Terkejut. Senang. Campur aduk. Begitulah, Abdon Nababan, mencerminkan perasaan dia kala mendapatkan informasi kalau menjadi salah satu penerima penghargaan Ramon Magsaysay Award 2017 untuk kategori Community Leadership.
Hari ini, Ramon Magsaysay Award Foundation mengumumkan, empat orang dan satu organisasi/lembaga yang menerima penghargaan ini. Mereka adalah Yoshiaki Ishizawa dari Jepang; Lilia de Lima, Filipina, Abdon Nababan dari Indonesia, Gethsie Shanmagum, Sri Lanka dan Tony Tay dari Singapura. Satu lagi Philippine Educational Theater Association.
“Saya pun sampai hari ini tak tahu bagaimana prosesnya sampai nama saya masuk jadi calon penerima Magsaysay Award ini. Kejutan menyenangkan,” kata Abdon kepada Mongabay, Kamis (27/7/17).
Dia bilang kejutan karena tak pernah membayangkan, apa yang telah diperjuangkan akan mendapatkan penghargaan setinggi ini.
“Menyenangkan, karena hadiah ini bukan hanya untuk saya, tetapi untuk ribuan orang yang selama 24 tahun terakhir berjuang bersama saya dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia,” katanya.
Abdon Nababan, adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dua periode, 2007-2017. Dalam gerakan masyarakat adat, Abdon terlibat sejak awal, dari proses kepanitiaan pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama kali 1999.
Keaktifan dalam proses pengorganisasian gerakan masyarakat adat ini menarik hati komunitas-komunitas adat anggota AMAN mendapuk dia sebagai Sekjen AMAN dua periode.
Hak-hak masyarakat adat terabaikan selama 70-an tahun. Berbagai konflik masyarakat adat dengan perusahaan sampai pemerintah. Kala mempertahankan wilayah hidup, masyarakat adat terintimidasi, teror, sampai kekerasan fisik.
“Ribuan atau mungkin puluhan ribu orang yang hidup penuh keringat dan air mata, menderita, miskin, diejek, dilecehkan, dianggap sebagai pemberontak, anti pemerintah, anti pembangunan, bahkan di banyak tempat dituduh PKI atau separatis,” kata Abdon.
Kini, berbagai elemen membicarakan isu masyarakat adat, dari organisasi masyarakat sipil, perusahaan sampai pemerintah.
Pemerintah sudah bikin komitmen pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. Bahkan, DPR berinisiatif menyusun RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat—meskipun tak selesai periode parlemen lalu dan lanjut periode sekarang.
Pengakuan terhadap masyarakat adat makin kuat kala 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi memutuskan hutan adat bukan hutan negara. Lalu, Komnas HAM, pada 2014 melakukan Inkuiri Nasional Masyarakat Adat. Ia mengupas 40 kasus pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat yang terjadi di kawasan hutan. Di penghujung 2016, sejarah terukir, kali pertama di Indonesia, pemerintah mengeluarkan keputusan soal penetapan hutan adat.
Bersama Abdon, isu masyarakat adat kuat terdengar di level lokal dan internasional. Gerakan masyarakat adat terus menguat, dengan lebih 2.000-an komunitas bergabung di berbagai penjuru negeri. AMAN pun menjadi organisasi masyarakat adat terbesar di dunia.
Debut pria kelahiran Humbang, Tano Batak, Sumatera Utara, 2 April 1964 ini di dunia gerakan masyarakat sipil dimulai jauh sebelum itu.
Dia salah satu tokoh aktivis lingkungan di negeri ini. Sejak 1989, dia sudah bergabung di Walhi, organisasi lingkungan tertua dan terbesar di Indonesia. Abdon juga ikut mendirikan dan memimpin Yayasan Sejati, Yayasan dan Perkumpulan Telapak serta Forest Watch Indonesia (FWI).
Dari informasi Ramon Magsaysay Award Foundation, penghargan akan diserahkan resmi kepada Abdon Nababan dan penerima award lain pada 31 Agustus 2017 di Manila, Filipina.
“Penghargaan Magsaysay ini menunjukkan kerja-kerja nyata dan integritas Abdon Nababan dalam membangun dan memperkuat masyarakat adat selama 24 tahun terakhir di Indonesia, juga diakui hingga Asia,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN.
Kinerja Abdon, katanya, dianggab sesuai visi misi Ramon Magsaysay Award Foundation dalam menyebarluaskan keteladanan, integritas dalam menjalankan pemerintahan dan kegigihan dalam memberikan pelayanan umum. “Juga idealisme praktis dalam suatu lingkungan masyarakat yang demokratis,” katanya dalam rilis kepada media.
Penghargaan bergensi ini juga pernah diterima oleh tokoh-tokoh besar negeri ini, antara lain, Presiden KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur (PBNU) pada 1993 dan Syafi’i Ma’arif (PP Muhammadiyah) pada 2008. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966 menerima penghargaan serupa 1971.
“Sebagai penerima Magsaysay Award ini, saya hanya seorang wakil atau simbol dari penderitaan dan perjuangan mereka semua.”
“Semoga mereka semua juga merasa penghargaan ini untuk mengapresiasi dan memberi tempat terhormat di mata dunia. Sebagai pejuang-pembela hak-hak masyarakat adat. Terimakasih untuk Magsaysay Award Foundation atas award ini,” ucap Abdon.