Menjaga Jantung Borneo Tetap Berdetak, Seperti Apa?

 

 

Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Bekantan, 16 Juni 2017 lalu, berhasil mengungkap pembalakan liar yang dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Penyidik menetapkan pria berinisial AMD (52) sebagai tersangka. SPORC juga menyita 188 batang kayu, beserta sebuah kapal motor yang digunakan sebagai alat angkut.

“Sejak 17 Juni, tersangka sudah ditahan di Rutan Kelas IIb Putussibau. Sementara barang bukti dititipkan di kantor TNBKDS,” kata kepala Seksi Penegakan Hukum Balai Pengamanan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Kalimantan, David Muhammad, pekan lalu.

David mengatakan, tersangka tertangkap tangan tengah membalak kayu di dalam taman nasional. Hari itu, sekitar pukul 13.00 WIB, petugas juga mendapati sebuah kapal motor yang mengangkut 7 batang kayu bulat jenis kawi (Shorea balangeran) dan 181 batang kayu bulat jenis tembesu (Fagraea fragrans).

 

Baca: Rumah Baru Si Pongo di Jantung Borneo

 

Dari pemeriksaan di kapal, ditemukan satu unit chainsaw merk STIHL. Kapal tengah mengarungi Sungai Seputung, Desa Dalam, Kecamatan Selimbau. Tersangka dijerat Pasal 83 Ayat (1) huruf b dan atau Pasal 84 Ayat (1) UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak hutan, dengan ancaman hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun. Denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp2,5 miliar. Kasus penebangan tembesu ini yang kedua ditangani penyidik Balai Gakkum LHK Kalimantan.

Pemenuhan kebutuhan kayu untuk masyarakat setempat, kerap menjadi salah satu alasan untuk melakukan pembalakan. Dikarenakan, keberadaan warga lebih dulu ada dari penetapan status taman nasional.

Koodinator Advokad dan investigasi Link-Ar Borneo, Andreas mengatakan, penetapan kawasan hutan yang sepihak, tanpa melibatkan masyarakat merupakan satu di antara peyebabkan konflik. “Diperlukan keterlibatan perwakilan masyarakat untuk membicarakan hak kelola warga,” katanya. Seberapa jauh pemerintah mengakomodir kebutuhan masyarakat setempat?

 

Orangutan kalimantan yang saat ini statusnya Kritis (Critically Endangered/CR). Sumber foto: Forum Orangutan Indonesia (Forina)

 

Isu pengelolaan kawasan

Pertanyaan itu dijawab pihak taman nasional dengan beberapa capaian. TNBKDS berhasil mendapat dua pengesahan dokumen zonasi perencanaan penataan kawasan konservasi. TNBKDS juga mendapatkan dua unit rekomendasi hasil evaluasi kesesuaian fungsi kawasan konservasi.

“TNBKDS telah menjalin 12 kerja sama pembangunan strategis dan penguatan fungsi kawasan konservasi,” terang Kepala Bidang Teknis Konservasi TNBKDS, Ahmad Munawir.

TNBKDS juga membina empat desa di daerah penyangga kawasan konservasi, untuk menghindari konflik serta memenuhi hak kelola warga setempat. Namun, tetap mengedepankan konservasi. Terdapat 200 hektare kawasan hutan konservasi di zona tradisional yang dikelola melalui kemitraan dengan masyarakat. “Selain itu, ada persentase peningkatan populasi 25 jenis satwa terancam punah prioritas sesuai IUCN Red List of Threatened Species sebesar 10% dari baseline data 2013,” tambahnya.

 

Baca juga: Bukan Rumah Biasa, Kapuas Hulu Bangun Rumah Workshop Madu Hutan

 

Pengelolaan TNBKDS ini berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Betung Kerihun ditunjuk sebagai taman nasional pada 1995 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 467/Kpts-II/1995 dengan luas ± 800.000 ha. Selanjutnya pada tahun 2014 kawasan TN Betung Kerihun ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 3075/Menhut-VII/KUH/ 2014 dengan luas 816.693,40 ha.

