Kebijakan Satu Peta, Akses Data Ternyata Tetap Terbatas?

 

 

Kebijakan satu peta mulai terdengar sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak ada perkembangan dan berlanjut masa Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 9 tertanggal 4 Februari 2016. Dalam aturan ini, pemerintah menargetkan penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakan satu peta sampai 2019. Kebijakan satu peta bertujuan antara lain, memudahkan penyelesaian konflik, sampai tumpang tindih pemanfaatan lahan.

Cerita selama ini, dengan kebijkan satu peta akan ada transparansi, akses bisa terakses para pihak, termasuk masyarakat. Perkembangan teranyar, ternyata tak begitu. Pemerintah bakal tetap membatasi akses data, tergantung pada setiap wali data.

”Iya, tak terbuka untuk umum. Kalau peta dasar rupa bumi free, untuk peta tematik sedang disusun. Sedang diproses di walidata (setiap kementerian dan lembaga, red.) mana yang boleh dan tidak,” kata Hasanuddin Z. Abidin, Kepala Badan Informasi Geospasial usai Indonesian Peat Prize Showcase, di Jakarata, pekan lalu.

Dia bilang, pada dasarnya kebijakan ini memotret permasalahan, salah satu tumpang tindih lahan. Kini, dalam sinkronisasi dan penyusunan kepada setiap wali data.

Nanti, katanya, semua data dapat diakses melalui Ina-Geoportal (Indonesia-Geospatial Portal) dengan tingkatan level yang menggunakan pengamanan berupa password.

Tingkatan level publik dan pemerintah akan diatur dan disusun oleh para wali data.

”Misal, terkait peta HGU mungkin akan sampai infomasi batas-batasan dalam bentuk Jpeg. Kalau shp.,(kementerian) ATR/BPN tak mau, apalagi pemilik izin dan lain-lain. Karena kalau semua data terbuka akan bahaya,” katanya.

Soal batas buka data ini, katanya, sempat dibahas saat rapat koordinasi soal langkah-langkah mekanisme integrasi dan sinkronisasi implementasi kebijakan satu peta di Kementerian Koordinasi Perekonomian, pertengahan Juli.

Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengusulkan, membuat peraturan terkait siapa yang berhak mengakses data-data kebijakan satu peta dan aturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang akan menjadi potensi pemasukan negara.

”Kita perlu siapkan sistem tracking melihat siapa saja yang mengakses data-data kebijakan satu peta. Kita perlu batasi, jangan sampai semua orang bisa mengakses data itu,” katanya.

Darmi Nasution, Menko Perekonomian pun menyetujui menjaga kerahasiaan data, dan perlu aturan siapa yang berhak mengakses. Tak hanya di BIG, juga di kementerian.

Hingga kini, pemerintah masih proses penetapan langkah-langkah percepatan melalui kompilasi data informasi geospasial tematik dari kementerian/lembaga. Kemudian, katanya,  diintegrasikan dengan informasi geospasial dasar (IGD).

”Kebijakan satu peta ini peting dan sangat perlu untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi berbagai sektor,” ucap Darmin. Dengan begitu, bisa memudahkan penyelesaian konflik yang timbul akibat tumpang tindih pemanfaatan lahan.

BIG pun menyiapkan langkah untuk penyelesaian. Pertama, identifikasi dan penyelesaian tumpang tindih peta batas, kawasan hutan dan RTRW. Kedua, identifikasi dan penyelesaian tumpang tindih peta RTRW dengan peta batas.

Hasanuddin menyebutkan, kebijakan ini terbagi tiga bagian, yakni kompilasi, integrasi dan sinkronisasi.

Kini, katanya, Kalimantan, sudah tahap integrasi dan proses sinkronisasi. ”Proses sinkronisasi masih berjalan, hasil banyak sekali tumpang tindih antara kawasan hutan, pertambangan, transmigrasi, HGU, tapal batas, dan lain-lain,” katanya.

Dari total 79 peta tematik di Kalimantan, 71 sudah terkumpul dan delapan peta tematik belum tersedia. Adapun 71 peta terkumpul, 63 peta tematik selesai integrasi, enam masih perbaikan kementerian/lembaga  dan dua peta tematik sedang verifikasi.

