Rencana Bangun Sekat, Masyarakat di Lahan Gambut Dilibatkan dalam Uji Publik

Upaya restorasi lahan gambut sebagai bentuk antisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan terus bergulir di Kalimantan Tengah. Di Kabupaten Pulang Pisau, selain dilakukan penutupan kanal primer eks PLG blok C, saluran irigasi berupa kanal kecil atau handel juga akan dilakukan penyekatan.

Mengutip keterangan dari Deputi bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan Badan Restorasi Gambut (BRG) Alue Dohong, untuk Kalteng saat ini, pemerintah merencanakan untuk membangun sumur bor 6.900 unit, sekat kanal semi permanen 1.656, empat paket penimbunan kanal. Sekitar 70 persen akan dialokasikan di Kabupaten Pulang Pisau, dengan sisanya di Kapuas, Barito Selatan dan Katingan.

Program ini merupakan awal dari tiga strategi pemulihan gambut, yaitu 3R, rewetting (pembasahan), revegetation (penanaman kembali) dan revitalization livelihood (peningkatan kesejahteraan masyarakat).

Rewetting tidak hanya difokuskan pada lahan eks PLG, tetapi juga mencakup keseluruhan KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut), ekosistem gambut yang ada di dalamnya. Termasuk juga mengelola saluran-handel yang diindikasikan menyumbang sekitar 40% kebocoran kubah gambut, selain kebocoran dari sekat kanal utama.

“Kalau ada handel yang tidak digunakan, artinya dipertimbangkan ditutup. Supaya tidak terjadi overdrain. Ini tidak bisa dilakukan dalam satu spot saja tapi harus menyeluruh dalam satu kawasan,” jelas Rudi Purwadi, Ketua Tim Sembilan Hapakat Lestari, yang merupakan wadah fasilitasi mitra masyarakat gambut kepada Mongabay Indonesia pertengahan Juli ini.

Dia menyebut, konstruksi sekat (tabat) akan mulai dikerjakan tahun 2018. Adapun diperkirakan biaya konstruksi membangun tabat di tiap handel akan berbeda-beda. Untuk tabat besar diperkirakan kebutuhan dana Rp.29 juta, sementara untuk tabat yang kecil sekitar Rp.15 juta.

Persoalannya, pemulihan gambut bukan hanya persoalan teknis semata. Malah, lebih besar isu sosialnya. Handel yang saat ini menjadi sebab pengeringan gambut, juga digunakan sebagai jalur transportasi masyarakat menuju ladang garapan. Tidak hanya itu, area diseputaran handel juga harus dipertimbangkan, karena lokasi yang kembali dibasahi harus diatur agar lahan ladang masyarakat tidak terdampak.

Seluruh proses pengerjaan itu tentunya membutuhkan persetujuan masyarakat. Sehingga kedepan, ketika handel ditutup tidak muncul pertentangan. Apalagi dalam satu handel, bisa terdapat 100-200 orang anggota masyarakat pengguna yang terpotensi terdampak.

Sambung Rudi, kuncinya ada di kerangka pengaman sosial yang mengacu kepada prinsip internasional yang disebut FPIC (Free Prior Inform Concept) atau yang di-Indonesiakan sebagai padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan). Lewat padiatapa akan dilakukan proses uji publik dengan membangun kesepakatan yang dibuat bersama masyarakat.

“Prinsipnya dalam padiatapa proyek tak dibangun juga tak apa, tidak memaksakan. Tapi jangan sampai yang sudah dibangun itu dirusak. Kalau yang dibangun pada akhirnya dirusak, lebih baik tidak dibangun sama sekali,” jelas Rudi, saat ditanya beda padiatapa dengan sosialisasi proyek.

Dalam padiatapa, akan disosialisasikan tentang kegiatan restorasi gambut, juga dibahas berapa jumlah handel yang yang akan ditutup, dimana titik sekat (tabat) yang dibangun, bagaimana sistem konstruksi sekat yang akan dibangun, hingga membahas tinggi level kondisi air untuk pembasahan gambut yang tidak merusak tanaman warga. Padiatapa diakhiri dengan berita kesepakatan bersama masyarakat untuk membangun dan merawat tabat.

