Laporan Ungkap Ekspansi PLTU Batubara Bebani Anggaran PLN, Mengapa?

 

Kajian lembaga internasional,  Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan, ekspansi PLTU batubara yang dijalankan di Indonesia,  akan membebani anggaran PLN hingga US$16,2 miliar.

Berdasarkan hitungan IEEFA, kapasitas saat ini ditambah penambahan energi terbarukan sudah cukup memenuhi kebutuhan listrik hingga 2026.

Tak hanya pemborosan, pembangunan PLTU di grid Jawa-Bali praktis mengurangi fokus PLN menambah porsi energi terbarukan.

Dalam laporan IEEFA berjudul Overpaid and Underutilized yang rilis pekan lalu di Jakarta, lembaga yang fokus analisis dan penelitian keuangan dan ekonomi berkaitan dengan energi dan lingkungan ini menganalisa rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2017-2026.

“Kewajiban pembayaran kapasitas untuk semua perjanjian jual beli listrik yang direncanakan dalam RUPTL akan berujung pada pemborosan,” kata Yulanda Chung, pakar pembiayaan energi IEEFA.

IEEFA memperkirakan, pembayaran kapasitas harus dilakukan PLN kepada perusahaan swasta, produsen listrik PLTU batubara, berdasarkan power purchase agreement (PPA) yang ada mencapai US$3,16 miliar untuk setiap gigawatt dari kapasitas terpasang.

Dalam RUPTL dinyatakan, PLN membuka peluang bagi produsen listrik swasta memenuhi 24 gigawatt tenaga listrik dari pembangkit berbasis batubara dan mulut tambang.

Salah satu cara menarik investasi dari perusahaan produsen listrik (IPP/independent power producer) dengan menawarkan PJBL selama 25 tahun yang menjamin pembayaran atas hasil semua listrik. Meskipun listrik tak terserap atau tak termanfaatkan.

Jadi, secara agregat, PLN harus membayar sekitar US$76 miliar selama masa berlaku PPA, yaitu 25 tahun agar dapat memanfaatkan listrik produsen swasta.

“Makin banyak porsi energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit dan makin murah teknologi energi terbarukan, PLN terpaksa harus terus membayar kapasitas kepada PLTU, padahal jumlah listrik yang termanfaatkan dari PLTU turun.”

Artinya, konsep pembayaran kapasitas ini dapat mengurangi minat PLN dalam menambah porsi energi terbarukan sebagai cara menghindari kerugian yang muncul dari kewajiban pembayaran kapasitas PLTU yang tak termanfaatkan optimal.

Padahal, kalau fokus energi terbarukan, hasil bisa menghemat miliaran dolar AS. “Dampak paling parah pada sistem kelistrikan Jawa-Bali,” kata Yulanda.

 

 

Jawa-Bali tak perlu PLTU lagi

Lebih rinci, mantan kepala tim keuangan berkelanjutan Standard Chartered ini menjelaskan, sistem kelistrikan Jawa-Bali memerlukan marjin cadangan 25% sebagaimana disebutkan dalam perencanaan PLN.  Apabila semua rencana penambahan kapasitas berdasarkan RUPTL terlaksana, marjin cadangan naik jadi 40%, bahkan 55% pada 2019.

Ia berdasarkan asumsi, 40% kapasitas tak terserap sistem, sebanyak 5.138 mw harus tetap ditanggung pembayaran kapasitasnya. Berarti, katanya,  PLN harus mengeluarkan US$16.2 miliar untuk kapasitas terbuang.

 

PLTU Pacitan tampak dari kejauhan. Foto: Nuswantoro

 

Sekalipun tak ada penambahan kapasitas dari PLTU batubara swasta atau IPP selama 2017-2026, sistem Jawa-Bali akan tetap memiliki marjin cadangan 12% dan akan bertengger pada angka 16% pada 202. Ini untuk jaringan kelistrikan yang notabene melayani 80% dari permintaan listrik Indonesia.

