Program konservasi penyu belimbing (Dermocheclys coriacea) di Pantai Jamursba Medi dan Wermon, Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, terbilang sukses. Tak hanya terlihat dari penetasan telur meningkat, masyarakat juga terlibat langsung, dan mendapatkan manfaat dari kegiatan konservasi ini.
Fitry Pakiding, peneliti dari Universitas Papua, berbagi pengalaman dalam melestarikan penyu belimbing di daerah terpencil ini beberapa waktu lalu di Jakarta.
Awal program, katanya, mereka mulai dengan survei ekonomi, dan sosial juga mendengarkan keperluan warga. “Kadang kala, dalam buat program, apa yang ada di pikiran kita, itu yang diperlukan. Sebenarnya, mungkin lain dengan di masyarakat. Kami belajar mengetahui yang dipikirkan masyarakat,” katanya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sejak 2010, Fitry berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat di Universitas Papua ini. Terletak sembilan jam perjalanan laut dari Kota Manokwari, kedua pantai itu memegang peranan penting karena jadi tempat bertelur penyu belimbing terbesar di seluruh dunia.
Tempat bertelur penyu belimbing menurun drastis hingga 90% sejak 2009 di seluruh dunia. Ada secercah harapan saat ada setidaknya 5.000-9.000 sarang di tiga negara, Indonesia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, per tahun. Dari jumlah itu, 75% di Kepala Burung, Papua Barat, Indonesia.
“Ada harapan di sana, kalau berhasil memulihkan sarang akan menambah jumlah tukik ke laut. Program konservasi juga melibatkan masyarakat lokal,” katanya.
Untuk mendukung program konservasi, mereka mempekerjakan masyarakat sebagai tim patroli dan monitoring. Hingga kini, sudah ada 14 tim patroli.
“Mereka biasa patroli malam dan pagi karena penyu suka bertelur malam hari. [Mereka] ukur panjang dan berat. Pagi, saat [penyu] masuk ke laut, akan lakukan penghitungan lagi dan jejak-jejaknya. Secara intuisi, mereka pintar sembunyikan sarang,” katanya.
Para peneliti dan masyarakat lokal juga bekerja sama melindungi telur penyu dari predator, seperti babi liar, dari sengatan matahari. Mereka memindahkan sarang-sarang ini untuk menghindari erosi dan ombak pantai yang terlalu tinggi.
Manjula Tiwali, peneliti biologi perikanan dan penyu laut dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), mengatakan, upaya mereka membuahkan hasil, dari 10–40% kesuksesan penetasan jadi 50-70% saat menerapkan tata kelola yang melibatkan masyarakat.
Penyu betina bisa bertelur hingga lima kali pada satu musim sebelum mencari makan hingga ke perairan California, di Amerika Serikat, dan baru kembali dua sampai tiga tahun berikutnya.
Satu sarang telur, katanya, bisa berisi 80 butir namun kesuksesan menetas sangat kecil. Para peneliti memprediksi hanya satu dari 1.000 bisa menetas menjadi tukik. Kondisi inilah yang menyebabkan, penyu belimbing dikategorikan rentan dan didapuk sebagai species in the spotlight.
“Kami cukup puas dengan hasilnya. Memang masih banyak harus dilakukan, tapi jelas kami sudah bisa mencapai. Semoga bisa melanjutkan program lebih efektif,” ucap Manjula seraya bilang, tata kelola bidang biologi, katanya, haruslah terencana dinamis dan berubah sesuai keadaan.
Program konservasi ini, katanya, perlu upaya sangat panjang, dana besar, dan sumber daya manusia memadai agar berjalan lancar.
Upaya bersama
Penyu belimbing, merupakan satwa dengan ‘kewarganegaraan ganda’ dan perlu upaya internasional untuk melestarikan, tak hanya Indonesia.
