankan, pengelola maupun Direktorat Vulkanologi untuk lebih mengkomunikasikan bahaya.

“Karena mereka memonitor, tahu bahaya. Kita juga tahu tidak selamanya berbahaya. Jadi ada saat-saat tertentu bisa dinikmati. Inilah yang dikomunikasikan.”

Seharusnya ada informasi gamblang, misal, dalam bentuk papan informasi hingga jika terjadi sesuatu mudah mengerti apa yang harus dilakukan.

“Kalau saya melihat daerah itu lebih banyak tidak bahayanya dari pada bahaya.”

 

 Gas beracun

Bencana yang khawatir terjadi di Dataran Tinggi Dieng adalah keluar gas beracun. Pada 1979, gempa di sekitar Kawah Sinila dan Timbang disusul letusan, muncul gas beracun, CO2, H2S, SO2 menewaskan lebih 100 orang. Peristiwa itu dikenal dengan tragedi Sinila.

Dalam catatan PVMBG, larangan beraktivitas di sekitar Kawah Timbang pernah dikeluarkan Juni 2011, mengingat gas CO2 tinggi. Dalam radius satu km dari kawah warga diungsikan ke tempat aman.

Pada Maret 2013, Kawah Timbang kembali mengeluarkan gas beracun. Lembaga ini pun mengeluarkan larangan aktivitas 500 meter dari kawah.

Pada Juni 2017, PVMBG kembali mengeluarkan rekomendasi agar masyarakat tak beraktivitas di Timbang. Selain itu,  meminta masyarakat waspada jika menggali tanah di sekitar Timbang dengan kedalaman lebih satu meter karena berpotensi terancam bahaya gas CO2 dan H2S. Juga tak mendekat ke Sileri, jarak aman sekitar 100 meter dari bibir kawah.

Menurut Rovicky, salah satu cara menyelamatkan dari terpapar gas beracun dengan tetap berdiri, jangan jongkok.

“Gas beracun ini kebanyakan mempunyai berat jenis lebih tinggi dari udara biasa, seringkali di bawah. Jadi kalau di daerah diperkirakan ada gas beracun, coba lihat sekeliling, ada binatang mati di bawah atau tidak. Tak usah duduk, tetap berdiri.”

Dari data PVMBG, pengukuran gas berbahaya CO2, H2S, dan SO2 pada 29 dan 30 Juni di Timbang, Sileri, Sikidang, Condrodimuko dan Sibanteng menunjukkan angka belum berbahaya. Secara keseluruhan tak terjadi peningkatan aktivitas di kawah Gunung Dieng.

 

Kawah Sileri dan pepohonan termasuk tanaman kentang warga yang terkena lumpur. Foto: Nuswantoro

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,