Temuan LIPI Perkuat Bukti Pembangunan Bandara Kulon Progo di Kawasan Rawan Bencana

 

 

Pembangunan bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo (New Yogyakarta International Airport/NYIA) terus berlanjut. Penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terus dikebut padahal pembangunan bandara di kawasan rawan bencana. Hal itu makin diperkuat temuan terbaru Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) soal deposit atau endapan tsunami di dekat bakal lokasi bandara baru Yogyakarta.

LBH Yogyakarta menyerukan, pembangunan setop, dan meminta komisi penilai Amdal memberikan rekomendasi tak layak lingkungan pada pembangunan yang turut merampas ruang hidup petani di pesisir itu.

“Risiko tsunami besar. Komisi Penilai Amdal harus keluarkan rekomendasi tak layak lingkungan,” kata Yogi Zul Fadhli dari LBH Yogyakarta, Jumat (28/7/17).

Temuan ini, katanya,  menguatkan kekhawatiran para petani terdampak bandara. NYIA Kulonprogo selain akan menyingkirkan lahan pertanian subur di Temon, juga berada di ruang rawan tsunami.

Eko Yulianto, Kepala Geoteknologi LIPI mengatakan, temuan deposit tsunami di dekat bandara baru Yogyakarta ini diperkirakan berusia 300 tahun, seumuran jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat.

Potensi gempa di sini, berdasarkan sebaran deposit tsunami, bisa lebih magnitude sembilan (M9). Jika suatu saat terjadi tsunami seperti di Pantai Pangandaran kekuatan gempa lebih tinggi sedikit saja, bandara baru akan kena mulai bagian apron, terminal sampai runway-nya.

Riset LIPI menemukan jejak tsunami besar di selatan Jawa 1699. Tsunami kala itu di Lebak (Banten) hingga Cilacap Timur (Jawa Tengah).

Eko menemukan, sejumlah deposit lain misal 1.698 tahun lalu, 2.785 tahun lau dan 3.598 tahun lalu.  Tsunami di Selatan Jawa diduga berulang yang menunjukkan zona kegempaan aktif.

Peneliti Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Universitas Gadjah Mada (BPPT-UGM), Widjo Kongko. mengatakan hal sama.

Lokasi bandara baru, katanya,  sangat rawan terdampak tsunami. Dia merujuk tsunami dahsyat di Pantai Pangandaran pada 17 Juli 2006. Dua hari setelah kejadian, Widjo bersama tim BPPT menuju lokasi dan meneliti dampak bencana yang menelan korban lebih 600 orang.

Cakupan wilayah penelitian Widjo sepanjang 400 kilometer berdasarkan kajian dampak sebaran tsunami Pangandaran ke pantai selatan Jawa. Penelitian mulai dari Pantai Pangandaran di Jawa Barat hingga Jember, Jawa Timur.

Widjo semula mengukur rata-rata tinggi gelombang dan menemukan, tsunami Pangandaran membawa sedimen atau endapan dari laut sejauh 100-200 meter ke daratan.

Saat itu, tsunami Pangandaran memiliki magnitude 7,7 dengan ketinggian gelombang sekitar lima sampai enam meter.

Widjo dan tim belum yakin, pantai selatan Jawa rawan tsunami. Hingga tim peneliti Pusat Geoteknologi LIPI menemukan deposit tsunami di dekat lokasi bandara baru Yogyakarta.

Tim LIPI menemukan koral, fosil kerang foraminifera berasal dari laut yang terbawa karena tsunami masa lalu.

“Temuan terbaru tim LIPI menguatkan bukti ilmiah jika pesisir pantai selatan Jawa sangat rawan tsunami, termasuk bandara baru berjarak hanya 200 meter dari pantai,” ucap Widjo.

Dia berasumsi, jika penelitian tim LIPI menemukan rentang wilayah lebih luas dari dampak tsunami, yakni, sepanjang 600 kilometer dari Lebak hingga Pacitan. Artinya,  tsunami masa lalu sangat besar.

