Masyarakat Kampung Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tinggal bersebelahan dengan Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Sudah begitu lama mereka berdamai dengan kawasan konservasi yang ditetapkan tahun 1978 lalu. Di Kawasan Gunung seluas 8000 hektare tersebut juga dikelilingi perkebunan teh Dewata yang berdiri sejak masa Hindia Belanda, 1932.
Hapid (67) warga sekitar, kesulitan mengingat kapan dia datang dan menetap di kampung berpenduduk 900 jiwa tersebut. Yang Jelas, dia telah turun – temurun menghuni kawasan itu jauh sebelum penetapan sebagai kawasan yang dilindungi negara.
Hapid bersama penduduk lainnya bekerja di pekebunan teh. Upah memetik hingga proses pengolahan tanaman Camellia sinensis ini dinilai cukup menghidupi. Dan rata-rata 60 – 70 kilogram daun teh basah dapat mereka setorkan setiap hari.
Masyarakat di kampung tersebut paham betul kawasan Gunung Tilu. Mereka seakan sadar kawasan. Bukan karena status cagar alam disematkan. Melainkan pepatah yang diajarkan oleh kolot baheula (orang tua jaman dulu) untuk menjaga Nagara Tilu. Dan sampai saat ini masih dipegang teguh.
“Bagi kami mah Gunung Tilu ibarat negara, yang mesti dijaga. Sebab kehidupan berawal dari sana. Air dan hutan merupakan penunjang hidup kami disini dan diluar sana,” ujar pria paruh baya itu saat ditemui Mongabay belum lama ini.
Dia menjelaskan, kawasan Gunung Tilu bukan hanya sebatas hutan melainkan tumpuan kehidupan. Meski mengandalkan penghasilan dari perkebunan teh, warga sekitar juga memanfaatkan hutan milik Perhutani sebagai lahan garapan untuk bertani kopi.
“Kami memlih menanam kopi ketimbang tanaman semusim. Ya karena tanaman kopi lebih menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. Kami tahu di hutan banyak mata air dan kami tidak berani mengganggu,” ucapnya.
Kajian Kawasan
Pusat Rehabilitasi Primata The Aspinall Foundation hampir satu dekade terakhir ini konsisten melakukan rangkaian kajian serta pemetaan kawasan dalam upaya konservasi khusus primata. Dimulai tahun 2008, Aspinall berhasil melepasliarkan belasan pasangan primata endemik jawa seperti owa jawa, surili dan lutung jawa.
Kawasan Gunung Tilu dipilih berdasarkan analisa panjang dan berkelanjutan. Kondisi habitat, ketersedian pakan dan kelengkapan ekosistem diteliti secara rinci berikut dengan data yang terus diperbaharui. Terlebih status cagar alam diyakini memberikan jaminan hidup.
2 Agustus 2017 lalu, Aspinall kembali melepasliakan sepasang owa jawa berumur pra dewasa. Asal-usul primata paling terancam punah tersebut, masih dari upaya penyitaan dan serahterima masyarakat yang berulang kali terjadi.
“Nasib sepasangan owa itu hampir sama yakni dari perburuan dan perdagangan. Kami beri nama Bakti dan Monik. Bakti kami rescue sejak masih bayi, induknya mati diburu. Cukup dramatis upaya penyelamatan karena butuh kehati-hatian agar tidak mati pada waktu itu. Sedangkan Monik hasil sitaan dari perdagangan liar di Jakarta,” Kata Sigit Ibrahim.
Dia berujar, proses rehabilitasi primata memakan waktu panjang. Minimal 1 – 2 tahun merupakan waktu untuk mengetahui perkembangan primata. Keputusannya dilepasliarkan atau dikandangkan. Namun, menurutnya yang paling sulit adalah mengembalikan owa jawa ke sifat alaminya.
“Sulit sekali mengembalikan owa ke 100% liar. Karena pengaruh manusia sangat berpengaruh sekali. Sekalipun telah melalui rangkaian rehabilitasi dan dilepasliarkan,” kata Sigit.
Di hutan, kata Sigit, owa jawa hidup berkelompok terdiri dari 3 – 4 ekor. Dengan pola hidup arboreal. Selain peran alaminya bagi ekosistem, seperti menyemai benih di rimba raya. Daya jelajah pun cukup luas yakni sekitar 40 hektare atau 8 kilometer.
Keunikan Hylobates moloch yaitu berkomunikasi lewat suara. Owa jantan biasanya bersuara ketika melihat ancaman. Sedangkan owa betina akan bersuara mirip bernyanyi saat mencari pasangan atau pada musim kawin.
Sigit menerangkan, secara teori owa jawa merupakan primata monogami atau satu kali masa kawin. Namun, untuk owa rehabilitan (hasil rehabilitasi) tidak ada jaminan seperti itu. Ada indikasi berpindah pasangan.
Pada proses monitoring berkala, ditemukan owa rehabilitan kawin dengan owa liar asli Gunung Tilu dan berhasil melahirkan anakan. Diketahui pola kawin primata setia ini sangat sulit. Owa pemilih dalam menentukan pasangan hidup dan lambat bereproduksi. Tak jarang jarak antara anakan pertama dan selanjutnya bisa sampai 2 – 4 tahun.
Di habitat aslinya owa liar akan diajarkan kembali bagaimana cara memakan pakan alami hingga menjelajah wilayah. Sehingga owa rehabilitan banyak mengalami perkembangan pesat setelah dilepasliarkan.
“Kebanggan kami hadir tatkala primata hasil rehabilitasi beranak pinak di habitat liarnya. Otomatis sebagai penggiat konservasi, itu merupakan suatu indikator keberhasilan,” ujar dia.
Sigit menegaskan, populasi primata ini terus menurun, sama halnya dengan saudara dekat mereka surili dan lutung jawa, yang merupakan satwa endemik Jawa Barat. Ancaman terberatnya adalah pembukaan kawasan sekitar cagar alam dan intervensi manusia.
Sementara itu, Kepala Bidang KSDA Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat Memen Suparman menuturkan, pihaknya akan menjalin kemitraan bersama masyarakat. Masyarakat dekat kawasan akan diberi edukasi dan sosialisasi terkait konservasi.
“Yang mengawasi CA Gunung Tilu ini ada 7 orang personil Polhut. Idealnya memang perlu banyak. Tetapi kami mencoba menjalin kemitraan dengan masyarakat dan diharapkan dapat diperbantukan nantinya,” tuturnya.
Masyarakat Kampung Gambung sedikitnya mengerti betapa penting kelestarian hutan dengan sistem ekosistem alaminya. Kepunahan primata bisa jadi alarm bagi kepunahan manusia juga. Seberapa pun besarnya upaya konservasi bila masyarakat tidak dilibatkan dan terlibatkan, maka akan sia – sia. Sudah seharusnya kita berbagi kawasan. Untuk keberlangsungan hidup yang lestari.