Mengenal Lumpur Manis, Obat Warisan Leluhur Orang Marind

 

Lumpur manis. Begitu sebutan lumpur dari Merauke, Papua, yang dikenal warga sebagai obat alami warisan turun menurun Orang Marind. Ia lumpur tak sembarang lumpur. Keberadaan lumpur ditandai warga berada pada lokasi-lokasi dengan ciri-ciri tertentu.

Lukas Ndiken, Tetua Adat Marga Ndiken mengatakan, cara mendapatkan lumpur manis hanya bisa di daerah rawa cukup luas dan yang paham lokasi paling tepat adalah perempuan.  Lokasi paling bagus, katanya, bila masih ada batang pohon tertancap di tepian rawa.

Sejak dulu, katanya, leluhur sudah mengenal lumpur ini sebagai obat diare. Meskipun bernama lumpur manis, tetapi rasanya tak manis. “Mereka yang makan lumpur ini beberapa waktu saat lemas karena kurang cairan usai makan pasien langsung berdiri,” katanya.

Lumpur ini dalam bahasa lokal disebut ndave yang biasa ditemukan di kayu roboh. Tetapi, katanya, tak semua lumpur dekat kayu roboh mengandung lumpur manis ini. “Tidak sembarangan tanah diambil,” kata Lukas.

Warga biasa mengambil lumpur lalu bungkus dengan kulit kayu (orang Kampung Wasur sebut kayu bus), atau melaluica sp. Lumpur dibawa pulang ke kampung dan dijemur terlebih dahulu. Setelah kering, dipotong-potong sesuai selera—biasa kotak-kotak–lalu masukkan plastik. Lumpur mereka jual perbungkus Rp1.000-an.

Selama ini, kata Lukas, konsumsi lumpur manis ini tak pernah ada dampak buruk pada pasien, tetapi jangan makan banyak-banyak. Kala makan lumpur manis, harus dibarengi minum air banyak.

“Makan lumpur ini, jangan kebanyakan. Makan terlalu banyak, harus dibarengi minum air banyak biar tak susah buang air besar.”

Uniknya, lumpur juga bisa buat memperlancar buang air besar. Kala, diare, makan lumpur buat meredakan, saat sembelit berfungsi melancarkan buang air besar.

Ada juga lumpur lain yang bisa dimakan disebut tolwo, dan mbewen. Keduanya dikenal sebagai obat cacing dan mbewen dianggap lebih berkhasiat. “Bila sakit perut mendadak, makan mbewen karena cacing besar pasti keluar dari tubuh.”

Elisabeth Tekege, perawat di Puskesmas Pembantu (Pustu) Wasur senang bila dia mendengar warga tak perlu ke puskesmas lagi untuk berobat. “Biasa gawat darurat baru mereka antar ke Puskesmas,” katanya.

Selama sebulan, dia jarang menemukan pasien diare maupun sulit buang air besar. Menurut pengalaman, sebulan paling tinggi sembilan pasien di Kampung Wasur. Persediaan obat diare maupun sembelit selalu ada.

 

Lumpur manis, setelah kering, dipotong kotak-kotak. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Mekipun warga dengan keluhan sembelit atau diare jarang, tetapi dia baru mendengar ada lumpur manis sebagai obat warisan leluhur.

“Informasi bagus, tetapi perlu penelitian lagi. Selama bertugas di Pustu Wasur Tekege, baru dengar.”

Saya mencoba berjalan ke salah satu kios di Jl. Trans Papua, di pinggir Kampung Wasur. Lumpur manis tampak djual disana.

Mas Kumo, pemilik kios asal Jawa mengatakan, belum lama mendengar ada lumpur manis. Sebagai orang luar, dia hanya tahu ada lumpur manis dijual di kios-kios  di Pasar Mopah, Merauke. Diapun ikut menjual.

Gerardus Anggojai, Sekretaris Dinas Kesehatan Merauke, juga baru mendengar lumpur manis ini. Bagi dia, tak masalah ada obat-obatan baik dari daun, kayu sampai lumpur. “Ini tergolong dalam pengobatan tradisional.”

Penduduk Marind, katanya, punya potensi alam dan kearifan lokal luar biasa, termasuk lumpur manis yang diyakini bisa untuk obat diare. “Boleh saja memakai lumpur manis, tetapi perlu penelitian lagi untuk tahu kandungan tanah itu.”

 

Lukas Ndiken, Tetua Adat Marga Ndiken. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,