Asyiknya Merasakan Kemerdekaan Bersama Petani Garam

Nengah Bantat dan Ketut Nyimprug adalah pasangan lanjut usia petani garam laut yang menjadi mentor komunitas Bali Blogger menjadi petani garam laut dalam sehari. Ini perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 di Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung.

Maria Pankratia dan Kadek Doi mencoba memanggul alat menimba air dari laut. Wadahnya saja tanpa isi air sudah berat, sekitar 3 kg karena dirakit dari semacam karet tebal mirip ban sebagai timba dan bambu untuk panggulnya.

Kedua perempuan muda ini menuju laut. Gelombang menjilat batu-batu hitam yang berserakan di pantai. Nengah Bantat mengikuti keduanya dari belakang. Petani garam ini sudah bekerja menimba air sejak pukul 5 dini hari.

 

 

Ketika menimba air, posisi tubuh mengarah ke daratan. Sambil menyerongkan tubuh melihat datangnya gelombang, lalu bersiap-siap menurunkan timba agar air memenuhi kedua wadah. “Buang airnya biar gampang dibawa,” seru Bantat. Ia ingin meringankan beban para pemula ini.

Kadek Doi mencoba berlari sambil membawa timba, namun pasir dan batu pantai cukup menyulitkan langkah. Keduanya melewati pantai sekitar 50 meter sampai mencapai ladang pembuatan garam. Pasir sudah diratakan siap disiram air laut.

Eh ternyata tak mudah menyiramkan air dari timba ke pasir. Harus digoyangkan agar air rata terbagi ke pasir. Menimba air laut adalah salah satu lomba menjadi petani garam dalam acara Pitulasan, merayakan hari kemerdekaan oleh Bali Blogger Community (BBC).

“Ya Tuhanku,” seru Maria setelah kelelahan mencoba menimba air laut sekali. Sementara Nengah Bantat dan Ketut Nyimprug, petani sekitar 60 tahun ini sudah belasan kali bolak balik menimba selama sekitar 2 jam pada Kamis (17/8/2017). Demikianlah ketangguhan dan energi para petani untuk menghasilkan bahan pangan penting yang saat ini malah sedang dimpor puluhan ribu ton dari Australia ini.

 

Lomba menimba air dari laut sebagai proses awal menggarap ladang garam laut di Kusamba. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Aktivitas kedua yang juga dilombakan adalah mengangkut pasir dari bak filter air laut ke ladang. Bak ini disebut belong, terbuat dari batang kayu besar biasanya pohon mangga. Bak ini diisi pasir yang sudah disirami air laut dan didiamkan setengah hari. Setelah itu bak pasir ini kembali diisi air laut, dibiarkan meresap seharian. Air laut hasil saringan di bak inilah air tua, bahan baku yang akan dijemur, diuapkan menjadi garam kristal.

Nah setelah tetesan air tua terakhir dari bak, pasirnya diambil untuk dijemur lagi ke ladang. Untuk disiram air laut lagi keesokan harinya.

Wadah pasir adalah keranjang bambu. Setelah diisi pasir, beratnya sekitar 20 kg. Padahal keranjangnya terlihat sedang, mungkin karena pasir padat bekas air. Para blogger ini adu cepat menimbun pasir di ladang. Juga tak mudah karena selain berat, harus lari di pasir menuju ladang baru yang akan diolah.

“Aduh saya tak bisa hidup di sini, berat sekali,” Pekak Kaek, salah satu peserta lomba tertua meratap. Ia tiap hari naik sepeda ke mana pun, namun pekerjaan petani garam laut ini menurutnya luar biasa.

Garam kadung dikenal sebagai komoditas pangan murah. Padahal bumbu penting dalam keseharian. Jika ada sesuatu yang salah kerap diibaratkan seperti masakan tanpa garam.

Mungkin menyangka cara buatnya mudah sekadar menjemur air laut. Garam pun ada bermacam, di negara produsen seperti India dan Australia, garam tak hanya dari air laut juga air danau dan deposit tambang.

Sementara Indonesia garamnya dari laut, diproses di daratan seperti tambak dan pantai. Ada rangkaian kegiatan berhari-hari sampai garam jadi atau terhidang di dapur.

 

Lomba mengangkut pasir sisa filter air laut dari bak kayu ke ladang garam. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Memerdekakan pikiran bisa dilakukan dengan menyelami pekerjaan-pekerjaan petani garam. Merasakan asin pahitnya keringat petani agar hidangan enak dimakan. “Pekerjaan tidak mudah dan butuh keikhlasan yang mumpuni, khususnya saat cuaca tidak bersahabat. Kita harus ikhlas menerima kenyataan bahwa apa yang sudah kita lakukan sejak pagi hanyalah sia-sia,” tutur Maria.

