Perairan di sekitar Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat selama ini dikenal sebagai kawasan utama habitat asli kerang mutiara Indonesia jenis Pinctada maxima. Kerang tersebut dikenal dengan keindahannya dan menjadi kerang unggulan untuk pasar internasional. Oleh itu, di pasar internasional dikenal sebagai The Queen of Pearl atau ratunya mutiara.
Sebagai kerang yang diminati pasar internasional, kerang Pinctada maxima selalu menjadi incaran para pembudidaya ikan di Indonesia, terutama di NTB dan sekitarnya. Untuk memproduksi kerang tersebut, para pembudidaya biasanya mengambil langsung dari alam alias dari perairan Lombok.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto, kebiasaan mengambil dari alam membuat ketersediaan kerang tersebut mulai mendapat ancaman. Fakta itu, semakin kuat setelah banyak perusahaan pembenih mutiara yang mulai mengalami kesulitan mendapatkan sumber induk di dalam.
“Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi keberlanjutan bisnis mutiara di Indonesia,” ujar dia di Jakarta belum lama ini.
Agar keberlangsungan bisnis mutiara terus terjaga, Slamet mengungkapkan, perlu ada upaya pengisian kembali (restocking) induk mutiara di alam. Cara tersebut, mendesak dilakukan agar keseimbangan stok mutiara di alam bisa tetap terjaga dengan baik.
“Apalagi saat ini mulai terjadi penurunan ketersediaan induk kerang mutiara di alam akibat penangkapan yang over eksploitatif,” ungkap dia.
Slamet mengatakan, saat ini ketersediaan stok induk kerang mutiara di alam semakin sulit didapatkan. Hal itu, kemungkinan besar karena selama ini pengembangan pembenihan kerang mutiara lebih banyak mengandalkan indukan dari alam.
“Ini berbahaya untuk kelangsungan spesies. Oleh karenanya, kami mulai dorong UPT (unit pelaksana teknis) untuk melakukan pembenihan kerang mutiara, dimana peruntukannya lebih besar untuk kepentingan restocking,” jelas dia.
Selain dilakukan oleh UPT, Slamet meminta pembenihan kerang mutiara juga dilakukan oleh swasta dan itu bisa dilakukan di seluruh perairan potensial yang ada di Indonesia. Dorongan tersebut diberikan, karena dia melihat swasta harus ikut bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan di perairan Indonesia.
“Budidaya ini satu-satunya penyangga sumber daya keluatan dan perikanan, ke depan tidak bisa terus menerus mengandalkan eksploitasi sumber pangan dari alam,” tutur dia.
Terpisah, Kepala Badan Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lombok Mulyanto mengatakan, program restocking memang sudah menjadi program prioritas untuk saat ini, terutama di wilayah kerja BBPBL Lombok. Program tersebut dilaksanakan, salah satunya untuk menjamin kelestarian stok kerang mutiara di alam.
Menurut Mulyanto, buah kerja keras dari program tersebut, BBPBL Lombok kini sudah mampu mengembangkan kerang abalone yang bernilai ekonomi tinggi. Kerang yang disukai pasar internasional itu, akan digenjot produksinya untuk memenuhi keperluan restocking di alam.
Selain Abalone, Mulyanto mengungkapkan, pihaknya juga fokus untuk mengembangkan pembenihan kerang mutiara jenis Pinctada maxima yang juga disukai pasar internasional karena kualitas dan keindahannya.
“Kita akan jaga nama besar Lombok sebagai habitat asli kerang mutiara jenis Pinctada maxima ini, dengan menjaga kelestarian stok di alam. Disamping tentunya upaya restocking ini akan secara langsung membantu perekonomian masyarakat setempat,” jelas dia.
Program Prioritas
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebelumnya mengatakan, program restocking harus menjadi kegiatan prioritas yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Budidaya. Menurutnya, melalui restocking, keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia bisa dijaga dengan baik. Selain itu, program tersebut bisa mengatasi kelangkaan sejumlah spesies ikan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia.
“Kita harus jadikan prioritas program restocking, selain kita juga harus hentikan secepat mungkin upaya eksploitasi sumber daya ikan, terutama bagi komoditas yang terancam,” ucap dia.