Sistem ketenaglistrikan Jawa-Bali, katanya, tak perlu menambah pembangkit listrik batubara. Yang ada kini,  hanya memproduksi setengah dari kapasitas seharusnya. “Mendorong proyek-proyek baru akan mengikat Indonesia selama 25 tahun dan mengharuskan Indonesia membayar lima gw tenaga listrik yang tak terserap.”

 

Sulitkan energi terbarukan

Tak hanya itu, memilih batubara sebagai sumber listrik membawa dampak panjang. Biaya bagi tenaga listrik batubara rentan inflasi karena pengeluaran tetap dan variabel terpatok pada tingkat inflasi.

Hal ini terbukti dengan membandingkan biaya pokok pembangkitan (BPP) Indonesia 2015-2016. Sebanyak 16 dari 21 provinsi mengalami kenaikan BPP daerah, buntut dominasi PLTU. Pilihan ini praktis menyulitkan pengembangan energi terbarukan.

Sementara harga terbarukan makin murah karena tak terpengaruh inflasi. Yulanda mencontohkan,  harga listrik untuk pembangkit tenaga surya (PLTS) sekitar US$0,17 per kWh pada 2016 akan US$0,8 per kWh pada 2021. Kondisi ini berdasarkan proyeksi penurunan harga teknologi tenaga surya fotovoltaik di seluruh dunia.

“Analisa kami menunjukkan, PLTS fotovoltaik akan jadi kompetitif bagi pemanfaat on-grid pada 2021.”

Pada sistem Jawa-Bali, dengan BPP tergolong rendah dapat memetik manfaat dari harga energi terbarukan yang makin murah. Analisis ini,  bahkan belum memasukkan biaya eksternalitas PLTU, yang berarti perbandingan paritas grid (grid parity) yang memperhitungkan seluruh komponen biaya dapat tercapai jauh sebelum 2020.

Dia bilang,  di beberapa negara lain energi terbarukan makin murah dibanding batubara. Indonesia pun, katanya, harus mengubah banyak hal dalam perencanaan ketenagalistrikan nasional.

“Supaya Indonesia bisa bebas bahaya terikat atau efek lock in pada suatu sistem berbasis batubara yang berujung pemborosan miliaran dolar Amerika.”

Laporan ini, kata Yulanda, memperlihatkan, Indonesia akan makin terikat pada pembangkit-pembangkit listrik besar dengan teknologi usang dan tak termanfaatkan dalam kapasitas penuh, ketimbang investasi pada teknologi lebih baik.

“Terdapat pilihan ekonomis mencapai ketahanan energi nasional melalui pengembangan energi terbarukan dan diversifikasi sumber energi bagi sektor ketenagalistrikan Indonesia.”

Andre Susanto, Senior VP Clean Energy Consulting, mengatakan, tantangan utama pengembangan terbarukan di Indonesia adalah tarif atau harga beli. “Kita sulit mengembangkan terbarukan karena nggak lihat dampak jangka panjang,” katanya.

Statistik 2015,-rilis 2016- PLN habis US$5 miliar untuk beli bahan bakar. “Tarif PLN saat ini tak cost reflective.”

Andre mencontohkan,  PLTS, makin mudah dan murah. “Harga energi terbarukan flat selama 20 tahun.”

Bagaimana membuat energi terbarukan menarik bagi investor? Salah satu dengan dukungan regulasi yang mampu menekan pengeluaran produksi, misal pengurangan pajak dan renumerasi ke luar negeri.

Lalu mengapa Indonesia masih pakai batubara? Nicke Widyawati, Direktur Perencanaan Korporat PLN mengatakan, sesuai mandat PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. “Saat ini kita belum cukup kapasitas, karena itu masih gunakan batubara.”

 

Lahan ini bagian dari PLTU Batang. Para petani yang tak mau lahan dijual buat PLTU ini sudah tak boleh lagi memasuki lahan pertanian mereka. Foto: Kasan Kurdi

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,