Benarkah Teknologi Pengolahan Garam Sudah Dikuasai Indonesia?

Solusi impor garam untuk kebutuhan industri dan konsumsi, dinilai sangat tepat untuk mengatasi kelangkaan garam di masyarakat yang terjadi saat ini. Solusi jangka pendek tersebut, dinilai akan bisa memecahkan persoalan yang sedang mendera bangsa Indonesia sejak beberapa bulan terakhir.

Pernyataan tersebut diungkapkan Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi. Menurut dia, Indonesia sudah saatnya tidak lagi memecahkan persoalan garam untuk jangka pendek saja. Melainkan, harus ada solusi untuk jangka menengah dan panjang.

“Ini yang sedang kita pikirkan bersama. Pemerintah sedang mencari solusinyya,” ucapnya saat dihubungi Mongabay pada Minggu (6/8/2017).

(baca : Kelangkaan Garam Bukti Kinerja Pemerintah Buruk dalam Tata Niaga Garam?)

 

 

Eniya menerangkan, untuk solusi jangka menengah yang bisa dilakukan, adalah dengan memperkuat produksi garam secara nasional. Produksi tersebut, baik yang dilakukan secara tradisional maupun dengan menggunakan teknologi modern.

Dilakukannya penguatan produksi, menurut Eniya, karena selama ini Indonesia cukup tergantung pada garam impor dari India dan Australia. Setiap tahunnya, garam yang dikirim dari luar negeri, jumlahnya mencapai rerata 1,7 juta ton.

“Ini yang sedang kita lawan, bagaimana garam impor ini bisa kalah,” sebut dia.

(baca : Garam Nasional Gagal Produksi Sepanjang 2016, Kenapa Bisa Terjadi?)

 

Integrasi Lahan

Eniya menjelaskan, untuk bisa melaksanakan solusi jangka menengah dan panjang, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area. Untuk kebutuhan tersebut, dia menghitung bahwa lahan yang dibutuhkan minimal seluas 400 hektare dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan 5.000 ha.

Di atas lahan seluas itu, Eniya memaparkan, proses produksi akan dilakukan di empat area dan meliputi area untuk penampungan air laut, area untuk penguapan atau evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area rekristalisasi.

“Bersama dengan empat area yang terpusat di satu area saja, ada juga pabrik garam dengan skala produksi mencapai 10 ton per jam,” ungkap dia.

 

Hasil panen dari lahan petambak di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Dengan adanya konsep seperti itu, Eniya menyebut, Indonesia sebenarnya sudah siap melaksanakan industrialisasi pada komoditas garam untuk industri, farmasi, maupun konsumsi. Namun, untuk sementara, proses tersebut sangat cocok dilaksanakan di kawasan Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Selain NTT, daerah yang sudah siap adalah NTB (Nusa Tenggara Barat) dan Sulsel (Sulawesi Selatan),” tutur dia.

Eniya menjelaskan, dengan teknologi yang sudah dikuasasi oleh BPPT tersebut, petambak garam yang sebelumnya harus menghabiskan waktu minimal 10-14 hari hingga 21 hari saat melaksanakan panen. Efisiensi tersebut bisa didapat, terutama karena ada integrasi lahan untuk produksi garam di satu area saja.

(baca : Negara Kembali Lalai dalam Tata Kelola Garam?)

Menurut Eniya, dengan menerapkan konsep seperti di atas, petambak garam tidak hanya akan mendapat peningkatan produktivitas, melainkan juga bisa mendapatkan kualitas garam lebih bagus. Dari produksi dengan menggunakan teknologi BPPT itu, dia mengklaim, petambak garam akan bisa mendapatkan beragam jenis garam yang dibutuhkan oleh pasar.

“Dari pabrik garam itu, tidak hanya dihasilkan satu jenis garam, tapi bisa berbagai jenis. Itu kita sebut multi purpose plan, satu pabrik ada beberapa produk,” ucap dia.

 

Teknologi Tinggi

Menurut Eniya, kemampuan meningkatkan produksi dan kualitas dalam waktu yang sama, sudah diuji oleh tim khusus di BPPT dan dipublikasikan kepada masyarakat umum pada 2016. Kemampuan tersebut, bisa membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah mampu memproduksi garam untuk kebutuhan industri, farmasi, dan konsumsi secara bersamaan.

“Karena kita sudah membuktikan bahwa kita itu sudah bisa membuat garam dengan kadar 99,5 persen untuk garam bahan baku obat atau garam farmasi. Sementara, untuk garam kebutuhan industri dan olahan pangan, pengasinan ikan contohnya, itu kadarnya hanya 94 hingga 96 persen,” jelas dia.

