Subsidi Solar Tidak Tepat Sasaran, Pencabutan Subsidi Jadi Solusi?

Wacana penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang selama ini dinikmati nelayan skala kecil di seluruh Indonesia ditolak keras oleh sejumlah pegiat dan kritikus sektor kelautan dan perikanan. Wacana yang dilontarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tersebut, dinilai tidak rasional dan tidak tepat sasaran jika dilaksanakan.

Di antara yang menolak wacana tersebut, adalah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tersebut menolak, karena nelayan kecil yang ada saat ini dinilai belum mampu untuk membeli BBM non-subsidi. Padahal, jumlah nelayan kecil yang ada saat ini diperkirakan jumlahnya mencapai dua juta orang lebih.

“Situasi dan kondisi ekonomi nelayan tradisional skala kecil tidaklah sama merata bagi sekitar lebih, sementara masalah distribusi BBM yang berulang terjadi tidak pernah diperbaiki,” ungkap dia di Jakarta belum lama ini.

 

 

Dengan kondisi seperti itu, Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata menilai, apa yang diungkapkan Susi Pudjiastuti yang ingin menghapus subsidi BBM untuk nelayan kecil, adalah bentuk kemunduran bagi perwujudan kesejahteraan dan perlindungan konstitusional nelayan kecil yang berhak mendapatkan perlakuan khusus.

Menurut Marthin, jika subsidi solar dihapus, maka itu jelas akan memberatkan ongkos produksi nelayan skala kecil yang melaksanakan kegiatan produksi perikanan tangkap di seluruh Indonesia. Hal itu mengingat, BBM solar selama ini memakan ongkos produksi hingga 70 persen dari ongkos keseluruhan.

“Dengan mencabut subsidi BBM biaya produksi akan meningkat. Sementara itu Pemerintah hingga hari ini belum pernah menyelesaikan masalah terkait akses pasar berikut informasi harga jual komoditas ikan hingga melakukan peningkatan kapasitas untuk pengolahan pasca produksi,” jelas dia.

Marthin menyebutkan, permasalahan yang selalu muncul berkaitan dengan BBM bersubsidi, adalah sulitnya melaksanakan distribusi hingga menjangkau kepada nelayan yang tepat sasaran di seluruh Indonesia. Terutama, mereka yang tinggal di kawasan terdepan dan pulau-pulau kecil.

Melihat fakta tersebut, Marthin meminta Susi Pudjiastuti untuk berpikir kembali dalam melontarkan wacana kebijakan untuk nelayan. Terlebih, jika persoalannya karena selama ini banyak nelayan besar yang menikmati BBM bersubsidi, maka penghapusan subsidi jelas akan merugikan nelayan kecil yang sangat memerlukan subsidi tersebut.

“Itu adalah langkah yang tidak pintar dan gegabah dalam menelurkan kebijakan,” tegas dia.

 

Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar

 

Di sisi lain, Marthin mengungkapkan, upaya Pemerintahan untuk melaksanakan program konversi BBM dari solar ke bahan bakar gas (BBG), pada kenyataannya juga berjalan lambat dan tidak sesuai dengan rencana. Hal ini, utamanya bisa dilihat dari proses konversi menuju BBG yang tidak dapat diakses dengan mudah oleh nelayan dan cenderung tidak transparan.

“Selain itu, informasi berkaitan dengan program konversi BBM menuju BBG juga pada kenyataannya tidak diketahui oleh nelayan, khususnya nelayan tradisional skala kecil yang selama ini mendominasi kapal perikanan di seluruh Indonesia,” tandas dia.

Oleh itu, Marthin mengatakan, untuk mengurai permasalahan tersebut, utamanya memecahkan persoalan distribusi BBM subsidi untuk nelayan, KNTI merekomendasikan empat hal untuk Pemerintah, yaitu:

  1. Melakukan pelibatan organisasi nelayan dan secara bertahap memfasilitasi pembentukan koperasi nelayan untuk memperbaiki masalah distribusi BBM;
  2. Memfasilitasi pembangunan Solar Pack Dealer Nelayan (SPDN) mini untuk nelayan dengan armada tidak lebih besar dari atau kurang dari 10 GT di kampung-kampung nelayan dan tempat pelelangan ikan (TPI). Upaya ini untuk menjawab masalah penggunaan BBM bersubsidi yang dinikmati oleh kapal perikanan skala besar;
  3. Penentuan lokasi pembangunan SPDN untuk nelayan harus dilakukan secara partisipatif, termasuk kelembagaan pengelolaannya; dan
  4. Melakukan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi terhadap kapal-kapal perikanan skala besar diatas atau kurang dari 10 GT untuk tepat sasaran sesuai dengan skala usaha penangkapan.

