Bencana Alam, Potensi yang Memang Ada di Indonesia

 

 

Tingginya potensi bencana alam di Indonesia menjadi persoalan penting yang terus dicarikan solusinya. Kondisi ini terungkap pada Pertemuan Nasional Peran Data Geologis Dalam Mitigasi Bencana di kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha, Bandung, Senin (24/07/2014). Kegiatan ini dihadiri perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Geologi, hingga para akademisi.

Satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana adalah dengan pendekatan teknologi. Misal, data geologi Indonesia dijadikan rujukan bersama yang dalam pelaksanaannya ada pengawasan.

“Untuk itu, BPK coba menyikapi permasalahan mitigasi bencana melalui optimalisasi data geologi. Kami melakukan audit kinerja Badan Geologi guna meminimalkan korban dengan cost yang bisa diminimalisir juga,” terang Anggota IV BPK, Rizal Djali, di sela pemaparannya.

Menurut Rizal, pemerintah sebenarnya telah melakukan mitigasi bencana secara sistematik dan masif. Namun, hambatannya terletak pada persoalan klasik seperti ketersediaan dana, tenaga ahli yang kurang, dan terbatasnya teknologi. Sebagai langkah awal, perlu dibangun formulasi yang mengedepankan pemanfaatan data geologi.

Berdasarkan catatan Bappenas, dalam lima tahun terakhir, angka bencana alam masih tinggi yang dibarengi kerugian materil dan non-materil. Pemerintah daerah, diharapkan, tidak ragu mengeluarkan dana mitigasi bencana sebab sudah dianggarkan dalam APBN. “Persoalannya adalah, laporan pertanggungjawaban harus akuntabel dan tepat,” terangnya.

Apalagi, lanjutnya, sudah ada dana desa senilai Rp1,5 miliar. Dengan adanya bantuan itu, seharusnya koordinasi terjalin baik antara daerah dengan pusat. “BPK berupaya agar dana bencana dapat ditekan, salah satu caranya dengan melalukan audit kerja di Badan Geologi,” ujar Rizal.

 

 

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDA, Ego Syarial, membenarkan tingginya potensi bencana yang dipengaruhi letak geografis Indonesia. Adanya 127 gunung api dan 3 lempengan tektonik aktif menyebabkan munculnya gempa bumi, letusan gunung api, pergerakan tanah, hingga potensi tsunami.

“Badan Geologi telah memberikan surat rekomendasi beserta peta kepada seluruh Bupati dan Gubernur seluruh Indonesia. Sosialisasi dan datanya juga selalu kami update tiap bulan,” terangnya.

Ego menerangkan, sebanyak 69 gunung api terus dipantau perkembangannya di 74 titik. Ada 208 pengamat yang diterjunkan di lokasi berbeda. Meski harus diakui, peralatan yang tersedia jauh dari ideal.

“Sebagian lagi belum terpantau. Kami memiliki data, sekitar 4,5 juta jiwa penduduk bermukim di radius kurang dari 10 kilometer dari kawah. Jelas berbahaya dan mengkhawatirkan. Pemantauan harus terus dilakukan baik visual maupun intrumental.”

Ego menambahkan, ancaman bencana lainnya dipengaruhi faktor manusia. Ada hal yang tidak bisa disentuh oleh Badan Geologi, sehingga masyarakat mau tidak mau harus sadar dengan potensi dan geja bencana di daerahnya masing-masing.

Kerusakan lingkungan akibat pembangunan tidak terkendali, otomatis memicu hadirnya bencana. Seperti halnya fenomena banjir bandang dan pergerakan tanah yang belakangan ini sering terjadi. “Vegetasi kawasan hulu juga kritis dan gundul. Banyak alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Struktur kawasan memang penting kita pahami bersama.”

Masyarakat bisa mendapatkan berita terkait kebencanaan, langsung dari telepon pintar. Badan Geologi telah memiliki aplikasi berbasis Android yang menyajikan informasi potensi pergerakan tanah hingga level kecamatan. Namanya MAGMA Indonesia.

“Data potensi bencana ada semua. Silakan unduh dan instal aplikasinya,” tegasnya.

 

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial (kiri), Anggota IV Badan Pemeriksa Daerah (BPK) RI Rizal Djalil (tengah), dan Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia, Harkunti P. Rahayu saat diskusi di Pertemuan Nasional Peran Data Geologis Dalam Mitigasi Bencana di Aula Barat, Kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Senin (24/7/2017). Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pelaksanaan RTRW

Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia, Harkunti P. Rahayu menyatakan, berbicara mengenai mitigasi bencana perlu juga mengaitkan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengarah pada pencegahan. RTRW Kabupaten/Kota saat ini masih dirancang secara pretensi atau keinginan, belum sepenuhnya berbasis mitigasi bencana.

“Idealnya, pemerintah daerah sudah me-review RTRW yang ada. Namun, karena RTRW beskala kota dan bahasannya luas, perlu dibuat lebih detil lagi ke rencana detil tata ruang (RDTR),” terangnya kepada Mongabay Indonesia, usai acara.

Rahayu menyebut, beberapa daerah telah memasukkan rancangan kebencanaan dalam RTRW, namun belum menjadi prioritas. Pelaksanaannya masih lemah dan cenderung terabaikan. Padahal, ancaman bencana dapat terjadi tanpa kenal waktu.

“Barangkali, upaya menekan potensi bencana bisa dianjurkan mulai dari RTRW dengan pertimbangan Indonesia diprediksi bakal menghadapi bonus demografi. Sehingga, akan muncul tekanan terhadap lahan akibat desakan kebutuhan.”

Tapi, poin pentingnya, tutur Rahayu, adalah penegakan hukum. Tanpa aturan yang kuat, RTRW dan rancangan mitigasi bencana tidak akan ada artinya.

“Tata ruang harus berbarengan dengan law enforcement. Harus ada konsistensi dan yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah, guna mewaspadai bencana dan mengawasi tata ruang,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,