Petani di sejumlah daerah di Provinsi Aceh kembali merugi akibat persawahan mereka gagal panen. Kemarau hebat yang melanda provinsi di ujung barat Indonesia ini, yang menyebabkan debit air berkurang, memaksa mereka memotong padi meski belum waktunya.
Murdani, petani di Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (23 Juli 2017) mengatakan, satu hektare padi miliknya dengan berat hati harus dipotong, dijadikan pakan sapi. “Ketimbang rugi total lebih baik untuk pakan ternak peliharaan saja.”
Murdani menjelaskan, ia memang lebih memilih memotong padinya itu ketimbang membiarkan mati perlahan. “Kemarau kali sangat parah, tanahnya retak-retak dan beberapa sumber air kering tak bersisa,” ujarnya.
Kepala Dinas Pertanian Aceh Besar, Tarmizi menyebutkan, sawah yang kering ini mencapai 2.000 hektare lebih. Sawah yang gagal panen merupakan sawah tadah hujan. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar telah mengingatkan petani agar tidak menanam padi pada musim tanam kedua tahun 2017.
“Kita telah meminta petani agar menanam jagung dan tanaman holtikultura lainnya di sawah tadah hujan. Padi hanya di tanam di sawah yang dekat sumber air yang luasnya 18 ribu hektare, namun ada petani yang tetap memaksa menanam padi,” ungkapnya.
Selain Aceh Besar, kemarau panjang yang menyebabkan sawah kering juga terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Bireuen, Pidie Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Barat Daya.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Zakaria menjelaskan, kemarau yang melanda Aceh ini bersuhu rata-rata 35 derajat Celcius.
“Kemarau terjadi di wilayah yang terletak di pesisir timur dan barat atau daerah yang terletak di dataran rendah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Jaya, Lhokseumawe, Aceh Tamiang, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan beberapa daerah lainnya.”
BMKG memperkirakan, kemarau akan berlangsung hingga akhir Agustus atau September 2017. Cuaca akan sangat panas dan menyebabkan kekeringan. Tapi, sesekali akan turun hujan, meski intensitasnya rendah.
“Hujan turun dengan intensitas berkisar 20 hingga 50 milimeter dalam satu hari. Ini terjadi karena pada bulan Juni, terjadi peningkatan uap air, lalu langsung berada pada puncak musim kemarau,” ungkapnya.
Zakaria melanjutkan, karena suhu yang mencapai 35 derajat Celcius, dampaknya bukan hanya pada sawah yang mengalami kekeringan, tapi juga lahan-lahan atau hutan akan mudah terbakar. “Kita telah mengimbau masyarakat agar tidak membersihkan lahan dengan cara membakar, karena api akan mudah berkobar,” tandasnya.
Bukan faktor alam semata
Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma menuturkan, kekeringan ini bukan karena faktor alam semata. Kerusakan hutan, galian C atau pengerukan gunung dan sungai yang dilakukan manusia sangat berkontribusi besar datangnya bencana.
“Lihat saja pengerukan gunung dan sungai di Aceh Besar dan daerah lain di Aceh. Ini terus terjadi tanpa ada usaha serius untuk menghentikannya.”
Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir menyebutkan hal yang sama. “Hilangnya daerah resapan air di hilir harus dilihat karena rusaknya kawasan hulu, akibat alih fungsi hutan dan lahan untuk perkebunan dan pertambangan.”
Muhammad Nasir menambahkan, rencana pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di beberapa daerah di Aceh seperti di Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Timur dan Tamiang, dan Aceh Barat Daya harus diperhatikanlebih teliti lagi. “Semoga bencana kekeringan ini menjadi pelajaran kita semua agar senantiasa menjaga hutan, termasuk sumber air bersih,” tandasnya.