Situs Warisan Dunia Diupayakan Keluar dari Status Bahaya, Begini Komitmen Pemerintah

 

 

Indonesia memiliki 16 warisan dunia yang terdiri dari 4 warisan budaya, 4 warisan alam, dan 8 warisan budaya tak benda. Warisan budaya meliputi Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Manusia Purba dan Subak Bali, sedangkan warisan budaya tak benda meliputi Batik, Keris, Angklung, Museum Batik Pekalongan, Wayang, Tari Saman, Noken, dan Tari Tradisi Bali. Sementara, warisan alam meliputi Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS).

Dari seluruh warisan dunia itu, hanya TRHS yang statusnya ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia Dalam Bahaya (List of World Heritage in Danger) sejak 2011. Bagaimana komitmen pemerintah akan hal ini?

Pemerintah terus berupaya mengeluarkan TRHS dari status bahaya. Pemerintah juga berupaya memaksimalkan pemanfaatan TRHS untuk kesejahteraan masyarakat. Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pamuji Lestari, mengemukakan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi Penguatan Ruang Dialog Ketahanan Budaya di Kawasan Warisan Alam TRHS, dalam rangka Pemantapan Seni dan Budaya sebagai Perekat Bangsa di Bengkulu, Senin (31/07/2017).

“Kita wajib melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan situs warisan dunia untuk kesejahteraan masyarakat. TRHS termasuk warisan dunia yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk memberikan kesejahteraan masyarakat. Ini ‘PR’ kita bersama. Kita harus menyelesaikannya, tanggung jawab kita semua,” kata Pamuji.

 

Baca: Situs Warisan Dunia Masih Berstatus Bahaya, Bagaimana Nasib Leuser?

 

Pemerintah berharap, tidak ada lagi warisan dunia yang masuk daftar bahaya lagi. “TRHS menjadi warisan dunia karena kita yang mengusulkan. Karena itu, kita sendiri juga yang harus menyelesaikan,” kata Pamuji.

 

Rafflesia yang berada di Desa Seblat Ulu, Lebong, Bengkulu. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS

 

Direktur Kawasan Konservasi Ditjen KSDAE KLH Suyatno Sukandar menjelaskan, THRS ditetapkan sebagai warisan dunia karena memenuhi tiga kriteria outstanding universal value (OUV). Yakni, mewakili kelompok hutan terpenting untuk konservasi keanekaragaman hayati di hutan dataran rendah dan pegunungan, mempunyai keindahan panorama alam, dan memiliki keragaan habitat flora dan fauna yang tinggi.

TRHS ditetapkan pada Sidang Komite Warisan Dunia ke-28 tahun 2004 di Suzhou, China. Luas TRHS adalah 2,87 juta hektare, meliputi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas 1.094.692 ha yang membentang di Nanggroe Aceh Darusalam dan Sumatera Utara. Lalu, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.375.349 ha yang terhampar di Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu; serta Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sekitar 365.000 ha di wilayah Bengkulu dan Lampung.

 

Baca: Inilah Rekomendasi KLHS, Terhadap Rencana Pembangunan Jalan di Situs Warisan Dunia

 

Pada 2007, TRHS sudah diancam masuk daftar bahaya karena gangguan dan tekanan terhadap nilai dan integritas OUV terus berlanjut. Akhirnya, TRHS dimasukkan dalam status bahaya pada 2011. “Penyebabnya berbagai kegiatan ilegal seperti penambangan, pembangunan jalan, infrastruktur, konversi tanah, serta eksplorasi gas dan minyak bumi,” ujarnya.

Pemerintah berkomitmen keluarkan TRHS dari daftar bahaya yang dituangkan dalam 7 indikator perbaikan. “Kita (Indonesia) yang menyatakan ini kepada UNESCO,” kata Suyatno.

Tujuh Indikator perbaikan tersebut:

  1. Tidak ada pengurangan tutupan hutan primer lagi dan tidak ada degradasi terhadap hutan sekunder
  2. Populasi gajah, harimau, badak, dan orangutan sumatera menunjukan trend positif
  3. Tidak ada konsesi atau izin eksplorasi tumpang tindih dengan kawasan, dan penutupan pertambangan ilegal skala kecil dalam kawasan
  4. Tidak ada usulan pembangunan jalan baru di dalam kawasan, dan segala perubahan jalan yang sudah ada di dalam dan sekitar kawasan hanya dapat dilakukan apabila terbukti tidak berpengaruh negatif terhadap OUV
  5. Seluruh batas kawasan terpasang dengan akurat
  6. Melakukan patroli rutin, dan
  7. Mempertahankan habitat penting spesies kunci dan koridor.

 

Peningkatan kesejahteraan rakyat

Kepala Balai Besar TNKS Arief Tongkagie menyampaikan, ada korelasi antara indeks pembangunan manusia (IPM) dan tekanan terhadap kawasan TNKS. Masyarakat di daerah yang memiliki IPM rendah cenderung melakukan perambahan, pembalakan, dan perburuan. Oleh karena itu, upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar TNKS menjadi sangat penting dalam hal pelestarian. “IPM rendah, perambahan tinggi,” katanya.

Balai Besar TNKS, menurut Arief, telah membangun kerja sama dengan pemda provinsi/kabupaten dan LSM guna melakukan pemberdayaan masyarakat desa sekitar TNKS. Tujuannya, berkontribusi dalam perkembangan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, memfasilitasi pengurusan perizinan pemanfaatan air untuk PDAM di Kerinci, pemanfaatan wisata di Lubuklinggau dan pemberdayaan masyarakat di 39 desa.

“Salah satunya, Kelompok Konservasi Mandiri Bangun Rejo yang merupakan desa penyangga TNKS di Kabupaten Solok Selatan. Kegiatan pemberdayaan ini dilakukan sejak 2007. Kini, desa penyangga ini telah menjadi percontohan.”

 

Hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) mengenai Dampak Kumulatif Rencana Pembangunan Jalan di Pegunungan Bukit Barisan, Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera, 2017. Peta: Dok. KLHS

 

Kawasan TNKS adalah hulu air dari tiga DAS utama di Sumatera, sumber air bagi 5 juta penduduk dan 10 juta ha lahan pertanian. Di kawasan TNKS juga terdapat 35 air terjun, 10 danau, 8 sumber air panas, 8 gunung, 8 goa, 5 bukit, dan 2 rawa. Sedikitnya, terdata 604 jenis tumbuhan dari 63 famili dan 371 jenis burung (termasuk 17 dari 22 endemik sumatera).

Upaya mensinergikan pelestarian TNKS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, lanjut Arief, sangat strategis untuk dilakukan. Apalagi, upaya-upaya serupa yang dilakukan di beberapa taman nasional lainnya berjalan baik. “Cerita perambah berubah menjadi pengelola sekaligus pelestari kawasan taman nasional sudah banyak menjadi pemberitaan media. Keberhasilan itu, hanya bisa dicapai dengan kesadaran dan komitmen masyarakat, serta dukungan banyak pihak, terutama pemerintah daerah,” tandas Arief.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,