Harimau Sumatera, Terus Diburu Meski Statusnya Dilindungi

 

 

Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah subspesies terakhir yang hidup di Indonesia. Peningkatan populasinya sekitar 10 persen telah dimasukkan dalam kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sementara arahan konservasinya, sudah disusun dalam Strategi Konservasi dan Rencana Aksi Harimau Sumatera 2007-2017.

Meski berstatus dilindungi dan arahan konservasinya jelas, akan tetapi kehidupan harimau sumatera tak pernah lepas dari berbagai ancaman. Perburuan dan alih fungsi hutan, yang terus terjadi, menyebabkan ruang gerak kucing besar ini kian terbatas.

“Perburuan dan konflik dengan manusia adalah penyebab utama menurunnya populasi harimau sumatera,” terang Munawar Kholis, Ketua Forum HarimauKita (FHK) pada acara dialog publik, baru-baru ini.

 

Baca: Harimau Sumatera, Hidupnya Tidak Pernah Sepi dari Perburuan

 

Menurutnya, konflik harimau dengan manusia juga sangat berisiko bagi harimau, karena posisi harimau dapat dengan mudah diketahui oleh para pemburu. Dengan alasan keamanan masyarakat juga, harimau kemudian dibunuh oleh para pemburu. “Padahal, masih ada cara lain yang bisa diupayakan agar harimau menjauh dari permukiman penduduk,” terangnya.

Forum HarimauKita mencatat, selama tiga tahun terakhir terdapat 87 kasus konflik harimau dengan manusia. Kasus terbanyak terjadi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu 41 kasus. Selain penanganan konflik, Forum HarimauKita juga memiliki catatan, dalam kurun waktu tiga terakhir itu juga telah ditempuh jarak patroli kawasan sejauh 12.038 km persegi. Dari patroli itu, dimusnahkan sebanyak 810 jerat. Kawasan Rimbang Baling, Riau, tercatat paling banyak ditemukan jerat, yaitu 129 buah.

 

Kulit harimau sumatera yang diamankan dari pedagang ilegal ini menunjukkan perburuan memang nyata. Foto: Dokumentasi WWF

 

Penegakan hukum

Pada peringatan Global Tiger Day 2017 ini, Forum HarimauKita bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Polda Jambi, Pengadilan dan Kejaksaan melakukan pemusnahan barang bukti perdagangan satwa liar di Jambi. Kegiatan ini yang pertama kali dilakukan di Jambi.

Terdapat 10 barang bukti terkait perdagangan ilegal harimau sumatera berupa kulit dan awetan. Ada juga barang bukti lain berupa gading gajah, paruh burung rangkong, offset-an macan dahan, kucing emas, trenggiling, serta senjata rakitan dan jerat. Ada juga barang bukti awetan harimau yang diserahkan ke Fakultas Kehutanan Universitas Jambi untuk diteliti lebih lanjut.

“Selama 2017, ada 15 kasus perdagangan satwa ilegal yang telah P21,” kata Dulhadi, Kepala Sub Bidang Penyidikan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Baca juga: Peringati Global Tiger Day, Semua Pihak Perkuat Komitmen Konservasi Harimau Sumatera. Seperti Apa?

 

Dulhadi juga mengatakan, kementerian dengan berbagai pihak terus mengupayakan revisi Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, untuk direvisi. “Revisi yang diajukan diantaranya adalah penetapan hukuman minimal baik dari sanksi kurungan maupun denda.”

Menurut dia, hal ini harus dilakukan agar tidak ada lagi vonis yang terlalu ringan bagi pelaku. Selama tiga tahun terakhir, hukuman teringan yang pernah dijatuhkan pengadilan pada pelaku perdagangan kulit harimau adalah 40 hari kurungan dan denda 500.000 ribu Rupiah. Pelaku adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di Kantor Balai Taman Nasional Berbak, Jambi. “Dari data yang dimiliki Forum HarimauKita terdapat 48 kasus perdagangan dan perburuan harimau yang telah diproses hukum.”

 

Pemusnahan barang bukti kejahatan satwa liar berupa kulit dan awetan harimau sumatera ini dilakukan di Jambi pada peringatan Global Tiger Day, 30 Juli 2017. Foto: Lili Rambe/Mongabay Indonesia

 

Sanksi maksimal bagi pelaku perdagangan dan perburuan harimau juga terkait berbagai faktor, diantaranya adalah kapasitas saksi ahli. “Dalam persidangan, hendaknya saksi ahli yang dihadirkan memiliki kapasitas yang mumpuni guna memberikan keterangan pada hakim” kata Yoan Dinata, Manajer Program Konservasi Harimau, Zoological Society of London (ZSL). Karena, menurut Yoan, dengan memberikan keterangan yang kuat, dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memberikan hukuman yang lebih berat.

Selain saksi ahli, hakim dan jaksa juga harus ditingkatkan pengetahuannya mengenai kejahatan perdagngan satwa liar dan tumbuhan. “Kami telah kerja sama dengan Kehakiman untuk memberikan sertifikasi lingkungan pada para hakim,” tambah Dulhadi.