Besaran sebaran, katanya,  berdampak sebanding dengan magnitude kegempaan. Temuan tim LIPI merupakan tsunami yang lebih besar dibanding Pangandaran, sebab jangkauan sedimen terpengaruh memanjang sampai 600 kilometer.

Sebelum tsunami Pangandaran, tahun 1994 pernah pula tsunami di Banyuwangi, dengan magnitude tercatat 6,8 atau di bawah kekuatan tsunami Pangandaran.

Penelitian tim UGM maupun LIPI belum final. Jadi, masih memungkinkan jejak tsunami lebih jauh dari temuan sedimen yang diteliti dari Pangandaran–Jember dan Lebak-Pacitan.

Penelitian dampak tsunami Pulau Nias yang menewaskan lebih 1.000 orang 2005, menemukan pemukiman penduduk berada di balik vegetasi lebat di pesisir pantai relatif lebih aman dari terjangan tsunami.

Selain vegetasi, gumuk pasir diperkirakan ikut meredam dampak kekuatan gelombang tsunami hingga 50% hingga pemukiman sebagian warga pesisir pantai di Nias,  tak terpengaruh.

“Tak ada yang bisa mencegah tsunami di pesisir selatan, namun kekuatan tsunami bisa diredam dengan rekayasa manusia.”

 

Tambak warga di dekat lokasi peresmian. Foto: Nuswantoro

 

 

Sesuai RTRW

Yogi mengatakan, kerawanan bandara baru, sudah ditetapkan dalam dokumen perundang-undangan tentang rencana tata ruang wilayah.

Dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali, Kulonprogo,  salah satu zona rawan bencana alam geologi (Pasal 46 ayat 9 huruf d).

Selain itu, katanya, di Perda Tata Ruang Yogyakarta Nomor 2/2010, sepanjang pantai di Kulonprogo sebagai kawasan rawan tsunami.

Bahkan,  Perda RTRW Kulon Progo Nomor 1/2012 lebih detail menyatakan, kawasan rawan tsunami salah satu meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a).

“Penataan ruang berbasis mitigasi bencana, dengan menetapkan kawasan tertentu sebagai kawasan lindung geologi adalah ikhtiar meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup.”

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami  2012,  sudah memetakan kawasan utama risiko dan probabilitas tsunami tinggi.

Kawasan ini antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa bumi besar terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian selatan khawatir memicu tsunami yang dapat menimpa pantai di selatan Yogyakarta.

NYIA Kulonprogo yang diklaim proyek untuk kepentingan umum, hanya sarana transportasi udara berisiko tinggi, terutama bagi calon pengguna.

Halik Sandera, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta mengatakan, Amdal tak layak lanjut. Pembangunan bandara, katanya,  tak sesuai tata tuang, Andal juga tak memuat kajian risiko tsunami.

Menurut Halik, pembangunan bandara baru mempunyai implikasi perampasan lahan produktif, penggusuran pemukiman, mata pencaharian hilang di tapak rencana dan di lokasi infrastruktur pendukung. Bahkan, tak ada kajian pengurangan risiko tsunami dalam penyusunan amdal, hingga tak ada jaminan keselamatan.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor: 07/G/2015/PTUN pada 23 Juni 2015, kata Halik, mengabulkan gugatan warga atas Surat Keputusan Gubernur Yogyakarta Nomor: 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara. Hal ini membuktikan rencana pembangunan bandara tak sesuai tata ruang.

Pembangunan bandara baru, katanya, akan menghilangkan lahan produktif.  Kulon Progo,  salah satu sumber penghidupan petani, dan distribusi pertanian beberapa wilayah bergantung dari sana.

Seharusnya, tak boleh ada pengembangan mengubah bentang alam, karena risiko akan lebih besar. Penetapan lokasi bandara di kawasan lindung geologi dari bencana tsunami, katanya, tak sesuai peruntukan ruang.

“Dalam strategi pengembangan prasarana lingkungan, lokasi bandara ialah  kawasan lindung geologi dari bencana tsunami dan banjir,” ucap Halik.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,