Usai melakukan menyiram air laut ke ladang, rintik hujan akhirnya muncul setelah mendung tebal menggelayut pagi hari. Petani menyebut harus mengulang lagi menyiram karena pasti pasirnya tidak mengembang tersiram air tawar. Keluarga petani ini bahu membahu menutup palungan, wadah air tua yang akan diupkan dengan penutup anyaman dari daun kelapa.

Pasangan petani garam, Bantat dan Nyimprug terus menebar senyum melihat upaya anggota Bali Blogger ini mengikuti kegiatan harian mereka. “Karena garam murah saya hanya bisa menyekolahkan anak sampai SD saja,” kata Bantat. Ia satu-satunya yang meneruskan pekerjaan mendiang orang tua.

Anak-anak dan cucunya juga diajak terlibat dalam lomba lainnya memanfaatkan pantai dan alat yang ada. Mereka adu cepat menarik tulud, alat meratakan pasir dari kayu. Usai lomba anak-anak dan petani garam mendapat bingkisan alat tulis, baju, dan topi dari BBC.

Sesi berikutnya adalah diskusi dengan petani dan Kepala Desa Kusamba. Petani garam diajak rehat duduk bersama, mereka bercerita masa lalu dan masa kini. Belasan tahun lalu, Bantat mengingat ada sekitar 75 petani garam di pesisir Kusamba. Kini tersisa 17 KK.

“Selain berat kerjanya, ada ladang petani yang hilang karena abrasi,” ujarnya. Terputusnya generasi petani juga mempercepat langkanya petani garam laut. Pasir pantai berperan penting bagi pembuatan garam Kusamba di Klungkung ini. Beda dengan petani garam laut di Buleleng dan Karangasem yang menggunakan media tanah sebagai campuran air laut.

Ketut Winastra, Kepala Desa Kusamba menyebut kelompok petani garam belum begitu solid. Panen masih dibeli tengkulak, tak bisa dibeli kelompok untuk mengendalikan harga. Kelompok juga belum bisa mengemas dengan merk sama. Petani hanya menjual garam yang akan dikemas sendiri oleh pemborongnya.

“Sudah disediakan gudang untuk kelompok tapi belum bersatu. Rencananya nampung panen petani dibayar kontan tapi terhambat permodalan,” ujarnya soal kelompok petani garam bernama Sarining Segara ini. Artinya sari atau rejeki dari laut.

 

Bentuk palungan yaitu bilah batang pohon kelapa untuk menjemur air tua menjadi garam kristal di Kusamba, Klungkung, Bali. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Halnya garam laut di Karangasem (Amed) dan Buleleng (Tejakula) yang diolah tradisional, garam Kusamba juga tanpa tambahan kandungan iodium sintetis seperti garam pabrikan. “Jangankan bebankan ke kami memasukkan iodium. Tidak alami dan rasa lebih pahit,” tutur Winastra.

Pihaknya mengaku sudah bertemu dengan Bupati Klungkung mengadukan tantangan petani garam Kusamba yang menjadi potensi perekonomian dan pariwisata selain kehidupan nelayan dan pemindangan ikan. Desa Kusamba terdiri dari 16 banjar adat dengan sekitar 7000an jiwa. Pesisir memberikan nafkah bagi ribuan warga misalnya jadi pedagang dan buruh di sentra pemindangan ikan. Nelayan sekitar 121 KK, dan petani garam 17 KK di 2 lokasi yakni Pelabuhan barang Tribuana dan Monggalan Cedok Baru.

Winastra mencatat para petani garam tak bisa memenuhi permintaan karena produksi rendah. Ada yang minta 6 ton per bulan tapi diperkirakan baru bisa dipenuhi 2 ton. Rata-rata per hari produksi garam kering sekitar 15 kg per hari.

Dari catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, produksi garam di Bali fluktuatif 3 tahun terakhir sampai 2016. Dari sekitar 7800 ton (2014) menjadi 11.500 (2015) lalu 10.700 (2016).

Winastra menyebut bupati akan menyalurkan 17 mesin penarik air dari laut ke bak penampung agar kerja petani lebih mudah. Para petani menimba air di bak lalu menyiramkan ke ladangnya. Karena jika disemprot langsung, hasilnya lebih buruk untuk diolah.

“Kalau disemprot, airnya masuk ke dalam dan tidak ada garam di permukaannya,” demikian pengalaman Nengah Bantat sehingga menimba air masih menjadi pilihan.

 

Maulani, petani garam sedang mengayunkan mboran, alat tradisional pengolah garam untuk memindahkan air tua di lahannya di Desa Sedayulawas, Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,