Berawal dari Ladang Temukan Fosil Gajah Purba di Grobogan (Bagian 1)

 

Sekitar Mei 2017, seorang petani menggali sumur buat membasahi tanaman jagung di ladang. Ternyata dia menemukan batu tulang. Informasi sampai ke Balai Pelestarian Situs. Kala penggalian, ada banyak tulang dari beberapa bagian tubuh termasuk sepasang gading hampir tiga meter, dugaan sementara fosil gajah raksasa. Ternyata, dalam penggalian itu juga ditemukan fosil satwa-satwa lain.

 

Hampir tengah malam di Rumah Fosil. Wahyu Widiyanta, arkeolog, terlihat merebahkan diri di kursi panjang dari jati solid. Museum sederhana di Desa Banjarejo, Gabus, Grobogan, Jawa Tengah, ini jadi posko sekaligus tempat bermalam peneliti dari Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, Sragen.

Ketua tim kajian ekskavasi fosil di Banjarejo bersama anggota tim, sejak pagi mendata temuan, dan memasukkan ke dalam logbook. Pekan depan, datang tim baru, yaitu tim konservasi. Berikutnya, datang tim pencetakan. Seluruh tim bekerja maraton. Pada Sabtu, 29 Juli lalu merupakan hari ke 20 mereka di sana.

Malam kian larut. Sebagian anggota tim merapikan beberapa fosil temuan, peralatan penelitian, dan kotak-kotak penyimpanan. Menyingkirkan semua ke pinggir, di antara sedikit ruang tak seberapa luas di Rumah Fosil yang tersisa.

Rais Fathoni, geolog, salah satu anggota tim, memompa kasur angin, bersiap tidur. Di sampingnya berderet tumpukan tulang belulang purba tergeletak di lantai koleksi Rumah Fosil. Esok pagi, meski Minggu, mereka harus kembali ke lokasi penemuan untuk meneruskan pencatatan. Suara derik jangkrik yang bersembunyi di balik tumpukan fosil memecah kesenyapan malam.

 

Selain gajah purba, juga ditemukan satwa-satwa purba lain. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

* * *

Tiga bulan sebelum itu, Rusdi, 70 tahun, berniat menanam jagung di ladang. Dia memiliki tanah 30 are (3.000 meter persegi). Ladang berkontur perbukitan di Dusun Kuwojo, Banjarejo. Sebagian tanah ditanami jati, sisanya jagung, dan kacang hijau. Musim hujan, dia tanami padi.

Rencana ladang jagung itu berada di sisi Selatan, lebih rendah dari jati dengan tingkat kemiringan sekitar 20 derajat. Jauh memandang ke Selatan, tanah makin menurun, membentuk lembah, lalu ada perbukitan memanjang dari arah Timur ke Barat.

“Itu sebelum puasa, sekitar Mei. Awalnya, mau bikin sumur untuk ngocor (mengairi tanaman),” katanya, mengisahkan awal mula menemukan fosil yang menarik perhatian peneliti dan masyarakat.

“Saat menggali kok ada benda keras.”

Setelah digali lebih jauh, terlihat ada watu balung (batu tulang), istilah warga Banjarejo untuk fosil. Sebutan lain adalah balung tuwo (tulang tua), dan balung butho (tulang raksasa).

Bukan sekali ini Rusdi menemukan fosil. Beberapa kali sebelumnya cangkulnya juga terantuk fosil, namun dalam potongan lebih kecil. Dari seukuran jari hingga sebesar kepalan tangan.

“Waktu itu batu-batu fosil saya singkirkan saja ke pinggir ladang,” katanya, akhir Juli lalu.

Kali ini dia temukan tulang seukuran paha orang dewasa, mungkin kelak sangat berarti bagi ilmu pengetahuan, dan sejarah kehidupan purba di Jawa.

Rusdi lantas menceritakan penemuan itu ke perangkat desa. Selanjutnya, perangkat desa melapor ke kepala desa, lalu meneruskan ke BPSMP Sangiran.

“Penemuan itu berdasar laporan masyarakat Kamis, 8 Juni lalu. Saat itu bulan puasa,” kata Sukronedi, Kepala BPSMP Sangiran, awal Agustus.

“Langsung kita tindak lanjuti dengan mengirimkan tim ke sana.”

Kala itu puasa, warga menggali malam hari, menghindari sengatan matahari. Namun proses penggalian tak maksimal karena kurang cahaya. “Saya minta setop dulu, kita lanjutkan nanti setelah Lebaran.”

Pada 12-30 Juli, tim kajian BPSMP mulai turun ke lokasi. Tim konservasi bekerja. “Sekitar lima orang. Bekerja satu minggu.  Kemudian tim pencetakan, bekerja 5-20 hari.”

Menurut Sukronedi, tim menduga itu penemuan spektakuler. Mereka mengira bisa menemukan tulang gajah purba utuh. Namun sampai tahap pertama ekskavasi, tim belum juga menemukan kepala.

“Yang ditemukan hanya gading, tulang paha, pelvis atau tulang panggul. Kalau menemukan tulang kepala bisa dibilang sangat spektakuler. Sebab bisa direkonstruksi menjadi satu individu,” katanya.

 

Kejutan lagi

Kejutan lain, dalam pembukaan satu kotak ekskavasi ditemukan binatang lain hingga muncul hipotesa baru.

“Ada bovidae dan gigi buaya. Dalam satu kotak ekskavasi sudah teraduk,” katanya.