“Dalam padiatap kami memberikan pengertian bahwa kondisi level air 40 sentimeter itu aman untuk tanaman dan itu bahkan bisa lebih baik. Hidrologi kita atur, kita buat saluran, tidak akan menggenangi tanaman di kebun mereka. Konstruksi tabat akan dibangun berbeda untuk mengatur elevasi air. Sekat dapat dibangun permanen berbeton buka tutup atau sekat pengaturan air (spell way) di tengah.”

Tim Sembilan saat ini bekerja untuk memfasilitasi proses padiatapa di lima desa. Diantaranya Desa Garung di Kecamatan Jabiren Raya dan Desa Gohong, Kelurahan Kalawa, Buntoi dan Mantaren di Kecamatan Kahayan Hilir.  Empat dari lima desa kebetulan berbagi hutan desa dalam satu hamparan yang pada tahun 2015 terbakar hebat.

Bagi Yanto, kepala Desa Gohong yang desanya sedang dalam proses padiatapa, menyambut gembira proses ini. “Masyarakat sudah sadar fungsi tabat untuk membasahi kembali lahan-lahan gambut. Tidak ada penolakan dari masyarakat. Masyarakat ingin terhindar dari kebakaran lahan seperti tahun 2015 lalu.”

 

Uji publik padiatapa di desa-desa di lahan gambut yang saluran irigasi (handel) akan dibuat sekat. Foto: Indra Nugraha

 

Baginya, proses ini baik, karena langsung melibatkan pengurus handel dan anggotanya. Asas keterbukaan, dan persetujuan tanpa paksaan juga dijalankan dengan baik.

“Ini luar biasa. Di kami kan ada hutan desa yang menurut SK merupakan kawasan hutan lindung. Jadi harapannya dengan pembuatan tabat di handel-handel yang ada nantinya juga bisa sekaligus menjaga hutan desa kami,” sambungnya.

Namun, jika masih tampak ada ganjalan adalah tidak semua anggota handel bisa hadir. Seperti yang disebut oleh perwakilan LPHD (Lembaga Pengurus Hutan Desa) Mantaren Satu, Gading. Baginya, pertemuan sudah baik, namun belum semua anggota terlibat.

“Karena itu, meskipun saya pengurus handel, saya tak bisa mengambil keputusan sepihak. Jangan-jangan ada beberapa anggota yang tak setuju dan nantinya malah merusak tabat yang akan dibangun,” ucapnya.

Di Desa Mantaren Satu ada tiga handel dengan jumlah anggota 250 orang. Ia berharap, komunikasi antar pengurus dan anggota handel bisa lebih lancar. Sehingga kesepakatan yang diambil merupakan hasil yang terbaik dan tak ada lagi pertentangan di antara sesama anggota maupun pengurus handel.

“Masalahnya di handel yang ada itu kan ada program cetak sawah dari Dinas Pertanian. Jadi saya berharap Dinas Pertanian juga dilibatkan. Sehingga bisa menyampaikan hal ini kepada masyarakat,” katanya.

Program cetak sawah di Desa Mantaren Satu menurut Gading, sudah berjalan selama dua tahun dengan luas 250 hektar. Meski begitu, hingga saat ini belum terlihat hasilnya. Ia mengatakan, program cetak sawah itu terkesan asal-asalan. Tapi masyarakat masih berharap pada cetak sawah yang ada. Mereka khawatir jika handel ditabat, sawah akan terganggu.

“Harapan kami ini bisa clear. Sekarang masih ada ganjalan di masyarakat,” katanya.

Kendala ini pun diakui oleh Rudi. Muskil dalam sebuah pertemuan seluruh anggota handel dihadirkan.

“Paling saat ini kami bisa jangkau 40%. Belum bisa seluruhnya. Jadi pasti ada kelompok masyarakat yang belum tahu. Harapan kita nanti supaya masyarakat yang tahu, dapat saling menginformasikan bahwa nanti kita akan membangun tabat,” ujarnya. Dia berjanji, komunikasi intens untuk menyadartahukan masyarakat terus dilakukan.

Hingga berita ini dibuat, penentuan lokasi tabat di tingkat LPHD baik di Gohong, Buntoi, Kalawa dan Mantaren Satu masih berproses dan belum disepakati.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,