Pagi itu, di tengah Kota Medan, Sumatera Utara, di Taman Ahmad Yani, terlihat puluhan pelajar taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga SMP, mulai memadati area olahraga dan taman belajar, Minggu (20/8/17).
Hari itu, Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre (YOSL–OIC) tergabung dalam Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus), menggelar rangkaian peringatan Hari Orangutan Internasional, yang berlangsung tiap 19 Agustus.
Di sana, ada lomba mewarnai dan pagelaran lomba bercerita tentang orangutan. Anak-anak antusias. Mereka hadir sebelum acara mulai.
Banyak pengetahuan didapat para pelajar tentang orangutan Kalimantan dan Sumatera terutama di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). OIC juga cerita tentang empat satwa kunci di TNGL, yaitu orangutan, badak, gajah dan harimau Sumatera. Mereka termasuk satwa langka dilindungi.
Pada 2016, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerjasama dengan Forum Orangutan Indonesia (Forina) beserta Forum Orangutan Regional serta para pihak menganalisis kelangsungan hidup populasi dan habitat (population and habitat viability analysis/PHVA).
Hasil PHVA itu, diperkirakan ada 71.820 orangutan tersisa di Sumatera dan Kalimantan, Sabah dan Serawak di habitat seluas 17.460.600 hektar. Mereka tersebar dalam 52 meta populasi dan hanya 38% akan lestari dalam 100-500 tahun ke depan.
Panut Hadisiswoyo, Direktur YOSL–OIC juga Ketua Fokus kepada Mongabay mengatakan, target mereka melibatkan anak-anak karena generasi muda merupakan benteng terakhir penyelamatan satwa maupun keragamanhayati negeri ini.
Dia berharap, bisa menggugah generasi penerus dan memberikan kontribusi dalam pengelolaan kekayaan alam ke depan. Di tangan generasi ini, katanya, bisa membuat perubahan-perubahan positif.
“Bagi saya harapan terakhir menjaga bumi ada di generasi penerus. Yang saat ini sudah banyak kepentingan hingga sulit mengubahnya. Pemerintah sulit diharapkan,” katanya.
Selama ini, TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sudah terfragmentasi jadi perkebunan sawit. Kondisi ini, katanya, makin mempersempit ruang gerak satwa kunci di TNGL, bahkan terancam perburuan, dan terkepung sawit.
Sebenarnya, sepanjang batas TNGL dulu kawasan hutan yang berubah jadi perkebunan, khusus sawit. Sepanjang batas TNGL di wilayah Kabupaten Langkat adalah dataran rendah dan habitat satwa-satwa seperti badak, gajah, harimau dan orangutan Sumatera.
“Sayangnya, dataran rendah mulai TNGL di Bahorok sampai ke Besitang, Langkat, jadi perkebunan sawit,” ucap Panut.
Hari itu, Panut sekaligus meluncurkan buku cerita bergambar berjudul “Tersesat di Kebun,” yang bercerita bagaimana nasib orangutan dengan habitat hancur, hingga tersesat di kebun yang dulu hutan.
Syufra Malina, Communication and Reporting Manager OIC, mengatakan, kurun waktu 100 tahun, orangutan Sumatera berkurang 85%.
“Tak bisa dipungkiri, ekspansi perkebunan khusus sawit jadi faktor utama dari kerusakan hutan Sumatera, otomatis menyebabkan kehilangan habitat dan populasi orangutan.”
OIC memiliki tim Humas Orangutan Conflick Response Unit (HOCRU). Data OIC, pada 2012 tercatat telah evakuasi terhadap orangutan 12 kali, dan tiga penyitaan. Pada 2013, terjadi peningkatan dengan evakuasi 16 orangutan dan 11 penyitaan.
Pada 2014, tim Hocru–OIC 10 kali evakuasi dan tiga penyitaan orangutan. Pada 2015, terjadi peningkatan tajam evakuasi 19 dan 10 penyitaan orangutan, 2016 (18) dan tiga penyitaan orangutan. Pada 2017 hingga Juli, tercatat 12 evakuasi dan dua penyitaan orangutan.