Melihat lapisan tanah, posisi fosil, dan individu yang ditemukan, kesimpulan sementara lokasi penemuan adalah tanah tererosi hingga sudah ada perpindahan fosil dari tempat asal sebelumnya.

“Jadi bukan gajah mati lalu terkubur menjadi fosil, mungkin terlarut dari atas lalu terkumpul di situ.”

 

Wahyu Widiyanta, Ketua Tim Kajian. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

* * * *

Minggu pagi, 30 Juli. Beberapa anggota tim menuruni lokasi yang tergali sedalam kurang lebih dua meter. Luas penggalian fosil berukuran 14×14 meter. Sejajar dengan tinggi permukaan tanah, peneliti membentangkan benang membentuk grid atau kotak lebih kecil. Begitu pula pada bagian tanah paling bawah. Bagai memasuki tempat suci, sebelum turun mereka melepas alas kaki.

“Aturannya memang begitu, harus melepas sandal atau sepatu, ” kata Widiatmo, anggota tim. “Juga tidak boleh merokok.”

Selain melengkapi data, mereka kembali membersihkan fosil dari endapan gamping memakai alat kerik dan kuas.

“Fosil-fosil yang ditemukan itu terbungkus endapan gamping. Orang awam membedakan fosil dengan batu kan tidak bisa. Padahal nanti saat mau dicetak harus sesuai aslinya,” kata Wahyu.

Setelah bersih, fosil akan dicetak, lalu diangkat dan dibawa ke rumah fosil untuk konservasi lagi.

“Kalau penemuan fosil cukup lengkap dan bisa direkonstruksi kita rekonstruksi. Dari posisi temuan sepertinya belum bisa direkonstruksi. Tapi ini belum berakhir. Kajian kita akan tetap berkesinambungan di sini.”

Menurut Wahyu, tim masih berharap kepala gajah purba bisa segera ditemukan. Tujuannya, memastikan jenis fosil apakah Stegodon atau Elephas, yang terakhir menjadi leluhur gajah Sumatera.

“Rahang bawah atau atas belum kita temukan. Karakter paling jelas dari fosil untuk menyebut gajah itu dari gigi. Jika hanya gading belum bisa. Kalau melihat persentasi temuan di Banjarejo secara umum, dari apa yang dikumpulkan di Rumah Fosil, memang jenis Stegodon. Tapi di kotak itu belum bisa mengatakan Stegodon atau bukan.”

Penemuan fosil beberapa individu dalam satu kotak ekskavasi, kata Wahyu, menarik dikaji lebih jauh. Bahkan peneliti menemukan gigi buaya dari dua jenis, yaitu buaya muara hidup di air tawar dan asin, dan buaya sungai.

“Yang menarik kenapa diendapkan dalam satu tempat. Dugaan sementara lokasi temuan sudah mengalami perpindahan, trasportasi.”

Secara kronologis, katanya, binatang-binatang itu mati lalu terfosilkan di satu tempat dengan posisi saat itu lebih tinggi. Lapisan tanah adalah lempung, sangat plastis hingga mudah turun.

“Karena longsor, dalam blok besar, mereka terkumpul di situ. Lalu ditemukan masyarakat.”

Wahyu tak menampik kemungkinan sebelumnya mereka berjauhan.

“Bisa juga. Kalau kita lihat karakternya, buaya binatang air, bofidae lebih ke daratan terbuka, gajah juga. Mengapa mereka bisa diendapkan dalam satu lokasi. Yang jadi menarik itu di situ.”

Lengkapnya, peneliti dari tim kajian menemukan fosil sepasang gading gajah, sepasang tulang paha, sepasang tulang lengan, tulang panggul, tulang kemaluan, tulang belikat, tulang kering, tulang betis, tulang hasta, tulang pengumpil, tulang rusuk, dan tulang belakang gajah purba. Juga ditemukan fosil banteng, buaya sungai, buaya muara, kerang, catfish (ikan berkumis), dan masih terdapat fosil yang belum diketahui dari jenis apa.

Lapisan tanah sendiri berupa lempung karbonat, dengan unsur gamping yang dominan. Kemungkinan lapisan lempung karbonat beserta fosil itu mengalami longsor atau erosi dalam waktu bersamaan, lalu terendapkan kembali.

Jika benar fosil itu Stegodon, ukurannya bisa mencapai tiga kali ukuran gajah saat ini. Panjang gading ditemukan hampir tiga meter, panjang badan bisa mencapai delapan meter, dengan berat hingga 12 ton. Stegodon hidup sekitar 1,2 juta tahun lalu.

 

Tak ada anggaran penggalian?

Menurut Wahyu, penggalian sangat mungkin diperluas, tetapi keterbatasan waktu dan anggaran, sementara hanya membuka satu kotak ekskavasi.

“Sebenarnya di luar program kami, sangat mendadak. Untuk penemuan ini belum teranggarkan. Yang ditargetkan BPSMP terhadap temuan ini adalah ada kajian tentang temuan, jenis, perkiraan lingkungan, proses pengendapan seperti apa, lalu perkiraan usia relatif.”

“Harapan kami ini pengembangan ke depan. Siapa tahu pemerintah daerah, atau pemerintah provinsi berniat mendirikan museum edukasi tentang situs Banjarejo dan sejarah Jawa secara umum.” (Bersambung)

 

Anggota tim KPF Banjarejo, membersihkan situs temuan gajah purba. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,