BIG juga sedang kompilasi dan integrasi Sumatera dan Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Pada 2018, Papua, Maluku dan Jawa dan 2019 tahap finalisasi. ”Kami optimis selesai.”

 

Hutan gambut lenyap berubah jadi kebun sawit dan terbakar hebat kala kemarau. Indonesia, belum punya teknik akurat dalam mengukur kedalaman gambut. Foto: KLHK/ Mongabay Indonesia

 

 

Peat Prize

Sementara dalam Indonesian Peat Prize Showcase, BIG sebagai penyelanggara didukung David and Lucile Packard Foundation, WRI Indonesia, dan Context Partners, mengumumkan para finalis Peat Prize.

Sejak 2 Februari 2016, kompetisi diikuti 44 tim dari 10 negara, dengan 10 tim terpilih maju ke tahap pegembangan solusi. Mereka akan uji coba metodologi di Bengkalis, Riau,  Indonesia.

Setelah proses penjurian, Dewan Penasihat Ilmiah (DPI) menentukan lima tim yang berhak maju ke tahap final, yakni International Peat Mapping Team (IPMT), Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Universitas Sriwijaya.

Lalu,  PT. EXSA Internasional, Intermap, dan Forest Inform Pty Ltd.; Deltares dan Institut Teknologi Bandung;  DAG4Peat and SKyTeam: Duke University, Stanford University, dan Universitas Tanjungpura. Lalu, Applied Geosolutions: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan BPPT.

Tahap final ini, lima tim akan ditugaskan menguji coba metodologi di lokasi berbeda. Kali ini, DPI tak memberikan data luasan dan ketebalan lahan gambut kepada finalis. Ia jadi tantangan baru bagi peserta untuk memenangkan kompetisi ini.

”Kita menunggu karena tak mudah. Cukup berat dapat mengimplementasi karakteristik gambut yang kita miliki,” kata Hasanuddin.

Hasilnya, diharapkan jadi solusi dalam setiap kebijakan. Pemetaan dapat dengan kecepatan, keakurasian dan keterjangkauan.

Adapun tantangan baru tahap selanjutnya adalah memastikan metode dapat digunakan pada semua jenis gambut dan mengukur kedalaman gambut.

”Paling menantang adalah kedalaman, dimana letak kubah,” katanya seraya bilang, kalau bisa mengetahui water level pada gambut.

Supiandi Sabiham, Co-chair DPI dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, dari metode terbaik akan jadi penyempurnaan SNI, terutama untuk kedalaman dan luasan gambut.

”Dengan perhitungan model, keakurasian model tak hanya untuk daerah tetapi untuk daerah lain. Ini tantangan berat.”

David Schimel, Senior Research Scientists NASA Jet Propulsion Laboratory, juga menjadi co-chair DPI mengatakan, akan menilai metodologi dan teknologi yang dapat menghasilkan data luasan dan ketebalan gambut paling akurat, minimal 1:50.000.

Untuk keterjangkauan, dalam arti biaya harus ekonomis, termasuk operasional memetakan satu hektar gambut mulai uji coba lapangan hingga produksi data. Begitu juga, kecepatan.

”Metodologi peserta harus lebih terjangkau daripada metodologi pemerintah Indonesia dalam memetakan satu hektar gambut dengan skala dan kualitas data sama.”

Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia mengatakan, peta ini penting dan solusi terhadap skema lebih besar dalam penanganan lingkungan hidup di Indonesia.

Ekosistem gambut memiliki peranan penting dalam stabilisasi iklim dan dan menyimpan sepertiga karbon pada lahan.

Indonesia memiliki lahan gambut tropis terbesar di dunia, sekitar 14,9 juta hektar dan menyimpan cadangan karbon tinggi, berkisar antara 13,6-40,5 gigaton karbon dengan rata-rata 28,1 gigaton karbon. Cadangan karbon ini berpotensi sebagai sumber emisi gas rumah kaca, terutama CO2, dalam jumlah sangat besar.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,