Pengerukan pasir yang dilakukan perusahaan asal Belanda, Royal Boskalis, di Pulau Tanakek dan Sanrobone, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, mendapat kecaman dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Kecaman muncul, karena pengerukan tersebut akan merusak ekosistem di sekitar perairan Takalar yang menjadi lokasi pengerukan.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta mengatakan, pengerukan pasir yang dilakukan di Takalar, tak hanya berdampak pada lingkungan saja, namun juga pada kondisi sosial masyarakat di sekitar lokasi pengerukan. Hal itu, ditandai dengan penolakan warga di Takalar terhadap pengerukan pasir tersebut.
“Penambangan pasir yang dilakukan di Takalar berpotensi menimbulkan kriminalisasi masyarakat pesisir,” ucap dia belum lama ini.
(baca : Tolak Tambang Pasir Laut, Warga Takalar Ramai-ramai Bakar Pantai)
Menurut Susan, tanda-tanda kriminalisasi semakin menguat karena saat ini sudah ada tiga orang warga Takalar yang ditangkap aparat kepolisian setelah melakukan aksi unjuk rasa menolak pengerukan pasir untuk reklamasi di Makassar. Padahal, proyek yang akan membangun Center Point of Indonesia (CPI) dan berfungsi sebagai waterfront city tersebut, dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar.
Susan memaparkan, demi bisa mewujudkan ambisi Pemprov dan Pemkot, material pasir pun akhirnya didatangkan dari luar Makassar, tepatnya dari Takalar oleh Royal Boskalis. Keputusan tersebut diambil, karena ketersediaan pasir di Makassar tidak ada dan pengembang yang mendapatkan konsesi memutuskan untuk memenuhinya dari pulau kecil di sekitar perairan Sulsel.
“Selain Takalar, pasir juga dikeruk dari Pulau Gusung Tangaya dan dilakukan dalam jumlah yang banyak,” jelas dia.
(baca : Ketika Laut Takalar Terus Terancam Tambang Pasir)
Pencurian Wilayah Pesisir
Tentang Royal Boskalis, Susan kemudian mengingatkan bahwa perusahaan tersebut sebelum beroperasi di Takalar, terlebih dulu melakukan pengerukan untuk reklamasi di Teluk Jakarta. Seperti halnya di Sulsel yang dilakukan di pulau-pulau kecil, untuk kebutuhan pasir Teluk Jakarta, kata dia, perusahaan Belanda itu juga melakukan pengerukan di pulau kecil yang ada di wilayah perairan Provins Banten.
Pengerukan secara kontinu yang dilakukan untuk proyek reklamasi tersebut, menurut Susan, sama saja dengan pencurian wilayah pesisir. Bedanya, jika pencurian biasa dilakukan tanpa ada izin yang resmi, namun untuk proyek reklamasi, izin tersebut bisa dengan mudah didapatkan.
“Perampasan pesisir kita terstruktur dan masif terjadi di 16 titik area pesisir Indonesia,” tutur dia.
Dalam melaksanakan operasi pengerukan, Susan mengungkap, Royal Boskalis mengoperasikan kapal Fairway yang mempunya daya angkut sebesar 5 ribu kubik atau setara dengan 5833 mobil truk dengan kapasitas enam kubik. Dengan kapasitas sebesar itu, untuk dua hari tiga malam saja, pasir yang diangkut dari Laut Takalar jumlahnya mencapai 175 ribu kubik atau setara 29.167 truk.
“Itu dilakukan dengan lima kali bongkar muat. Pada saat bersamaan, keuntungan finansial dari sekali keruk dan bongkar muat mencapai Rp3,5 miliar. Artinya, perusahaan mendapatkan keuntungan finansial sebesar Rp17,5 miliar dari lima kali bongkar muat,” papar dia.
“Pengambilan pasir laut dalam jumlah yang sangat besar ini berdampak terhadap kerusakan laut di lokasi yang menjadi tempat pengambilan material pasir dan berdampak pada 4.690 kepala keluarga dari masyarakat pesisir yang tinggal di pantai Makassar,” tambah dia.
