Menyibak Kehidupan Purba di Banjarejo (Bagian 2)

 

 

Rumah berkayu jati mendominasi tempat tinggal warga Banjarejo, Gabusan, Grobogan, Jawa tengah. Beberapa masih berdinding bambu. Ada berdinding batu bata. Ada halaman luas, beberapa untuk menjemur polong kacang hijau.

“Mayoritas petani lahan tadah hujan. Dua kali tanam padi, saat kemarau palawija. Biasa menanam kacang hijau dan jagung. Pada kemarau, petani membuat tandon air di ladang,” kata Achmad Taufik, Kepala Desa Banjarejo, Sabtu, 29 Juli.

Sebagian besar rumah menghadap utara selatan. Posisi rumah ini, katanya, jadi norma adat setempat. Bahkan, di salah satu dusun hampir semua menghadap utara selatan. Kemungkinan,  tradisi ini berawal dari kerajaan Medang, dengan jejak bekas bangunan juga ditemukan di sana.

Baca juga: Berawal dari Ladang Temukan Fosil Gajah Purba di Grobogan (bagian 1)

Kini, Banjarejo kembali jadi perhatian setelah ditemukan fosil gajah purba yang hampir lengkap, disertai fosil beberapa individu lain dalam satu kotak ekskavasi.

Bukan kali ini saja fosil berusia jutaan tahun ditemukan di desa ini. Beberapa waktu lalu tanduk kerbau purba juga ditemukan oleh warga.

Temuan ini jadi bukti, Banjarejo dulu pernah ditinggali fauna purba yang kini punah.  “Ada seribuan fosil masuk database kami,” katanya, di Rumah Fosil, museum sederhana, Banjarejo.

Meski dikelola sederhana, rumah fosil mengoleksi beragam benda purbakala amat bernilai bagi ilmu pengetahuan. Fosil-fosil itu antara lain gajah purba, kerbau, buaya, siput, kuda nil, dan kerang.

Sebagian ditempel di dinding, beberapa masuk lemari kaca di meja, lebih banyak hanya terletak di lantai.

 

Batu bulat, diperkirakan peralatan manusiia purba. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

* * *

Di dalam peta geologi, posisi Banjarejo terbilang unik. Desa ini terletak di sebelah timur Purwodadi—sekitar 40 kilometer–, ibu kota Grobogan, dan jarak ke laut Jawa sekitar 75 kilometer. Dua kota terdekat yaitu Cepu dan Blora, dikenal memiliki tambang minyak yang sejak dulu dieksplorasi kolonial Belanda. Begitupun di Banjarejo, ada sumur minyak tua peninggalan kolonial.

Di Kuwu, 12 kilometer arah barat Banjarejo, ada fenomena alam semburan lumpur Bledug Kuwu, mirip lumpur Sidoarjo. Sekitar 20 kilometer dari Bledug Kuwu, arah barat, tepatnya di Kecamatan Jono, warga mengusahakan pembuatan garam dari sumur yang mengandung garam.

Fenomena sama terjadi di Banjarejo. Menurut Achmad, saat membuat sumur bor di kedalaman 80 meter warga Banjarejo juga merasakan air asin.

Sekitar 75 kilometer ke Barat Daya, terdapat situs manusia purba Sangiran. Sisi barat laut sekitar 60 kilometer ada situs Patiayam di Kudus. Fosil Stegodon yang hampir lengkap pernah ditemukan di tempat sana.

Ada catatan profil desa bisa dibaca setiap pengunjung Rumah Fosil. Banjarejo memiliki tujuh dusun yaitu Barak, Kuwojo, Peting, Ngrunut, Nganggil, Medang, dan Kedungjati. Berpenduduk 6.225 jiwa, sebagian besar bermata pencaharian petani tadah hujan.

Banjarejo purba diperkirakan laut dalam. Sekitar dua juta tahun lalu, situs Banjarejo mulai terangkat, diikuti situs Sangiran juga terangkat.

Banjarejo jadi pesisir pantai. Ia terekam dari temuan batu gamping bekas terumbu karang yang hanya hidup di perairan dangkal sekitar satu hingga 1,5 meter.

Pada periode ini diendapkan fosil-fosil fauna laut dangkal seperti hiu, kerang. Sekitar 1,6 juta tahun lalu, Banjarejo berubah menjadi laguna. Ada muara sungai mengalir dari Pegunungan Kendeng. Fauna hidup masa itu adalah buaya muara, kuda nil. Ada pula sejenis rusa.

Dari pengangkatan daratan dan aktivitas gunung api yang lebih intensif Banjarejo makin menjadi daratan. Di lereng sebelah selatan Pegunungan Kendeng, mamalia dari daratan Asia yang berukuran besar makin banyak hadir. Fauna itu adalah Stegodon, kerbau, banteng, badak, rusa, sampai srigala. Itu terjadi sekitar satu juta hingga 300.000 tahun lalu. Begitu keterangan tertulis di sana.

Sukronedi, Kepala BPSMP Sangiran, , mengatakan, temuan temuan menandakan daerah itu dulu subur. Penemuan fosil terbaru menambah informasi tentang Banjarejo, masa lalu.

Kini secara morfologi, di beberapa Kawasan Banjarejo permukaan tampak landai, sebagian kecil berbukit. Tanah berkapur dan plastis sebagai karakter lempung.

