Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal?

Pembangunan pulau terdepan yang diklaim Pemerintah Indonesia sebagai etalase Nusantara, hingga kini berjalan sangat lambat. Padahal, pembangunan pulau-pulau terluar sudah dimulai sejak 2005 lalu atau 12 tahun lalu. Akibat kondisi tersebut, hingga saat ini masalah kemiskinan dan disparitas sosial masih terus terjadi di kawasan tersebut.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Mohamad Abdi Suhufan di Jakarta belum lama ini mengatakan, pembangunan fisik di kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan hingga saat ini dinilai masih terlalu jauh perkembangannya. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah berjanji bahwa pembangunan Indonesia di masa kepemimpinannya akan dimulai dari pesisir.

“Komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan pulau-pulau kecil terluar masih mengalami kendala karena keterbatasan infrastruktur dan tingginya angka kemiskinan,” ungkap dia.

 

 

Selain kendala tersebut, Abdi menjelaskan, lambatnya pembangunan juga karena perencanaan dan anggaran pembangunan pulau-pulau kecil terdepan berpenduduk oleh Kementerian dan Lembaga Negara masih belum fokus pada upaya mengatasi masalah mendasar di pulau-pulau tersebut. Padahal, pada 2017 ini Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan berupa Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau Kecil Terluar.

“Terbitnya Keppres seharusnya bisa menjadi momentum bagi Negara untuk melakukan perbaikan pengelolaan pulau kecil terdepan di perbatasan Negara. Kenyataannya, implementasi peraturan tersebut hingga saat ini belum terlihat bagus,” ucap dia.

Dalam Keppres No 6 Tahun 2017, menurut Abdi, Pemerintah resmi menambahkan jumlah pulau kecil terdepan dari 92 menjadi 111. Dengan demikian, pulau kecil terdepan bertambah sebanyak 19 pulau pada 2017 ini. Penetapan 92 pulau sendiri dilakukan Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 278 Tahun 2005.

Abdi menjelaskan, keterlambatan yang masih berlangsung dalam pembangunan pulau kecil terdepan, mengakibatkan penyediaan kebutuhan dasar seperti sarana dan prasarana infrastruktur dan ekonomi masih berjalan di tempat. Dengan kata lain, pembangunan yang sudah berjalan selama 12 tahun, belum memecahkan persoalan kemiskinan yang menjadi stigma kuat untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan.

Menurut Abdi, angka kemiskinan masyarakat di pulau kecil terluar hingga saat ini masih sangat tinggi yaitu mencapai 35 persen. Angka tersebut masih jauh di atas angka kemiskinan nasional yang kini tinggal 10,64 persen saja. Tak hanya itu, dia menambahkan, saat ini sekitar 8 (delapan) pulau masih belum terlayani sarana telekomunikasi.

Abdi mencontohkan, akibat buruknya sarana telekomunikasi, di pulau Liran yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, masyarakat lokal terpaksa masih mengandalkan telekomunikasi menggunakan fasilitas perusahaaan telekomunikasi asal Timor Leste. Dengan kondisi itu, jumlah penduduk di pulau terdepan seperti pulau Liran, dari waktu ke waktu terus menyusut.

“Pada tahun 2016 lalu jumlah penduduk di pulau-pulau kecil terluar berpenduduk sebanyak 305.596 jiwa,” tutur dia.

 

Pelabuhan Kaiwatu di Pulau Moa yang menjadi terdapat kota Tiakur, ibukota kabupaten Maluku Barat Daya, propinsi Maluku. Beberapa pulau terluar pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar masuk wilayah kabupaetn Maluku Barat Daya. Foto : imamtrihatmadja-journal.com/Mongabay Indonesia

 

Ego Pembangunan

Buruknya pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Abdi, disebabkan karena Pemerintah tidak memiliki cetak biru (blue print) atau desain khusus pembangunan pulau-pulau kecil terdepan. Ketiadaan cetak biru tersebut, mengakibatkan perencanaan yang dilakukan banyak yang salah kaprah.

“Pemerintah tidak menetapkan satuan unit pembangunan pulau terluar pada skala apa, apakah provinsi, kabupaten, kecamatan atau desa, sehingga masing-masing Kementerian melakukan intervensi sesuai dengan pemahamannya masing-masing,” jelas dia.

Mengingat ada ego pembangunan yang sama besar antara satu pihak dengan pihak yang lain, Abdi meminta Pemerintah untuk mendorong dilakukan pengawasan dalam pemanfaatan dana desa yang sudah dialokasikan untuk desa-desa kecil di pulau terdepan. Pengawasan perlu dilakukan, karena saat ini ada potensi anggaran pembangunan sebesar Rp525 miliar untuk 350 desa di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan.