Sebagai komoditas andalan, Susi mengakui kalau eksploitasi kerang mutiara jenis Pinctada maxima dari waktu ke waktu semakin tak terbendung. Agar kelangkaan tidak terjadi, menurutnya perlu ada tindakan lebih cepat melalui program restocking benih di alam.
Salah satu pelaku usaha budidaya kerang mutiara di Dusun Gili Geting, Kabupaten Lombok Barat, Ahmad Efendi, secara terbuka mengakui kalau berbisnis kerang mutiara dari Lombok sangatlah menjanjikan. Dalam sebulan, kata dia, keuntungan bersih yang bisa diraup besarnya mencapai Rp9 juta.
Keuntungan itu bisa diraih, menurut Ahmad, karena dia melakukan pemeliharaan kerang mutiara selama 12 bulan dengan berat mencapai ukuran spat 6 hingga 8 sentimeter. Dengan usaha yang menjanjikan tersebut, dia berharap dukungan dari Pemerintah terus ada, baik dari regulasi maupun hal yang lainnya.
Slamet Soebjakto menanggapi hal tersebut, mengaku sudah meminta timnya untuk menjamin kualitas produk mutiara. Salah satu langkah yang diambil, adalah dengan mendorong kegiatan pemuliaan induk. Upaya tersebut, antara lain melalui selective breeding dengan memfokuskan pemilihan induk dari berbagai multi lokasi untuk menghasilkan galur induk yang unggul.
“Kita dorong BBPBL Lombok dan BPIUK Karangasem untuk bertanggung jawab dalam menghasilkan induk kerang mutiara berkualitas. Dengan demikian, ke depan tidak lagi andalkan dari tangkapan alam,” tegas dia.
Salah satu program restocking yang dilakukan di Lombok, adalah pelepasan 15 ribu ekor spat kerang mutiara jenis Pinctada maxima di perairan sekitar Gili Kondo, Desa Padak Guar, Kabupaten Lombok Timur beberapa waktu lalu. Kerang-kerang tersebut, adalah hasil pembenihan buatan yang dilakukan BBPBL Lombok.
Kegiatan pelepasan puluhan ribu ekor spat kerang mutiara tersebut, melibatkan kelompok masyarakat lokal yang tergabung dalam Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL) kawasan Sambelia.
Bernilai Tinggi
Tingginya potensi kerang mutiara, dipertegas oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis data nilai perdagangan mutiara asal Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir dari 2012 hingga 2016. Selama periode tersebut, transaksi perdagangan kerang mutiara terus terlihat positif dan mencapai kenaikan rerata nilai ekspor sebesar 2,6 persen.
Menurut BPS, pada 2016 nilai ekspor mutiara Indonesia sudah mencapai angka USD15,16 juta atau setara Rp200 miliar. Nilai tersebut sudah cukup menempatkan Indonesia di kelompok negara produsen utama mutiara jenis south sea pearl. Dalam memasarkan mutiara, Indonesia sebagian besar mengirim ke Jepang atau mencapai 94 persen dari total ekspor mutiara.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Asosiasi Budidaya Mutiara (ASBUMI) Raditya Poernomo menjelaskan, saat ini ada sekitar 32 perusahaan budi daya mutiara yang masih aktif dan tergabung di Asbumi yang terdiri dari PMA dan swasta nasional. Menurutnya jumlah ini cenderung turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Agar daya saing mutiara jenis south sea pearl tidak mengalami penurunan, Slamet Soebjakto menyebut, pihaknya terus berupaya untuk menaikan daya saing mutiara jenis tersebut asal Indonesia di pasar internasional. Upaya itu, antara lain dengan mencegah ekspor illegal SSP ke luar negeri, menolak mutiara impor tak sesuai SNI, dan gencar melakukan promosi untuk menaikan citra SSP asal Indonesia.
“Di hulunya, KKP mengatur zonasi untuk memastikan aktivitas budi daya tidak berbenturan dengan sektor lain, menjamin keamanan berusaha dan iklim investasi yang kondusif, dan melakukan konservasi terhadap ketersediaan stok induk SSP di alam,” tandas dia.