Menurut Geolog Reinout Willem van Bemmelem, penulis buku The Geology of Indonesia, fisiografi Jawa bagian timur dari utara ke selatan berturut-turut adalah zona Rembang, zona Randublatung, zona Kendeng, zona Solo, dan pegunungan selatan.

“Posisi Banjarejo itu di tengah antara pegunungan kapur Rembang di utara dan pegunungan Kendeng di selatan. Ini menarik karena hingga kini daerah dengan temuan-temuan fauna baru di Banjarejo,” kata Wahyu Widiyanta, Ketua Tim Ekskavasi.

Dibanding situs Patiayam, , situs Banjarejo punya karakter berbeda.

“Kalau Patiayam sedimen cenderung lebih ke vulkanik. Di Banjarejo karbonat atau gamping. Ini akan memberi gambaran lingkungan umum, terutama regional di Jawa. Dari Banjarejo, kita akan menemukan kepingan lain,” katanya.

Dengan ciri lapisan tanah karbonat,  Wahyu memperkirakan lingkungan Banjarejo dulu daratan tetapi masih ada pengaruh laut.

“Entah itu daratan sebagai dinding laut, pantai, selat, atau apa. Kita belum bisa memastikan. Secara geologi kita belum bisa mengatakan lebih banyak lagi,” katanya seraya bilang, contoh tanah masih sedikit. “Nanti kalau sudah membuat singkapan lebih banyak kita teliti lebih jauh hingga makin jelas.”

Wahyu mengatakan, masa hidup Stegodon di Jawa sekitar 1,2 juta-200.000 tahun lalu. Selanjutnya, binatang yang digambarkan bisa sebesar rumah itu menghilang.

“Pada penemuan fosil yang sampai ke kita, seperti di situs Medalem, Ngandong (Blora), sudah tak menemukan Stegodon. Elephas menyusul berikutnya,” ucap Wahyu.

 

Achmad Taufik, Kepala Desa Banjarejo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan biostratigrafi (penentuan umur batuan berdasarkan fosil yang ada), Elephas masuk ke Jawa, sekitar 800.000-sekarang, gajah Sumatera masih bagian Elephas.

“Sekitar 500.000 hingga 1 juta tahun lalu mereka masih berdampingan. Stegodon hilang, dan Elephas bertahan.”

Sangiran mengoleksi banyak fosil manusia purba. Fosil sama juga ditemukan di Patiayam. Namun fosil ini belum pernah ditemukan di Banjarejo.

“Di sekitar Banjarejo tak ada. Hingga kini di Banjarejo, ada beberapa indikasi artefak hasil budaya manusia, seperti bola batu. Indikasi itu terlihat baik dalam kegiatan survei maupun ekskavasi.”

Bola batu dimaksud ditemukan di Ngrunut dan Nganggil. Ukuran segenggaman tangan orang dewasa. Bola batu adalah alat kerja manusia purba, juga ditemukan di berbagai belahan dunia.

Selama dua tahun kajian di Bandarejo, BPSMP banyak mendata temuan fosil Stegodon dan Elephas. Lalu dari Bofidae, yaitu kepala kerbau lengkap dengan tanduk, adalagi Cerfidae, sejenis rusa kijang, kancil, babi hutan, kuda nil, badak. “Kalau Carnivora kemarin kita temukan sejenis serigala.”

Melihat temuan fosil, fauna lebih cenderung ke pleistosen tengah. Pleistosen adalah era geologi saat bumi mengalami siklus zaman es lalu mencair beberapa kali. Dimulai sekitar 1,8 juta tahun lalu (International Union of Geological Sciences memperbaiki jadi 2,5 juta tahun). Pleistosen tengah adalah era saat manusia purba muncul, dan binatang berbulu tipis bermigrasi ke khatulistiwa.

“Posisi daratan sudah agak luas, dan binatang lebih beragam. Temuan-temuan itu kalau kita tarik ke Sangiran, atau Patiayam, masa itu hampir sama. Memang kita belum bisa menaruh jelas Banjarejo posisi di mana. Ini yang kita ingin ungkap. Apakah jadi jalur migrasi fauna dan manusia purba, itu yang ingin dicari.”

Meski belum ada peneliti asing menyatakan tertarik meneliti di Banjarejo, setidaknya ada arkeolog Perancis, Francois Semah pernah berkunjung ke desa itu.

“Masih peneliti dari BPSMP Sangiran. Sangat menarik kalau peneliti di luar Sangiran masuk, ikut mengembangkan pengetahuan di sini. Nanti sistem pengetahuan makin lengkap, analisa bervariasi. Akan lebih cepat lagi mengungkap rahasia di Banjarejo.”

Wahyu berharap, meski tak mudah, hasil penelitian di Banjarejo bisa dilaporkan dalam jurnal internasional.

“Untuk nenembus jurnal internasional sangat ketat. Itu memang perlu kerja keras. Paling tidak kalau banyak peneliti datang, informasi lebih banyak sampai. Kalau kita bisa mengorbit di jurnal internasional, lebih mudah membawa partner internasional berkolaborasi. Kami berusaha sampai ke tahap itu.” (Bersambung)

 

Fosil bagian tubuh satwa purba di kotak ekskavasi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,