 

Kegagalan Negara

Kritikan tajam tentang wacana penghapusan subsidi BBM solar untuk nelayan juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurut dia, wacana tersebut menjadi lambang kegagalan Negara dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“UU tersebut telah memandatkan kepada Pemerintah untuk segera memberikan perlindungan dan pemberdayaan, khususnya bagi nelayan kecil di bawah 10 GT dalam penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan,” ungkap dia.

Keberadaan fasilitas tersebut, kata Susan, menjadi vital karena nelayan sangat memerlukannya untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan kepastian usaha yang berkelanjutan. Untuk mencapai itu, salah satunya adalah diperlukan ketersediaan bahan bakar dan sumber energi lainnya yang dapat dijangkau oleh nelayan kecil.

Berkaitan dengan alasan wacana pencabutan subsidi BBM yang dilontarkan Susi Pudjiastuti karena banyaknya pengusaha skala besar yang ikut menikmati, kata Susan itu juga tidak beralasan. Seharusnya, jika memang terjadi demikian, Pemerintah memperbaiki tata kelolanya dan bukan mencabut subsidinya.

“Jika dicabut, maka itu akan mengorbakan jutaan nelayan kecil yang sangat membutuhkan bahan bakar bersubsidi,” tutur dia.

 

Aktivitas nelayan di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur. Foto : Themmy Doaly

 

Susan memperkirakan, jika wacana pencabutan subsidi BBM solar jadi dilaksanakan, maka itu mengancam keberlangsungan usaha nelayan skala kecil yang ada di seluruh Indonesia. Jika itu terjadi, maka bisa dipastikan akan banyak nelayan kecil yang gulung tikar dan bahkan kemudian berhenti menjadi nelayan karena nasibnya semakin tidak jelas.

Lebih lanjut Susan menjelaskan, untuk memecahkan persoalan adanya kapal berskala besar menggunakan solar bersubsidi, maka Pemerintah harus mengkaji ulang Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2014. Dalam aturan tersebut, kapal berbobot 30 gros ton (GT) diperbolehkan membeli solar bersubsidi.

“Adanya Permen ini kerap dijadikan celah bagi pengusaha perikanan untuk menggunakan solar bersubsidi,” ucap dia.

Selain evaluasi peraturan, Susan menyebutkan, langkah berikutnya yang bisa diambil oleh Pemerintah, adalah menerbitkan peraturan tentang peruntukkan solar subdisi bagi nelayan kecil atau maksimal kapal berbobot 10 GT.

“Ketiga, bisa juga Pemerintah memecahkan persoalan dengan membangun prasarana pengisian bahan bakar di wilayah nelayan kecil sesuai dengan mandat UU No 7 Tahun 2016. Terakhir atau keempat, dilakukan pendataan dan membuat kerja sama dengan nelayan kecil dalam distribusi solar bersubsidi,” tandas dia.

 

Hentikan Wacana Pencabutan

Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menanggapi pernyataan Susi Pudjiastuti, mengaku kecewa karena wacana pencabutan subsidi keluar dari mulut Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut. Menurutnya, pernyataan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah tidak berpihak kepada nelayan kecil.

Oleh itu, Ono meminta Susi untuk segera menghentikan wacana tersebut dan menjelaskan kepada publik bahwa akan dicarikan jalan keluar yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut. Dengan cara tersebut, nelayan kecil akan tetap bisa mendapatkan subsidi dan pengusaha juga akan paham posisinya seperti apa.

Sementara, Menteri ESDM Iganisus Jonan mengaku sudah mendengar pernyataan dari Susi tersebut. Tetapi, sebagai institusi Negara, pihaknya akan menunggu surat resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan berkaitan dengan permintaan pencabutan subsidi solar untuk nelayan.

“Saya nunggu surat resmi dari Bu Susi deh ya,” ucap dia.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mewacanakan tentang pencabutan subsidi solar untuk nelayan, saat menghadiri sebuah acara di kantor PT Pertamina. Di hadapan petinggi badan usaha milik Negara (BUMN) tersebut, Susi meminta Menteri ESDM untuk mencabut subsidi solar.

“Selama ini banyak nelayan kecil yang tidak mendapatkan subsidi solar. Subsidi tersebut justru banyak dinikmati oleh pengusaha yang mengoperasikan kapal-kapal besar,” ujar dia.

Melihat kondisi tersebut, Susi menilai jika subsidi solar menjadi rancu karena nelayan yang harus menerima justru tidak mendapatkannya. Sementara, nelayan atau pengusaha besar yang seharusnya tidak mendapatkan subsidi, justru mendapatkannya.

“Cabut subsidi yang penting solar ada dimana-mana, yang penting bapak (Direktur Utama Pertamina) janji harus ada solar,” tegas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,