Asa Kemerdekaan Itu Bergema di Tanah Adat Dayak Tomun

 

 

Indonesia raya merdeka… merdeka… tanahku negeriku yang kucinta.. Indonesia raya merdeka… merdeka… Hiduplah Indonesia raya…”

Lagu Kebangsaan Indonesia Raya bergema, dinyanyikan serempak puluhan masyarakat adat Dayak Tomun di atas batu batungkat, situs bersejarah yang mereka keramatkan. Tepatnya, di Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Anak-anak, para ibu, bapak, tua dan muda menyambut gembira upacara kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 itu.

Edy Zacheus, Kepala Desa Kubung bertindak sebagai pemimpin upacara. Ia berdiri tegap di atas bongkahan batu, tangannya menghormat pada sang merah putih yang dikibarkan tiga pemuda. Begitu pun dengan warga lainnya, khidmat menghormat.

Di balik bendera yang terus berkibar itu, terhampar pepohonan rimbun. Hutan yang menjadi sumber penghidupan warga ini menyejukkan pandangan mata, di bawah terik mentari yang semakin terasa membakar kulit.

“Hutan harus kita jaga. Dari sini kita bisa hidup tentram, sehat, dan bisa menyekolahkan anak dari hasil hutan yang melimpah. Merdeka!” pekik Edy.

 

Baca: Kabar dari Delang, Sejahtera Berkat Menjaga Hutan

 

Sebuah asa akan kemerdekaan membucah di relungnya. Pun di jiwa warga Desa Kubung dan Sekombulan yang hadir. Bagi warga adat Dayak Tomun, kemerdekaan belum sepenuhnya mereka rasakan. Banyak permasalahan yang mereka hadapi. Hingga saat ini, pengakuan sah dari negara terhadap hak kelola atas hutan adat mereka belum ada. Di sisi lain, ancaman kelestarian hutan adat mereka juga terjadi.

“Kami ingin hutan tetap terjaga. Jangan sampai sawit dan tambang masuk. Biar kami miskin uang tapi kaya pemikiran, itu namanya merdeka. Merdeka jika kami bebas melestarikan budaya dan hutan kami,” kata Edy, usai upacara.

Wilayah hutan adat mereka memang terjaga dengan baik. Jika kita berkendara dari Nanga Bulik menuju Desa Kubung, rimbunnya pepohonan dengan vegetasi rapat dan sungai jernih dengan aliran deras terlihat. Hal yang berbeda dengan daerah Kalimantan Tengah lainnya, yang sebagian besar hutannya sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

“Daerah Nanga Tayap yang masuk wilayah Kalimantan Barat sudah menjadi perkebunan sawit. Juga di Lamandau, yang di bawahnya juga sudah ada sawit. Jangan sampai, sawit masuk ke Kecamatan Delang,” ujarnya.

Kekhawatiran Edy beralasan. Dari hutan, warga adat Dayak Tomun menggantungkan hidup. Jika musim buah tiba, cempedak, durian, jambu dan lainnya melimpah. Ada 120 keluarga yang hidup di Desa Kubung. Sebagian besar, bermatapencaharian petani ladang padi, karet, dan peternak babi.

 

Baca juga: Kala Masyarakat Dayak Tomun Deklarasikan Peta Wilayah Adat

 

Akses jalan menuju Desa Kubung pun masih sulit. Jika hujan tiba, mobil akan berat melintas. Ban mobil yang kami kendarai bergeser berkali-kali. Letak desa ini berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Barat, sekitar 620 Kilometer dari Kota Palangkaraya dan 125 Kilometer dari Nanga Bulik.

PLN (Perusahaan Listrik Negara) belum menjangkau daerah ini. Meski warga sudah membangun pembangkit listrik mikrohidro, namun belum bisa mencukupi kebutuhan mereka. Hal serupa yang dialami warga Desa Sekombulan, tetangga Desa Kubung. Alhasil, mereka mengandalkan genset sebagai penerangan malam hari.

Namun, kesulitan yang mereka hadapi tak lantas membuat semangat mereka mempertahankan hutan luntur. Prinsip yang terpatri dalam budaya mereka tetap dipertahankan.

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Setiap tahun, mereka menggelar “Festival Kampung Dayak Tomun” mulai 15 hingga 17 Agustus. Berbagai jenis permainan tradisional dilombakan seperti menjanta, bagasing, balogok, surung pinang hingga kontes memasak. Sepanjang kegiatan, tarian khas Dayak Tomun yang diiringi musik tradisional juga ditampilkan.

Menjanta adalah kegiatan memanjat pohon besar untuk mencari madu. Dilakukan menggunakan janta, potongan-potongan kayu ulin yang dipukul seraya ditancapkan pada batang pohon besar. Janta-janta yang tertempel pada pohon besar itu dijadikan pijakan kaki saat hendak naik ke atas pohon. Beberapa orang mengikuti perlombaan ini. Silih berganti menaiki pohon jelomu yang diameternya mencapai delapan meter dengan ketinggian lebih 30 meter. Usia pohon itu diperkirakan lebih dari 150 tahun.