“Mengingat kapasitas aparat desa, akses informasi yang terbatas dan minimnya tenaga pendamping desa, maka perlu ada strategi khusus untuk memastikan dana desa tersebut digunakan untuk membantu masyarakat pulau terluar agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan,” papar dia.

 

Pulau Sambit, salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Foto : panoramio.com/Mongabay Indonesia

 

Abdi menjelaskan, berdasarkan Kepres 6/2017 saat ini Indonesia memiliki 111 pulau kecil terdepan. Dari 111 pulau tersebut, terdapat 42 pulau berpenduduk dan 69 pulau tidak berpenduduk. Pulau kecil terluar tersebut tersebar di 18 provinsi, 27 kabupaten, 57 kecamatan dan sekitar 350 desa. Berdasarkan Perpres 78/2005 terdapat 17 Kementerian/Lembaga yang diberi tugas untuk berkoordinasi dan melakukan intervensi pembangunan di pulau-pulau kecil terluar.

Untuk penanganan perbatasan sendiri, pada 2015 lalu Presiden Jokowi sudah memberikan instruksi agar semuanya dilakukan pada empat Kementerian yaitu : Kementerian Pertahanan, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Buruknya pembangunan yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman, bisa terjadi karena Pemerintah belum bisa membedakan strategi pembangunan perbatasan Indonesia yang berbasis darat dan laut atau pulau-pulau kecil.

“Penelitian kami di pulau kecil terluar berpenduduk, menemukan bahwa kemiskinan yang terjadi dikarenakan keterbatasan akses dan minimnya pilihan hidup masyarakat. Beberapa pulau kecil di Maluku Barat Daya seperti pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar dilayani dengan sarana transportasi laut yang terbatas,” jelas dia.

Minimnya sarana transportasi laut, kata Subhan, terlihat dari pelayanan kapal reguler milik Pemerintah yang tidak memiliki jadwal tetap keberangkatan. Kondisi itu, membuat masyarakat tidak memiliki kepastian dan itu menyebabkan biaya menjadi tinggi dan investor enggan datang ke pulau kecil terluar.

“Dari sisi transportasi udara, karena kendala teknis, maskapai penerbangan tidak mau mengangkut hasil laut seperti ikan, udang dan lobster dari ibukota kabupaten ataupun kawasan pesisir lainnya,” kata dia.

Agar persoalan tersebut bisa dipecahkan, Subhan meminta Negara untuk hadir di pulau terdepan dengan fokus memperbaiki penyediaan sarana transportasi, telekomunikasi, dan membangun infrastruktur yang saling terhubung. Pemerintah, sambung dia, perlu memastikan bahwa program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertujuan untuk membangun infrastruktur yang terhubung antara ibu kota kabupaten dengan pulau kecil terluar.

 

Suasana pelabuhan di Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016. KKP sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Natuna untuk mendorong perekonomian dari sektor perikanan laut. Foto : M Ambari

 

Industri Pesisir

Di saat pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan berjalan di tempat, Pemerintah justru melakukan eksploitasi kawasan tersebut melalui pengembangan pariwisata yang didesain untuk menjadi kawasan unggulan di masa mendatang. Proyek pengembangan tersebut, dibuat dengan menggunakan dana yang berasal dari utang luar negeri.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, pembangunan yang masuk dalam Proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) itu bisa mengancam kehidupan masyarakat pesisir. Tak hanya itu, pembangunan juga dipastikan akan menambah beban utang luar negeri.

“Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, dana yang dibutuhkan untuk proyek 10 destinasi wisata prioritas beserta infrastruktur pendukungnya mencapai lebih dari Rp132 triliun,” jelas dia.

Salah satu proyek yang masuk dalam KSPN, kata Susan, adalah pembangunan kawasan terpadu Mandalika yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat. Proyek wisata paling mutakhir tersebut, digadang-gadang akan menyaingi Bali karena memiliki keindahan wisata laut dan juga kelengkapan alam di darat dan budayanya.

Menurut Susan, meski akan mendatangkan banyak uang untuk Negara, namun dia meminta Pemerintah untuk bisa menjamin keberlangsungan warga yang tinggal di kawasan tersebut. Jika itu tidak dilakukan, maka ancaman kehilangan tempat tinggal akan terjadi lagi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Kita bisa belajar dari tergusurnya 109 Kepala Keluarga di Gili Sunut, Lombok Timur dimana mereka telah kehilangan tempat mencari nafkah hanya karena wilayah mereka mau dibuat area pariwisata. Bisa dibayangkan proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ini berpotensi melakukan hal yang sama; perampasan ruang,” tutur dia.

Proyek KSPN sendiri, kata Susan, khususnya yang dibangun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil , itu bertentangan dengan sejumlah peraturan seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kemudian, Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 Tahun 2010 tentang Larangan Privatisasi dan Komersialisasi Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil.

“Dan ada juga UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,