Tidak Terima Putusan Pengadilan, PT Kallista Alam Balik Gugat Pemerintah

 

 

Pengadilan Negeri Meulaboh pada 15 Juli 2014 telah memvonis PT. Kallista Alam bersalah karena membakar lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.000 hektare di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, pada 2009-2012. Perusahaan ini juga diwajibkan mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan Rp251 miliar.

Tidak terima dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Meulaboh tersebut, PT. Kallista melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Aceh, namun ditolak pada 19 November 2014. Tidak puas dengan hasil banding, perusahaan ini malah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang lagi-lagi ditolak pada 15 Agustus 2016.

Dalam perkembangannya, PT. Kallista bukannya membayar sejumlah denda yang diwajibkan tersebut, tapi malah menggugat beberapa lembaga pemerintah. Maksudnya?

 

Baca: Mahkamah Agung Kembali Tolak Kasasi PT. Kallista Alam, Ini Putusannya

 

Kepala Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Said Hasan, SH pada Rabu, 2 Agustus 2017 menjelaskan, keputusan peninjauan kembali kasus perdata yang dilayangkan KLHK terhadap PT. Kallista Alam sudah terbit. Selanjutnya, pengadilan dapat melakukan eksekusi terhadap putusan hukum tersebut.

“Namun, eksekusi terpaksa ditunda karena PT. Kallista Alam melalui penasihat hukumnya dari Kantor Hukum Duta Keadilan, pada 26 Juli 2017, menggugat beberapa lembaga pemerintah. Gugatan tersebut telah didaftarkan dengan Nomor: 16/Pdt.6/2017/PN.Mbo.”

 

Rawa Tripa terus menghadapi ancaman, mulai dari perambahan hingga pembukaan perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Said mengatakan lembaga pemerintah yang digugat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.

Dalam gugatannya, PT. Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. Selain itu, perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektare yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.

 

Baca juga: Rawa Tripa yang Tak Kunjung Usai Dirundung Masalah

 

“Pengadilan Negeri Meulaboh telah mengagendakan persidangan pertama gugatan tersebut, 15 Agustus 2017. Semua akan jelas dipersidangan, gugatan akan diperiksa dan proses hukum tetap dilaksanakan,” jelasnya.

Said Hasan juga menuturkan, karena adanya gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Meulaboh telah mengeluarkan surat penundaan eksekusi keputusan pengadilan yang mengharuskan PT. Kalista Alam membayar ganti rugi sebesar Rp366 miliar.

 

Penyelamatan Rawa Tripa harus dilakukan agar ekosistem hutan gambut ini kembali berfungsi normal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Gugatan aneh

Kuasa Hukum Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM), Nurul Ikhsan mengatakan, materi gugatan PT. Kalista Alam terhadap lembaga pemerintah tersebut aneh. Seharusnya, materi disampaikan saat pembacaan eksepsi digugatan KLHK, bukan malah melakukan gugatan.

“Perusahaan ini kesannya mencari celah agar tidak perlu membayar denda yang telah berkeputusan tetap.”

Nurul Ikhsan berharap, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh menolak gugatan itu dan eksekusi segera dilaksanakan karena hutan gambut Rawa Tripa harus segera dipulihkan. “Pembukaan dengan cara dibakar yang dilakukan PT. Kallista Alam, telah merusak lapisan permukaan gambut dan tidak pulih lagi sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem alam,” ungkapnya.

Sementara itu, untuk menyelamatkan 1.605 hektare hutan gambut yang telah dibakar, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh dibantu Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) sedang menutup kanal di areal tersebut.

“Kita sedang menutup kanal-kanal yang telah digali, agar hutan gambut kembali tumbuh alami dan mencegar terjadinya kebakaran. Sebelumnya, PT. Kallista Alam menggali kanal untuk mengeringkan rawa gambut ini,” terang Indrianto, Manager YEL.

Indrianto menambahkan, hutan gambut Rawa Tripa merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, yang merupakan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Hutan gambut ini sudah menjadi kawasan lindung dan masuk wilayah gambut nasional. “Jangan lagi dirusak hutan ini, malu kita pada generasi mendatang,” ujarnya.

 

Para pegiat lingkungan di Aceh meminta semua pihak turut menjaga kelestarian Rawa Tripa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selamatkan Rawa Tripa 

Kamis, 3 Agustus 2017, sejumlah pegiat lingkungan menggelar dukungan penyelamatan Rawa Tripa di lokasi dekat penutupan kanal. Koordinator aksi, Badrul Irfan, mengatakan aksi di hutan gambut tersebut dilakukan untuk menggugah semua pihak menyelamatkan Rawa Tripa.

“Berbagai kegiatan terus mengurangi luas hutan gambut ini, karena ekspansi perkebunan kelapa sawit maupun perambahan. Kehidupan satwa liar yang hidup di sini terancam, seperti orangutan, beruang madu, dan berbagai jenis burung,” ujar Badrul.

Sekrataris Forum Orangutan Aceh (FORA), Idir Ali pada 29 Juni 2017 mengatakan, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 33 tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser, Rawa Tripa bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, dan tapi statusnya masuk dalam areal penggunaan lain (APL).

Idir Ali menyebutkan, status Rawa Tripa sebagai APL ditetapkan oleh Kepmenhut No 170/2000 dan SK No. 941/Menhut-II/2013, tapi Pemerintah Aceh memfungsikan areal rawa gambut ini sebagai kawasan lindung diluar kawasan hutan (KLLKH), baik melalui SK Gubernur Provinsi Aceh No. 19/1999 tentang Arahan Fungsi Hutan Provinsi Aceh, maupun dalam Qanun No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Aceh 2010-2030.

“Rawa Tripa merupakan satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat Pulau Sumatera. Luasnya mencapai 61.803 hektare, berada di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, serta di Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya,” terangnya.

Namun, kegiatan ilegal di area ini masih terus terjadi. Bahkan, 11.359 hektare Rawa Tripa yang ditetapkan Pemerintah Aceh sebagai Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa juga terancam karena statusnya belum ditingkatkan menjadi kawasan konservasi.

“Penegakan hukum harus dilakukan dan harus dipastikan kembali perkebunan kelapa sawit tidak lagi merambah. Hutan gambut ini sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat dan begitu penting sebagai habitat satwa liar,” ungkapnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,