(baca : Penambangan Pasir di Perairan Galesong Terus Berlanjut, Warga Ultimatum Pemprov Sulsel)
Cacat Kebijakan
Susan Herawati melanjutkan, meski hingga kini proyek CPI terus berlanjut, namun proyek tersebut cacat secara konstitusional. Tanda ada yang tidak beres dalam kebijakan, terlihat dari tarik ulur pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar.
“Sudah empat tahun tarik ulur terus terjadi. Namun, begitu disahkan menjadi Perda pada 2016 lalu, Pemkot Makassar langsung mengalokasikan lahan seluas 4500 hektare yang berada di wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sasaran reklamasi. Dan, itu dilakuan tanpa pembahasan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil),” tandas dia.
Tidak adanya pembahasan RZWP3K tersebut, menurut Susan, semakin mempertegas adanya ketidakberesan dalam pembahasan kebijakan reklamasi di Kota Makassar. Hal itu, karena dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil haruslah dilaksanakan dengan tertata baik dan melibatkan masyarakat pesisir secara aktif.
(baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris)
Agar bisa tertata dengan baik, menurut Susan, harus ada rencana zonasi pesisir dan pulau kecil sebelum melakukan pemanfaatan wilayah tersebut untuk kepentingan komersial ataupun lingkungan. Kewajiban itu, sebut dia, tertuang dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.
“Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 dan revisinya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan Mahkamah Kontisusi dimandatkan secara tegas rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan lebih dulu,” tegas dia.
Reklamasi untuk Rakyat
Klaim reklamasi untuk rakyat diungkapkan oleh Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo saat diberondong pertanyaan oleh wartawan beberapa waktu lalu. Menurut dia, pelaksanaan reklamasi melalui pembangunan CPI akan tetap berlanjut meski Komisi IV DPR RI mempertanyakan izin pelaksanaan reklamasi di kawasan tersebut.
“Kami mau rakyat bisa menikmati Pantai Losari. Ini cita-cita kami. Semoga bisa tercapai,” ucap dia pada awal Juni lalu.
Cita-cita membahagiakan rakyat Makassar dan Sulsel tersebut, dalam benak Syahrul, di antaranya dengan membangun beragam fasilitas yang bisa digunakan oleh masyarakat umum. Fasilitas yang dimaksud, adalah tempat rekreasi, lintasan lari, dan fasilitas lain.
Secara keseluruhan, kata Syahrul, dengan adanya reklamasi, nantinya kawasan Pantai Losari akan bertambah panjangnya dari 800 meter sekarang menjadi 5 kilometer. Dengan garis pantai sepanjang itu, maka kebutuhan pantai untuk masyarakat dengan layak diyakininya bisa terwujud.
Berkaitan dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan, Syahrul menegaskan bahwa itu tidak masalah. Karena menurutnya, pembangunan CPI sebelumnya sudah dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Selain itu, Perda Zonasi juga sudah dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan reklamasi.
(baca : Tolak Tambang Pasir, Masyarakat Galesong Utara Lapor ke KPK)
Di sisi lain, meski mendapat reaksi pro dan kontra, pengembang yang mendapat konsesi, PT Ciputra Surya Tbk, tak serta merta menghentikan pembangunan. Bahkan, perusahaan tersebut pada akhir 2016 lalu sudah mendapatkan dana sebesar Rp1,2 triliun dari hasil pemasaran rumah tapak yang ada di atas proyek reklamasi.
Hal itu diungkapkan Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk Harun Hajadi di Jakarta. Menurut dia, untuk tahap pertama, pembangunan akan dilaksanakan di atas lahan seluas 106,41 hektare yang sudah direklamasi. Sebelum itu, pihaknya melakukan pembersihan ranjau darat sisa dari perang dunia II.
Untuk proyek CPI, PT Ciputra Surya Tbk melaksanakan reklamasi yang luasnya total mencapai 157,23 hektare. Untuk proyek tahap pertama, Harun menjanjikan akan menyelesaikan pembangunan rumah tapak beserta fasilitas lainnya dalam waktu maksimal 24 bulan. Untuk keperluan itu, dana sebesar Rp3,5 triliun sudah disiapkan.