Aksi Nurhayati Pasok Air Bersih Kala Sungai Rampah Tercemar

 

 

”Air (sungai kami) berwarna hitam kecoklatan, berminyak, berkarat kaya’ karat besi,” kata Nurhayati Harun, warga Gampong Buket Linteung, Aceh.

Sungai dimaksud Nurhayati adalah Sungai Rampah,  yang sudah jadi sungai mati. Disebut sungai mati karena buntu, air tak mengalir ke mana-mana. Padahal, sungai ini sumber air warga Buket Linteung, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh.

Lingkungan sekitar desa, kata Yati, sapaan akrabnya, seakan tak lagi mendukung buat tinggal.

Sejak 1985, Sungai Rampah diputus, kala itu Yati masih kecil. Pemerintah putus sungai dengan tujuan membangun bendungan atau DAM untuk pembagian irigasi sawah di beberapa kecamatan sekitar.

”Sungai mati, kami perempuan mengalami gatal-gatal, apalagi untuk alat intim kami, juga anak-anak,” katanya ditemui di sela Jambore Perempuan Perjuang Tanah Air di Garut.

Air sungai itu buat mandi, memasak, mencuci dan aktivitas sehari-hari. Air tercemar. Meski tinggal di perbukitan dan sungai, sumur-sumur mereka mengering, seiring banjir yang selalu datang.

Air saat dimasak dengan sayur menimbulkan rasa pahit di pangkal lidah. Sayur tak terasa, hanya pahit. Kemiskinan memaksa mereka tak ada alternatif lain hingga menggunakan air kotor buat konsumsi.

”Kadang kami terpaksa mandi sehari sekali, karena air sungai bau sekali,” katanya.

Tak hanya gatal pada tubuh dan alat kelamin, para perempuan pun mengalami keputihan berkepanjangan. Saat gatal menyerang, mereka mengoleskan sari pati ubi pada kelamin untuk mengurangi rasa gatal.

”Saya keputihan pernah sampai satu bulan. Kulit kering, gatal, menderita rasanya. Tidak ada obatnya, padahal sudah ke Puskesmas, ke dokter dan obat tradisional, tidak ada juga,” kata perempuan dua orang ini.

Pada 1975, hulu Sungai “Mati” Rampah ini merupakan pengeboran gas alam cair untuk eksplorasi PT Mobil Oil Indonesia, Pada 2002 jadi PT Exxon Mobil Indonesia. Tepatnya, di Bukit Tengkorak.

Tak hanya  itu, ada hutan tanaman industri, perkebunan sawit, menambah keruh kandungan bahan berbahaya di aliran sungai itu. Sedimentasi pun terjadi.

Yati bercerita, sejak 1996, gampong ini sering terkena banjir besar. Bahkan dalam satu tahun belakangan, sudah 19 kali, banjir.

Sebelumnya, pernah terjadi banjir bandang pada 1985 dan 1987. Kondisi ini karena aliran sungai terputus. Kala hujan, sungai meluap dan banjir. Air diduga membawa racun dan lumpur, tanaman di sekitar mati.

Yati sendiri menggantungkan hidup bersama dua anaknya dari hasil kebun seperti kakao, pinang, rambutan, durian dan lain-lain.

Kala banjir besar, dia bersama kedua anak harus mengungsi. ”Dalam setahun sudah dua kali mengungsi di Bukit Simpang ABRI, jaraknya dua kilometer.”

Masyarakat tak henti mengadu kepada pemerintah, namun tak ada respon berarti.

Di desa tetangga, ada sumur bor dengan air tak tercemar limbah dan bisa buat keperluan sehari-hari. Untuk mencapai itu, warga Linteung perlu melewati bukit dan hutan, sekitar lima km dengan berjalan kaki. Jadi sulit bagi dia dan para tetangga ambil air disana.

 

Sungai Mati. Foto: Sajogjo Institute

 

Ada sekitar 300 keluarga tinggal dalam kondisi seperti itu, hanya beberapa yang mampu membeli air galon untuk kebutuhan masak saja. Satau galon Rp5.000.

”Tak cukup kalau beli untuk mandi dan mencuci. Kalau orang kaya bisa, kami tak mampu.” Dia bilang sekitar 40% keluarga mampu membeli air galon.

Yati sempat pergi ke negeri jiran untuk mencari kehidupan lebih layak demi menghidupi kedua anaknya selepas pisah dengan suami.

Kala itu, Aceh masih masa-masa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan TNI. ”Apalagi saya perempuan seorang diri beranak dua. Jangankan malam, siangpun takut, kita serba salah. Sangat mengkhawatirkan, jadi saya pergi jadi pekerja di Malaysia.”

Pada 2015, dia kembali ke Indonesia. Setelah pergi bertahun-tahun, konflik selesai,  ternyata kondisi lingkungan tak berubah. Warga masih hidup dalam kesulitan, air bersih susah, air sungai tercemar.

Berbekal pengalaman di negeri rantau dan informasi tambahan yang dia peroleh, Yati beride bikin sumur bor.

”Keadaan tetap sama, saya sedih. Sekarang saya berjuang untuk membuat sumur bor, saya tahu caranya saat saya di Malaysia,”katanya.

Yati yakin, perempuan bisa memperbaiki diri sendiri dan anak-anaknya, daripada hanya bergantung pada laki-laki yang seringkali tak mau tahu tentang air bersih.

Saat itulah, Yati menularkan ilmu dari Malaysia kepada ibu-ibu sekitar. Dia mengenalkan soal membersihkan lingkungan sekitar, menjaga alam dan membersihkan diri sendiri. Dia tak mau lagi pakai air sungai tercemar buat keperluan sehari-hari.

Awalnya, banyak warga merasa takut membuat sumur bor di dalam rumah karena takut ada gas dan tekanan dari dalam tanah. ”Saya memberanikan diri membuat dahulu, sekarang sudah ada beberapa yang menggunakan itu,” katanya.

Seminggu sekali, Yati mengitari gampong (desa) untuk mengajak dan berkomunikasi dengan warna tentang penting pakai air bersih demi kesehatan.

Arisan, jadi salah satu cara menabung untuk membuat sumur bor. ”Uang kumpul, nanti dibuat sumur dari lokasi mana yang lebih perlu.”

Meski demikian, perjuangan Yati seringkali mendapatkan gunjingan tetangga. Dia sering pergi kesana kemari, dari satu rumah ke rumah lain. ”Saya tidak peduli.”

Yati sudah mendapatkan manfaat lebih baik dengan ada sumur bor. Badan tak gatal lagi.

”Masih banyak perempuan di desa tak percaya diri. Asal yakin, kita pasti bisa.”

Harapan Yati, akses pendidikan dan penyuluhan air bersih tersedia disana, hingga masyarakat bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan aman.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,