Tolak Rencana Lokasi Awal Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu Berikan Alternatif

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpepura) bersama masyarakat adat Rendu di Kabupaten Nagekeo, Provinsi NTT (05/08), akhirnya menyepakati pembangunan waduk Lambo, yang diperuntukkan untuk pembangkit tenaga listrik, tidak akan dilakukan sebelum lokasinya dirembuk bersama dengan masyarakat.

Daud P. Tambo perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga yang tergabung dalam rombongan menyebut dari hasil pertemuan di Jakarta ini, masyarakat meminta agar pembangunan waduk kedepannya tidak mengorbankan kepentingan masyarakat adat Rendu, yang merupakan gabungan dari masyarakat di tiga desa yakni Desa Rendubutowe (di Kecamatan Aesesa Selatan), Labolewa (Aesesa) dan Ulupulu (Nangaroro).

Baca sebelumnya: Mengapa Pembangunan Waduk Lambo Ditolak Masyarakat di Tiga Desa Adat, Apa Masalahnya?

Sebelumnya, Staf Khusus Presiden pada tanggal 21-22 Februari 2017 telah berkunjung ke Nagekeo. Dalam pertemuan dengan Stafsus masyarakat menolak rencana pembangunan waduk yang diusulkan pemerintah seluas 491 hektar. Masyarakat menganggap pembangunan merugikan, karena akan menenggelamkan pemukiman penduduk, sarana dan prasarana umum, kampung adat dan perkuburan leluhur.

Ketua Forum Penolakan Waduk Lambo Bernadinus Gaso mengatakan bahwa bakal lokasi baru alternatif pembangunan waduk yang diusulkan masyarakat itu berada di Lewopegong atau Malawaka yang terletak di Desa Rendubutowo, namun detail lokasi perlu diperkuat kembali dengan survey kelayakan teknis yang lebih lengkap.

“Sekali lagi saya tegaskan masyarakat adat Rendu bukannya menolak pembangunan waduk, tetapi minta agar lokasinya digeser ke tempat lain, agar masyarakat tidak berdampak dan lahannya pun cocok untuk pembangunan waduk,” jelas Bernadinus (25/07).

Menurutnya, lokasi yang dirujuk itu merupakan lahan tidur dan tidak ada pemukiman warganya. Lahan bakal lokasi pun masih termasuk dalam wilayah adat Rendu.

 

Sketsa rencana lokasi pembangunan waduk Lambo usulan masyakat. Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penolakan Masyarakat

Sejak wacana pembangunan waduk dihembuskan Pemda Kabupaten Ngada pada tahun 2000-2003 hingga wilayah ini dimekarkan dan masuk dalam Kabupaten Nagekeo, penolakan ini tetap berlanjut.

“Masalahnya, selama ini masyarakat tidak pernah diajak duduk satu meja untuk membahas pembangunan waduk. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan pemerintah,” ungkap Bernadinus.

Selama hampir 15 tahun berproses, ungkap Bernadinus, masyarakat merasa trauma. Mereka kerap mendapat intimidasi aparat untuk melepas lahannya. Akibat yang terjadi, masyarakat pun tidak dapat melakukan aktifitas harian, dan lahan-lahan pertanian yang ada menjadi terbengkalai.

Padahal jelas Bernardinus, masyarakat hanya meminta agar seluruh proses pembangunan waduk, seperti pembebasan lahan tidak merugikan masyarakat. Masyarakat pun menuntut untuk dilibatkan, sehingga dapat merasakan dampak positif dari pembangunan waduk ini.

Wilibrodus Bei Ou, tokoh pemuda Rendu menyebut perjuangan menolak pembangunan waduk Lambo erat kaitannya dengan nasib anak cucu. Tanah ulayat tersebut disebutnya penting dan berpotensi untuk menjaga lahan pertanian, perkebunan serta peternakan.

Dia mengungkapkan hal itu merupakan kesepakatan pertemuan yang berlangsung pada tanggal 10 Desember 2016, di Kantor Desa Rendubutowe. Saat itu, perwakilan tiga komunitas adat, Redu, Isa dan Gaja saat itu bersepakat meminta pemda tidak memaksakan kehendak untuk membangun waduk di wilayah tiga komunitas adat tersebut.

“Silahkan dibangun di lokasi yang diusulkan masyarakat, sebab disana juga sangat potensial untuk pembangunan waduk. Masyarakat juga secara sukarela akan memberikan lahan untuk pembangunan waduk,” jelas Wilibrodus.

Aspirasi yang sama disampaikan oleh Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga, Philipus Kami. Dia menyebut jika kejelasan rencana lokasi waduk Lambo telah ada, hal itu akan membuat masyarat dapat fokus beraktifitas.

“Pembangunan hendaknya jangan membuat masyarakat adat terpinggirkan, apalagi dengan pola pendekatan yang salah. Sebab, masyarakat adat juga sudah bersedia memberikan lahan alternatif dan tidak anti pembangunan,” paparnya.

Philipus pun mewanti-wanti agar kejelasan luas lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan waduk dapat rampung. Menurutnya, kebutuhan waduk hanya sekitar 491 hektar tetapi dalam survey lahan di lokasi awal yang ditetapkan untuk pembangunan mencapai hingga seluas 1.000 hektar lebih.

 

Rencana lokasi lahan pembangunan waduk Lambo awal yang diusulkan Pemda Kabupaten Nagekeo. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Harus Bisa Dibangun

Bupati Nagakeo Elias Djo saat dihubungi lewat telepon (03/08) membenarkan bahwa pihak Staf Khusus Presiden telah datang berkunjung dan melihat langsung lokasi, baik yang diusulkan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat adat di Malawaka.

“Pada dasarnya Pemda Kabupaten Nagekeo tetap mendukung pembangunan waduk ini dan terus memperjuangkannya. Lokasi awalnya sudah dilakukan survey, sementara lokasi baru yang diusulkan masyarakat di Malawaka dan Lewokebo sudah disurvey oleh konsultan namun belum dipresentasikan,” terangnya.

Menurut Elias, pembangunan waduk Lambo bagi pemerintah Kabupaten Nagekeo merupakan program pemerintah pusat dan Pemda Nagekeo pun sejak awal menyetujuinya karena semua itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Pemda Nagekeo tidak pernah melakukan intimidasi, dan kami tahu memang ada masyarakat yang melakukan penolakan dengan cara mereka. Kami pun tetap berupaya agar pembangunan waduk Lambo yang telah lama diperjuangkan bersama ini bisa terwujud,” tutupnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,