Seperti Apa Dugaan Keterlibatan Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?

Terjadinya kelangkaan garam konsumsi di Nusantara dalam beberapa bulan terakhir, diduga kuat karena ada keterlibatan pengusaha dalam mengawal usaha garam dari hulu ke hilir. Keterlibatan pengusaha dalam melakukan kartel, diduga menyebabkan tata niaga garam konsumsi menjadi kacau.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam keterangan resminya di Jakarta, mengatakan, awal mula adanya kartel dalam tata niaga garam, diduga saat kuota impor garam diberikan leluasa kepada para pengusaha. Biasanya, impor yang diberikan, kuota per tahunnya mencapai 2 juta ton.

“Bisa jadi. Dulu terjadi kebocoran garam impor yang dilakukan oleh industri importir garam, mereka impor lebih dari kapasitas produksi mereka. Akhirnya mereka menjadi trader, separuh lebih bocor ke pasar konsumsi,” ungkap dia.

(baca : Kelangkaan Garam Bukti Kinerja Pemerintah Buruk dalam Tata Niaga Garam?)

 

 

Setelah pengusaha terbiasa dengan kebijakan impor garam tersebut, menurut Susi, mereka dibuat nyaman karena bisa ikut menjual garam industri untuk konsumsi. Akibatnya, kata dia, saat pengaturan kuota garam diubah oleh Pemerintah Indonesia, para pengusaha diduga kuat menjadi tidak suka.

“Dari dulu impor garam industri rata-rata per tahun dua juta ton, namun bocor ke pasar garam konsumsi. Garam ini masuk pada saat petambak panen dan harga petambak jadi jatuh,” ucap dia.

Tentang dugaan keterlibatan pengusaha dalam mengendalikan tata niaga garam, Susi mengatakan, itu terjadi karena keputusan Pemerintah yang mempercayakan impor garam kepada PT Garam saja. Keputusan tersebut, ternyata tidak disukai para pengusaha dan kemudian tata niaga garam menjadi kacau.

(baca : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?)

 

Sangga Harga Produksi

PT Garam sendiri mendapat tugas tersebut, kata Susi, karena pihaknya ingin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu bisa membeli dan menyerap produksi garam yang ada di sentra produksi garam nasional. Dengan demikian, PT Garam diharapkan bisa menyangga harga garam di tingkat petambak.

“Saya akan minta PT Garam bisa sangga harga petani di alas biaya produksi. lnsya Allah dengan kita atur impomya, mudah-mudahan untuk kali ini bisa baik,” tutur dia.

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali mengolah air laut menjadi garam. Petani garam di Amed makin terjepit lahannya oleh bangunan perkembangan industri pariwisata. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Susi menerangkan, agar tidak terjadi masuknya garam industri ke pasar konsumsi saat petani garam melaksanakan panen besar, maka kebijakan impor garam harus diatur dengan ketat. Kebijakan tersebut, terutama untuk mengatur kapan impor boleh atau tidak dilakukan oleh pengusaha.

“Dari awal saya menjadi menteri, saya sudah bicara bahwa impor garam harus diatur. Tapi saya tidak punya kewenangan (untuk itu),” jelas dia.

Dengan keterbatasan itu, Susi mengaku, pada masa awal kepemimpinannya di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kuota impor garam sama sekali tidak bisa disentuh pengaturannya. Kewenangan itu baru bisa dilaksanakan, setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam disahkan oleh DPR RI.

“Dari situ, KKP punya kewenangan untuk mengawasi impor garam dan juga memberikan rekomendasi volume, jenis garam. Dan juga, kapan impor garam boleh dilakukan,” kata dia.

(baca : Negara Kembali Lalai dalam Tata Kelola Garam?)

Dari UU yang sudah berlaku itu, Susi menyebut, KKP juga kini bisa fokus memikirkan kesejahteraan petambak garam dan itu diwujudkan melalui kucuran anggaran untuk produksi geomembran. Tujuannya, agar garam yang diproduksi bisa lebih putih dan bersih.

“Kami ingin menjaga produksi dan harga untuk petambak garam lebih bagus,” tandas dia.

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pantau Tata Niaga

Dengan adanya kebijakan satu importir, Susi menyebut, Pemerintah bisa memantau tata niaga garam dengan lebih mudah. Pengawasan itu, aku dia, dilakukan secara bersama dengan kementerian lain dan juga pihak kepolisian. Kata dia, jika dalam masa pemantauan tersebut ternyata ada garam industri dijual ke pasar konsumsi, maka itu sudah menyalahi aturan.