“Manjanta untuk mencari madu ketika musim buah. Sebelumnya, kami melakukan ritual adat, memohon kepada sang pencipta untuk keselamatan kami. Ini tradisi nenek moyang kami,” ujar Mantir Adat Desa Kubung, Tirbong.

Pada musim buah, mencari madu biasanya dilakukan malam hari. Hal ini untuk menghindari gigitan atau serangan lebah. Sarang madu biasanya dibakar menggunakan api. Tirbong mengatakan, dewasa ini kuantitas madu semakin menurun. “Dulu, satu sarang bisa menghasilkan 20 liter madu. Sekarang, satu sarang hanya lima liter. Ini karena hutan sudah banyak gangguan.”

Pohon madu memang sangat berharga bagi mereka. Ada hukum adat yang berlaku, siapa saja yang menebang pohon madu sembarangan, akan dikenakan sanksi. “Besaran denda akan dirembug bersama damang adat. Tak hanya pohon madu, kalau ada yang menebang pohon lainnya sembarangan, bisa dikenakan sanksi,” katanya.

Kesulitan lain, menurut salah satu warga Desa Kubung, Selo Duka, adalah dalam hal memasarkan madu dan hasil kebun. Akses jalan yang sulit jadi penghambat, selain harga yang tidak menentu. Madu misalnya, satu liter hanya Rp100 ribu. Padahal, di kota besar harganya mencapai Rp150 – 250 ribu per liter. Sedangkan karet, harganya berkisar Rp3.500 per kilogram, padahal harga normal Rp10.500 per kilogram. “Untuk tanaman lain, kami menjual murah ke tengkulak, karena tidak ada pilihan,” tambahnya.

 

Menjanta merupakan kegiatan memanjat pohon besar untuk mencari madu. Dilakukan menggunakan janta, potongan-potongan kayu ulin yang dipukul seraya ditancapkan pada batang pohon besar. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Dukungan

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono mengatakan, pihaknya turut mendampingi warga Dayak Tomun. Dari 10 desa dan satu kelurahan di Kecamatan Delang, dua desa sudah dilakukan pemetaan partisipatif. Yakni Desa Kubung dan Sekombulan.

“Pemetaan selanjutnya di Desa Riam Panahan, Sepoyu, dan Penyombaan.”

Dimas mengatakan, dengan mendukung “Festival Kampung Dayak Tomun”, pihaknya ingin mendokumentasikan apa yang menjadi adat istiadat masyarakat. Terutama dalam hal mengelola sumber daya alam dan lingkungan. “Sampai saat ini hutan adat mereka terjaga. Tapi, ancaman terus ada. Untuk menyelamatkan ini, pemerintah harus segera mengakui hak adat masyarakat.”

Mempercepat proses pemetaan di desa lainnya di Kecamatan Delang, bukan pekerjaan mudah. Keterbatasan dana, SDM dan waktu, merupakan penghambat. Andai pemetaan sudah dilakukan, perlu dikuatkan produk hukum yang jelas dari sisi pemerintah. Menerbitkan Perda pengakuan masyarakat adat Dayak Tomun misalnya, yang hingga saat ini belum ada.

“Kemerdekaan akan terasa ketika mereka bebas mengelola lingkungan hidup dan hutan secara lestari, sesuai kearifan lokal mereka. Sebab, masyarakat adat tak akan bisa disebut masyarakat adat ketika hutannya hilang,” tuturnya.

Muhamad Habibi, aktivis SOB (Save Our Borneo) mengatakan, kesadaran masyarakat menjaga hutan mereka sudah tinggi. Ini terbukti dengan reaksi penolakan yang mereka lakukan saat rencana investasi ekstraktif muncul.

“Masyarakat sadar, hutan penting bagi kehidupan mereka. Selain penguatan dari sisi pengakuan atas wilayah kelola, mereka perlu juga diperkuat dari sisi ekonomi. Pelatihan bercocok tanam dan bagaimana mengemas hasil perkebunan yang baik perlu dilakukan juga.”

Frans Sani Lake, Koordinator JPIC (Justice, Peace, Integrated Creation) Kalteng mengatakan, masyarakat adat dayak terkenal sebagai penjaga hutan yang baik. Tapi, kehidupan mereka makin tergerus laju deforestasi. Hutan sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan mereka rusak, berganti industri ekstraktif.

“Dengan menjaga hutan, mereka juga menjaga budaya asli mereka. Masyarakat adat tak akan bisa dipisahkan dari hutan. Seperti permainan-permainan tradisional yang mereka jaga dan dilombakan dalam “Festival Kampung Dayak Tomun” ini. Jika hutan habis, permainan tradisional mereka juga akan hilang,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,