Untuk wilayah Jambi saat ini, masih ada satu kasus perdagangan kulit harimau yang pelakunya masih buron. Usaha memperdagangkan kulit harimau tersebut digagalkan oleh Balai Gakkum KLHK Wilayah II Sumatera bekerja sama dengan Polda Jambi pada Mei lalu. Pelaku berinisial EWS (23) ditangkap di Simpang Rantau Keloyang Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Dari tangan pelaku, berhasil diamankan satu lembar kulit harimau beserta tulang belulangnya. Sementara seorang pelaku lainnya yang diduga oknum pemerintahan di Kabupaten Bungo belum tertangkap. “Kami terus berkoordinasi dengan Polres Bungo untuk menangkap pelaku. Kendaraan dinas yang dikendarai pelaku telah disita,” kata Agung Nugroho, Kasubdit IV Ditrekrimsus Polda Jambi.

 

Penegakan hukum harus dilakukan untuk memberikan rasa gentar pada pelaku kejahatan satwa liar sekaligus mencegah tindak perburuan. Foto: Lili Rambe/Mongabay Indonesia

 

Kasus kematian

Di Riau, dahulunya harimau menempati kedudukan terhormat di masyarakat. Untuk memanggilnya, harus dengan sebutan “Datuk”. Namun, seiring berjalannya waktu, tidak ada lagi pujian untuk kucing besar ini. Bahkan habitatnya, terus menyempit akibat alih fungsi lahan yang tak jarang menyebabkan konflik manusia dengan harimau terjadi.

Staf Komunikasi WWF Riau Syamsidar, di Pekanbaru mengatakan, kasus kematian harimau sumatera akibat perburuan dan konflik di Riau mengalami penurunan dalam tujuh tahun terakhir. Namun, kondisi ini belum bisa disebutkan sebagai tren yang positif.

“Hal ini bisa jadi disebabkan, semakin sulitnya mendapatkan harimau untuk diburu karena jumlah yang semakin sedikit. Ataupun, habitat yang semakin sempit membuat pemburu harus masuk jauh ke dalam kawasan hutan,” kata Syamsidar.

Berdasarkan data WWF 2010-2017 di Riau, hingga pertengahan 2017, ada dua kasus harimau sumatera mati akibat perburuan. Jumlah itu sama seperti 2016, namun menurun dibandingkan 2015, sebagai tahun tertinggi kematian harimau sumatera sebanyak empat individu.

Kasus perdagangan harimau yang berasal dari luar Riau, sejak 2015 tercatat nihil dan jauh menurun dibandingkan 2010. Pada tahun ini tercatat ada lima kasus. Sementara, korban jiwa manusia akibat konflik dengan harimau tidak ada lagi terjadi dalam enam tahun terakhir. Begitu juga dengan korban luka yang tidak ada lagi dalam empat tahun ini.

 

Ilustrasi yang menggambarkan hilangnya habitat membuat kehidupan harimau sumatera semakin terancam. Ilustrasi: Sindikat Kartunis Riau

 

WWF menilai, upaya penegakan hukum berperan penting dalam hal menekan kasus kematian serta mencegah timbulnya konflik antara manusia dengan harimau. Penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan harimau yang semakin intensif dilakukan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Penegakan Hukum dan Kepolisian dalam dua tahun terakhir diharapkan dapat meminimalisir tindak kejahatan satwa liar.

Tim patroli harimau kerja sama WWF dengan BBKSDA Riau juga berhasil membersihkan jerat sling yang dipakai untuk menjerat harimau. Rata-rata, jerat yang dibersihkan per tahun berjumlah 70 hingga 80 jerat. Hingga saat ini kawasan lanskap Rimbang Baling masih menjadi prioritas daerah patroli. “Artinya, ancaman perburuan terhadap harimau ada sebagaimana penemuan jerat sling. Di habitat harimau lainnya, tentu mengalami ancaman serupa,” ujar Syamsidar.

Hal yang menggembirakan, terang Syamsidar, Pengadilan Negeri Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, memberi vonis empat tahun penjara dan denda Rp50 juta kepada dua pelaku pengumpul kulit harimau. Ini hampir mendekati hukuman maksimal, sesuai Undang-Undang No 5 tahun 1990.

“Komitmen majelis hakim kembali ditunjukan dengan memberi vonis dua pelaku perantara penjual kulit harimau yang tertangkap diperbatasan Jambi-Inhu, Riau, 2016 lalu. Hukuman yang maksimal ini, diharapkan membuat para pelaku berpikir ulang untuk melakukan kejahatan satwa liar,” terangnya.

Global Tiger Day (GTD) pertama kali disepakati pada pertemuan tingkat tinggi PBB di Saint Petersburg, Rusia, dalam Tiger Summit, 29 Juli 2010. Topik yang dibahas waku itu adalah kondisi populasi harimau di dunia yang mendekati kepunahan.

Sejak 2013, GTD telah diselenggarakan di Indonesia dengan melibatkan berbagai lembaga konservasi yang berkomitmen membantu pelestarian satwa kharismatik ini. Salah satu tujuan peringatan GTD, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 45 tahun 2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera adalah meningkatkan dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi harimau baik di dalam negeri maupun tataran global.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,