“Kalau ada perusahaan industri diberi izin untk kepentingan industrinya tapi dijual ke konsumen, laporkan! Kita monitor dan awasi bersama. Mudah-mudahan untuk panen tahun ini, harga hasil panen petani tidak jatuh. Kita perlu dukung pengawasan importir,” tegas dia.

Susi berpendapat, jika sejak lama produksi dan petambak garam harganya tersangga, kemudian impor hanya untuk industri yang memang betul-betul harus memakai garam tertentu, tata niaga/perdagangannya diawasi, petambak didukung dan impornya diatur untuk memberikan ruang industri garam domestik tumbuh, maka semuanya pasti akan baik.

(baca : Kenapa Kebijakan Impor Garam Harus Ditinjau Kembali?)

Tentang kasus yang menimpa PT Garam saat ini, Susi mengungkapkan bahwa itu karena ada pihak yang terganggu dengan kebijakan KKP untuk mengatur dan mengawasi tata niaga garam. Karenanya, pada saat impor pertama PT Garam, akhirnya terkena masalah hukum disebabkan impor yang dilakukan menggunakan kode HS yang tidak lain adalah untuk garam industri.

“Yang mengatur lmpor adalah Kementerlan Perdagangan. Jadi (kemudian) stop. Garam industri itu tidak ada bea masuk sama sekali. Garam konsumsi kena bea masuk 10 persen. Harusnya sama-sama garam, ya kalau nol, nol semua,” jelas dia.

Dengan kondisi tersebut, Susi menuturkan, berbagai isu kemudian berhembus. Awalnya, KKP umumkan rekomendasi untuk 75.000 ton impor garam. Rekomendasi itu keluar, karena didasarkan pada pertimbangan kalau petambak garam akan panen pada awal September mendatang.

“Eh malah, sudah ada yang ngomong akan impor 2,1 juta ton,” tandas dia.

 

Garam yang sudah dipanen diangkut ke gudang sementara (lntang) atau ke gudang besar. Biaya transportasi ini cukup besar, bisa sekitar Rp 7 ribu sekali angkut. Ini cukup memberatkan petani karena bisa mengambil sebagian dari hasil produksi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Resiko Importir Tunggal

Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai, penunjukkan PT Garam sebagai importir tunggal, beresiko tinggi menimbulkan berbagai masalah. Penunjukkan itu, bahkan dinilai dipaksakan dan berpotensi bisa ditunggangi rente bisnis politik yang berujung korupsi.

Demikian pendapat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Berbicara kepada media di Jakarta, akhir pekan lalu, peneliti INDEF Nailul Huda mengatakan, kelangkaan garam yang terjadi saat ini harusnya menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah.

Dengan belajar dari kejadian tersebut, Nailul berpendapat, Pemerintah bisa membuat kebijakan yang melihat kondisi yang akan datang dan tepat pada akar permasalahan. Kebijakan Impor, kata dia, jangan selalu dijadikan solusi instan dan satu satunya solusi kebijakan pangan.

“Jadi pemerintah sudah bisa memprediksi adanya kelangkaan ini dan sudah menyiapkan stok garam. Dan juga pemerintah harus membangun infrastruktur produksi dan pemberdayaan petani,” jelas dia.

Penunjukkan tunggal yang diberikan kepada PT Garam sebagai importir, juga dipertanyakaan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurut Wakil Sekretarus Jenderal KNTI Niko Amrullah, Pemerintah harusnya bisa mengingat kisah beberapa saat lalu, saat Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono ditetapkan sebagai tersangka kasus penyelewengan impor garam.

“Bukan menambah kesejahteraan petambak garam rakyat, namun justru semakin meminggirkan mereka terhadap mekanisme pasar,” ucap dia.

Menurut Niko, dengan belajar dari kasus yang sama di tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah harusnya sudah bisa memprediksi kelangkaan garam yang terjadi sekarang. Dengan bisa memprediksi, kata dia, Pemerintah bisa mencari akar masalah dan kemudian dicarikan solusi paling pas untuk mengatasinya.

(baca : Garam Nasional Gagal Produksi Sepanjang 2016, Kenapa Bisa Terjadi?)

Sementara itu Deputi Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi berpendapat, belajar dari kasus yang menjerat Achmad Boediono, seharusnya Pemerintah bisa lebih hati-hati dan waspada dalam membuat kebijakan tata niaga garam. Dalam pandangan dia, PT Garam sebagai importir tunggal, seharusnya bisa dilakukan audit perusahaan.

Jika tetap dipaksakan tanpa kajian dan analisis semua stakeholder, Apung menilai, impor 75.000 ton garam dikhawatirkan akan menjadi bancakan rente politik bisnis pangan. Jika itu terjadi, maka yang akan diuntungkan adalah kelompok rente, dan yang dirugikan adalah masyarakat dan petani garam.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,