Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menolak pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang dilakukan DPRD DKI Jakarta sekarang. Selain raperda tersebut, KSTJ juga menolak pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTTKS Pantura).
Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata di Jakarta, akhir pekan ini mengatakan, ada sejumlah alasan yang membuat koalisi menolak pembahasan dua raperda tersebut. Salah satunya, karena dua raperda tersebut disusun tanpa melibatkan partisipasi masyarakat terdampak, baik perempuan maupun laki-laki.
Hal ini, kata dia, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan DPRD DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib pasal 141 ayat (2) yang mengharuskan adanya masukan dari masyarakat.
(Baca : Tanpa Perda Zonasi, Ahok Ternyata Sudah Terbitkan Pergub Reklamasi)
Alasan berikutnya yang membuat koalisis menolak, menurut Marthin, karena penyusunan dua raperda tersebut dilakukan tanpa adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur) dan Rencana Zonasi Tata Ruang Laut Kawasan Strategis Wilayah Jabodetabekpunjur yang saat ini belum diselesaikan oleh Kementeriaan Kelautan dan Perikanan (KKP).
“KLHS dan Rencana Zonasi Jabodetabekpunjur merupakan pijakan utama bagi DKI untuk menyusun RZWP3K,” ungkap dia.
Alasan ketiga, Marthin menambahkan, dua raperda tersebut disusun seperti untuk mengakomodir kepentingan pengembang properti reklamasi, juga tidak memperhatikan keberadaan masyarakat pesisir, nelayan tradisional, yang termasuk perempuan nelayan/pesisir bukan untuk kepentingan umum.
“Berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pemanfaatan wilayah pesisir haruslah bertujuan untuk kepentingan masyarakat pesisir,” tutur dia.
(baca : Emil Salim : Jika Saja Semua Menteri Ikuti Arahan Presiden RI, Takkan Ada Polemik Reklamasi)
Alasan keempat kenapa KSTJ menolak pembahasan dua raperda, menurut Marthin, karena kedua raperda tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Akibat yang timbul jika raperda disahkan, itu akan menghilangkan wilayah tangkap dan kehidupan nelayan.
Alasan berikutnya, kata Marthin, raperda disusun dengan cara-cara tidak terpuji melalui korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD Muhamad Sanusi, dan itu diduga masih melibatkan banyak anggota dewan lainnya. Salah satu pihak yang diduga terlibat itu, adalah Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang pada 20 Juli lalu mengeluarkan surat kepada pimpinan DPRD Provinsi DKI Jakarta, Pimpinan Fraksi DPRD, Pimpinan Komisi dan Sekretaris DPRD Provinsi DKI Jakarta.
“Itu patut dicurigai sebagai bentuk keberpihakan kepada pengembang properti dibandingkan kepentingan rakyat DKI Jakarta. Mengapa Ketua DPRD hanya memfokuskan kepada kedua raperda ini dibandingkan dengan Raperda lainnya?” tanya dia.
(baca : Kenapa Luhut Pandjaitan Masih Enggan Beberkan Hasil Kajian Komite Gabungan Reklamasi?)
Dengan adanya pembahasan dua raperda tersebut, Marthin menilai, saat ini masih ada upaya meloloskan proyek reklamasi dan itu menegaskan bahwa reklamasi adalah proyek ilegal. Kata dia, Raperda tersebut seharusnya disusun dan disahkan terlebih dahulu sebelum reklamasi dilakukan.
“Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Akibat kepentingan bisnis maka yang terjadi Reklamasi dijalankan dulu, baru Perda menyusul,” tandas dia.
“Pembangunan di wilayah pesisir, khususnya reklamasi, telah berdampak pada hilangnya akses masyarakat, nelayan tradisional, termasuk perempuan nelayan/pesisir terhadap sumber-sumber kehidupan serta menghancurkan sistem sosial masyarakat dan meningkatkan ketidakadilan gender,” pungkas dia.
Penolakan Bareskrim Polri
Pembangunan pulau reklamasi C dan D yang berlangsung di Teluk Jakarta, diduga kuat terjadi tindak pidana tata ruang dan lingkungan hidup. Tindakan itu, diduga dilakukan oleh PT Kapuk Naga Indah yang melaksanakan pembangunan dua pulau tersebut.
Akan tetapi, menurut Kepala Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, saat dugaan pidana tersebut dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), pelaporan tersebut ditolak.
“Petugas yang menjumpai Koalisi memberikan alasan yang berubah-ubah saat menolak laporan dan berakhir dengan meninggalkan Koalisi begitu saja setelah berdebat secara hukum,” ungkap dia.
(baca : Ada Potensi Kerugian Rp178,1 M pada Reklamasi Teluk Jakarta)
Nelson menyebut, saat petugas menyampaikan alasan penolakan, informasi yang disampaikan juga suka berubah. Awalnya, laporan ditolak karena sudah ada tindakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Kemudian, alasan tersebut ditolak Koalisi karena dinilai tidak kuat.
“Setelah itu, petugas memberikan alasan lain bahwa sudah ada tindakan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang memberikan sanksi administrasi, dan Bareskrim tidak mau ikut menyidik karena tumpang tindih,” papar dia.
Setelah memberi alasan tersebut, Nelson mengungkapkan, Koalisi memberi pernyataan kepada petugas bahwa dugaan pidana tersebut hingga kini belum dilakukan oleh penyidikan oleh instansi manapun. Dan, untuk pertanyaan tersebut, petugas memberi jawaban bahwa Koalisi harus meminta penyidikan pidana ke Kementerian Lingkungan Hidup.
“Terakhir, alasan kembali berganti. Petugas yang menerima menyatakan bahwa sudah ada penyidikan tindak pidana di Kementerian Lingkungan Hidup. Tidak diketahui nama petugas polisi yang menerima Koalisi karena yang bersangkutan tidak bersedia menyebutkan namanya,” jelas dia.
Wakil dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Tigor Hutapea menyatakan, apa yang disebutkan petugas kepolisian tersebut sangatlah lemah. Mengingat, sanksi yang baru diberikan ke pengembang hanyalah sanksi administratif dan belum ada penyidikan sama sekali oleh pihak manapun.
Di sisi lain, kata Tigor, walaupun sudah ada sanksi, namun itu tidak menghapuskan sanksi pidana atas pelanggaran lingkungan hidup. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Untuk diketahui, laporan kepada Bareskrim didasarkan pada dua hal, yakni dugaan pelanggaran pidana tata ruang yang melanggar ketentuan pidana tata ruang khususnya dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Aturan tersebut melarang pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang.
Kedua, adanya dugaan pelanggaran tindak pidana lingkungan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Pidana Izin Lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting wajib memiliki AMDAL dan UKL-UPL. Bangunan yang berada diatas pulau tidak memiliki AMDAL dan UKL-UPL sehingga jelas melanggar Pasal 109.
Nelson mengatakan, selama ini belum ada penegakkan hukum terhadap pelanggaran reklamasi, meskipun KLHK telah memberikan sanksi berupa moratorium izin lingkungan pulau C dan D. Namun, sanksi tersebut dinilai masih dalam ranah hukum administrasi dan belum menyasar ke penegakan hukum pidana.
Menurut Nelson, dalam Pasal 78 UU Nomor 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa penegakkan hukum administrasi tidak membebaskan pelaku terhadap tanggung jawab pidana. Dalam kasus tersebut, kepolisian seharusna dapat melakukan penegakkan hukum pidana.
“Kami berharap penegakkan hukum pidana dapat memberikan efek jera terhadap pelaku yang membangun tanpa memperhatikan lingkungan dan keberadaan nelayan,” tandas dia.