Dengan kemampuan tersebut, Eniya berani mengklaim bahwa Indonesia saat ini sudah menguasai teknologi pengolahan dan produksi garam. Dia menyebut, saat ini bahkan BPPT sudah mampu memproduksi garam dengan kadar mencapai 99,99 persen lebih dan dihargai Rp1 juta per kilogram di pasaran industri garam dunia.

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Karena teknologi sudah dikuasai, Eniya menyebut bahwa kebijakan impor garam untuk industri dan konsumsi secara perlahan harusnya sudah bisa dikurangi dan kemudian dihilangkan. Namun, untuk bisa melaksanakan kebijakan itu, Pemerintah Indonesia harus bisa melaksanakan teknologi yang sudah ada tersebut.

“Kalau yang perlu dikerjakan, adalah skala industri, yang kadarnya 97 persen. Karena kita melawan, rival kita itu adalah garam impor yang kebanyakan. Kadar 97 persen itu dari Australia, dan 95 persen kadar itu dari India,” jelas dia.

Secara teknis, Eniya memaparkan, untuk bisa mengurangi ketergantungan impor, konsep integrasi lahan yang di dalamnya mencakup produksi garam pada empat area, bisa ditingkatkan lagi luasnya dari 400 ha menjadi 5.000 ha. Dengan jumlah tersebut, maka produksi di pabrik garam bisa mencapai 500 ribu ton per tahun.

“Kebutuhan impor itu 1,7 juta ton per tahun rata-ratanya. Nah itu kira-kira tiga kalinya (dari produksi 500 ribu ton). Berarti secara total kita itu membutuhkan 15 ribu hektare. Jadi sudah bisa diperkirakan,” ungkap dia.

Untuk bisa menambah jumlah lahan, kata Eniya, itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu melakukan intensifikasi atau menaikkan produktivitas di lahan yang sudah ada dan atau melakukan ekspansi lahan ke kawasan Indonesia Timur.

“Kita juga sudah menghitung, berapa banyak sih pabrik yang bisa didirikan. Itu kan skala optimumnya yang 10 ton per jam, tinggal dibuat beberapa line, lalu berapa jumlah pabriknya. Itu sangat bisa dihitung,” papar dia.

(baca : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?)

 

Lintas Instansi

Untuk bisa mewujudkan pembangunan area terintegrasi, Eniya menyebutkan bahwa itu tidak bisa dilakukan sendirian oleh satu instansi atau kementerian. Melainkan, harus ada keterlibatan dari sejumlah instansi terkait untuk memudahkan dan mempercepat proses pembangunan.

Sebagai contoh, kata dia, untuk satu area seluas 400 ha, pembangunan akan memakan waktu minimal 1,5 tahun. Jika itu dilakukan sendiri, menurutnya itu tidak akan efektif dan justru akan menambah masalah baru.

“Di antara instansi yang harus dilibatkan, adalah KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), Kemenkomar (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman), Kemenperin (Kementerian Perindustrian), Kemendag (Kementerian Perdagangan), dan Kemen PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat),” papar dia.

 

Inilah garam rebus yang dihasilkan Arifin dengan kelompoknya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dugaan Kartel

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut ada dugaan praktik kartel yang dilakukan pengusaha berkaitan dengan kelangkaan garam yang terjadi di Nusantara sekarang. Keterlibatan pengusaha dalam melakukan kartel, diduga menyebabkan tata niaga garam konsumsi menjadi kacau.

Susi mengatakan, awal mula adanya kartel dalam tata niaga garam, diduga saat kuota impor garam diberikan leluasa kepada para pengusaha. Biasanya, impor yang diberikan, kuota per tahunnya mencapai 2 juta ton.

“Bisa jadi. Dulu terjadi kebocoran garam impor yang dilakukan oleh industri importir garam, mereka impor lebih dari kapasitas produksi mereka. Akhirnya mereka menjadi trader, separuh lebih bocor ke pasar konsumsi,” ungkap dia.

(baca : Seperti Apa Dugaan Keterlibatan Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?)

Setelah pengusaha terbiasa dengan kebijakan impor garam tersebut, menurut Susi, mereka dibuat nyaman karena bisa ikut menjual garam industri untuk konsumsi. Akibatnya, kata dia, saat pengaturan kuota garam diubah oleh Pemerintah Indonesia, para pengusaha diduga kuat menjadi tidak suka.

“Dari dulu impor garam industri rata-rata per tahun dua juta ton, namun bocor ke pasar garam konsumsi. Garam ini masuk pada saat petambak panen dan harga petambak jadi jatuh,” ucap dia.

Tentang dugaan keterlibatan pengusaha dalam mengendalikan tata niaga garam, Susi mengatakan, itu terjadi karena keputusan Pemerintah yang mempercayakan impor garam kepada PT Garam saja. Keputusan tersebut, ternyata tidak disukai para pengusaha dan kemudian tata niaga garam menjadi kacau.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,