“Mandat pengelolaan TNBK adalah menjamin kelestarian ekosistem sebagai habitat berbagai spesies penting, pengatur tata air, melestarikan satwa langka orangutan, beruang madu, owa, dan berbagai jenis burung,” kata Ahmad.

 

Bentang alam yang merupakan koridor Taman Nasional Betung Kerihun–Taman Nasional Danau Sentarum. Sumber foto: Forina

 

Sedangkan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), sesuai SK Menteri Kehutanan 2014, luasannya 127.939 hektare. Mandat pengelolaan TNDS adalah menjaga kawasan sebagai pengatur tata air dan melestarikan orangutan, buaya sinyulong, bekantan, beruang madu dan ikan arwana.

Setelah menyatu menjadi TNBKDS, kedua wilayah digabung pengelolaannya. Betung Kerihun, merupakan kawasan perbukitan dari bentangan Pegunungan Muller yang menghubungkan Gunung Betung dan Gunung Kerihun. Punggung gunung ini menjadi pembatas alam antara wilayah Indonesia dan negara bagian Serawak, Malaysia.

Sungai-sungai mengalir di kaki pegunungan tersebut. Aliran sungai membentuk beberapa daerah aliran sungai (DAS) yaitu Kapuas, Sibau, Mendalam, Bungan, dan DAS Embaloh. Di sisi Indonesia, Betung Kerihun membentang di Kecamatan Embaloh Hulu, Embaloh Hilir, dan Putussibau. Luasannya 800.000 hektare, meliputi hampir 28% luas daerah Kabupaten Kapuas Hulu.

Danau Sentarum sendiri merupakan komplek danau-danau. Terdiri 20 danau besar kecil, 89.000 hektare hutan rawa tergenang dan 43.000 hektar daratan. Danau ini adalah hamparan banjir yang dipengaruhi pasang surut terluas di Asia Tenggara. Diperkirakan, tersimpan 16 triliun meter kubik air per tahun di kawasan ini.

Isu pengelolaan kawasan perbatasan, menyebabkan TNBKDS termasuk menjadi target kebijakan pemerintah Indonesia untuk dilakukan pembangunan sarana dan prasarana. Terdapat sembilan desa yang berada di sekitar kawasan, dan dua desa di dalam kawasan Betung Kerihun.

Ahmad mengungkapkan, dari 9 desa tersebut masyarakatnya terbagi 7 etnis, yaitu Dayak Iban dan Dayak Tamambaloh di bagian barat kawasan; Dayak Taman, Dayak Kantu’, Dayak Kayan, Dayak Bukat di bagian tengah, dan etnis Dayak Punan Hovongan di bagian timur kawasan. “Potensi hayati dan non-hayati kawasan berperan penting dalam kelangsungan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat tersebut.”

 

Inilah penampakan Danau Sentarum dari puncak Bukit Tekenang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

 

Identifikasi kearifan lokal

Dalam rangka mendukung aturan tersebut, telah dilakukan penguatan kelembagaan adat di koridor TNBKDS, 2 Mei 2017. “Meski awalnya tidak tertulis, kearifan lokal selalu terdapat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aturan sehari-hari, pergaulan sosial, adat istiadat sampai pengelolaan sumber daya alam,” kata Heriyadi, dari Forina (Forum orangutan Indonesia).

Pengambilan data dilakukan April 2015 dan September 2016. Selain itu, telah dilakukan konsultasi hasil pada Januari 2016 dan Maret 2017, menghasilkan kesepakatan perlindungan sumber daya hayati. “Teridentifikasi 11 cerita nenek moyang masyarakat Iban dan Tamambaloh dengan orangutan kalimantan.”

Sekretaris Dewan Adat Dayak Kabupaten Kapuas Hulu, Ambrosius Sadau, mengapresiasi hasil identifikasi ini dan seluruh capaian yang diperoleh. “Perlu ada harmonisasi persepsi antara pengelolaan kawasan konservasi (TNBKDS) dengan kearifan masyarakat yang berada sekitar kawasan. Dokumentasi ini dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan di tingkat daerah mapun pusat,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,