Ia memang bertelur di Papua, lalu pergi mencari ubur-ubur, makanan kesukaan di California. Sepanjang perjalanan, ia berada di perairan internasional yang sering tertangkap jaring. “Kalau sudah begitu, mereka dipastikan akan mati.”
Tak hanya masalah cuaca, perikanan, atau perburuan telur harus dihadapi penyu belimbing, kata Manjula, sampah juga menjadi masalah pelik.
“Kami banyak menemukan plastik dalam perut penyu karena mereka menganggap sebagai jelly fish. Mereka tak bisa membedakan antara ubur-ubur dengan plastik.”
Menurut Manjula, penyu belimbing merupakan bagian ekosistem keragaman hayati dan memiliki peran tersendiri.
“Kalau kita menghilangkan salah satu predator dari sistem, satwa lain akan tiba-tiba meledak [populasi]. Sama dengan sebuah jam. Kalau satu bagian saja tak ditaruh kembali, apakah akan bisa bekerja?”
Pemberdayaan masyarakat
Untuk menyukseskan program konservasi penyu, para peneliti juga melakukan pemberdayaan masyarakat, mulai dari akses kesehatan, pendidikan, hingga peningkatan kesejahteraan.
Kawasan Pantai Jamursba Medi dan Wermon, luas 20 kilometer, mencakup tiga desa, yakni Saubeba (54 keluarga), Warmandi (26 keluarga), dan Desa Wau Weyaf (52 keluarga). Mereka tergolong desa miskin dengan mata pencaharian utama petani dan berburu.
“Di sana ada puskesmas tapi tidak ada dokter. Sama seperti sekolah, ada murid, tapi guru tak ada karena lebih suka ke kota,” ucap Fitry.
Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, mereka membawa dokter dan suster ke daerah itu dan mulai mengajarkan hal sederhana seperti sikat gigi dan cuci tangan.
“Program kesehatan sudah bisa melayani 200-300 orang setiap kunjungan. Meski tak canggih, tapi setidaknya mendapatkan pelayanan dasar seperti malaria, obat flu atau vitamin bagi anak-anak,” katanya.
Bidang pertanian, masyarakat menggantungkan hidup dari bertani dan berburu, mulai diajarkan membangun kandang ayam sendiri, memproduksi minyak kelapa dan kripik pisang.
“Dari usaha kripik pisang dan minyak kelapa, bisa dapatkan Rp15 juta. Balik ke kampung. Kelihatan sedikit tapi bermanfaat.”
Dari relawan mahasiswa yang mengajar di sana, sudah ada peningkatan 8-10% kemampuan belajar membaca, menulis dan menghitung. Mereka juga mengajarkan program konservasi kepada anak melalui Kemah Sahabat Penyu, kini sudah ada tujuh.
“Ada 154 anak dibawa ke pantai dan belajar siklus hidup, mengukur dan menimbang [penyu]. Mungkin kelihatan sepele tapi jangan lupa, anak-anak ini yang akan jadi penerus. Kalau mereka tak kenal apa yang mereka miliki, bagaimana mungkin jadi penerus yang baik.”
Dalam program konservasi ini, para peneliti ataupun aktivis tak bisa hanya menggelar penyuluhan dan berharap ada hasil.
“Tidak bisa datang, berikan penyuluhan, lalu pulang. Harus hidup dengan masyarakat, berikan contoh. Misal, tak bisa kasih petunjuk bikin kandang ayam dengan penyuluhan, tapi dilakukan sendiri. Mereka akan lihat dan tertarik mau bikin. Itu lebih efektif,” katanya.
Hal lain yang perlu jadi pemikiran, katanya, transisi pekerjaan masyarakat agar bisa mandiri dan melanjutkan yang sudah tercapai.
“Masyarakat luar biasa berperan penting tetapi masih kurang kapasitas. Peningkatan kapasitas manusia di samping konservasi satwa sangat strategis. Kalau masyarakat merasa ada keuntungan dari program konservasi, bisa lebih berkelanjutan.”