Serunya  Melihat Keluarga Banggai, Ikan Endemik Sulawesi yang Terancam Punah

Beberapa pasang ikan Banggai atau Banggai Cardinal Fish berderet di sejumlah akuarium. Siripnya mencuat keperakan, tubuhnya totol-totol putih bergaris hitam. Mereka seperti bulan madu, karena dalam satu unit hanya ada sepasang. Si jantan ada yang sedang menjaga telur-telur dalam mulutnya. Rahangnya membesar. Sekitar 28 hari, indukan Banggai ini puasa makan demi generasi penerus ikan karang yang hampir langka ini.

Ikan Banggai adalah salah satu yang berhasil dibudidayakan di LINI Aquaculture and Training Centre (LATC), sebuah pusat pelatihan akuakultur oleh Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI) di Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Karena populasinya terancam, ada kampanye bertajuk Save Capungan Banggai.

 

 

Capungan Banggai adalah nama populernya di Sulawesi Tengah, daerah endemiknya. Ikan ini dinilai unik, jantan mengerami telur selama 20 hari dan sampai menetas selama 10 hari. Tak ada fase pelagis membuat rentan dan penyebarannya terbatas. Ditemukan pertama pada 1920, dan 1928 masuk IUCN Red List jenis yang terancam. Nama umumnya Banggai Cardinal Fish, ilmiahnya Pterapogon kauderni, sementara warga menyebut Tem Tumbono atau Bebese Tayung.

(baca : Banggai Cardinalfish, Ikan Asli Indonesia)

Yunaldi, Manajer LATC mengajak berkeliling kawasan pembudidayaan yang didirikan akhir 2014. Untuk mengetahui mana jantan dan betina, ia memantau dulu dalam kelompok besar siapa yang berdua-duaan. Setelah itu keduanya diambil untuk bisa lebih intim di akuarium khusus.

Banggai jantan tidak mau makan, berarti ada indikasi sedang mengerami telur di mulutnya. Dierami sampai menetas kemudian anak-anaknya dipisahkan ke bak lain. Setelah cukup besar dilepaskan ke habitat alamnya. LATC tidak boleh menjual hasil budidayanya langsung ke pasar. “Populasinya makin sedikit di habitat aslinya karena terlalu banyak penangkapan. Nelayan penangkap Banggai pernah ke sini pelatihan budidaya,” kata Yunaldi.

Ada 8 jenis ikan ornamental atau ikan hias di LATC. Paling banyak jenis clownfish atau kini dikenal dengan ikan Nemo 4 jenis. Lainnya Udang Brown Kelly dan Blue Tang atau ikan Dori. Baru Banggai dan Nemo yang berhasil dibudidayakan.

Aneka ikan badut atau nemo juga terlihat dipasang-pasangkan di sejumlah akuarium. Ada clownfish endemik Padang. Ukurannya lebih besar dengan garis kuning. Pengamatan ikan badut juga perlu ketelitian. Yunaldi menjelaskan, misal ada 5 ekor dalam satu grup, pasti ada satu betina. Kalau ada tertangkap atau mati, nanti akan ada yang bertransformasi jadi betina. “Dalam 2 minggu sudah berubah alat reproduksinya,” ujar pria tengah baya ini.

 

Pasangan Banggai, si jantan mengerami telur di mulutnya di area budidaya ikan hias oleh Yayasan LINI, Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di petak lainnya ada Dori, Blue Tang dari Biak. Ikan ini makin populer setelah film animasinya Finding Dori (sekuel Finding Nemo) ditayangkan tahun lalu. Konon baru sebuah universitas di Florida, Amerika Serikat yang berhasil membudidayakan Dori. “Tak bisa menentukan jantan dan betina, kita sampling 4 ekor. Kalau ada yang berhasil, kita juga harus bisa,” Yunaldi termotivasi.
Menurutnya pihak yang berhasil membudidayakan terutama jenis langka tidak akan membagi tipsnya ke publik. Ini terkait dengan bisnis.

LATC memulai budidaya Dori dengan bibit masih warna putih ukuran sekitar 1 cm, sekarang panjangnya 14 cm selama 2 tahun. Harus menunggu sekitar 20 cm untuk siap reproduksi.

Ada cerita kegagalan juga di pembudidayaan Harley Queen atau Udang Brown Kelly. Anakannya sempat menetas tapi mati. Pembesarannya belum berhasil.

“Kita pilih jadi training center jadi tidak bisa banyak produksi,” ujar Yunaldi. Situasi dan kondisi pusat pembudidayaan menurutnya berpengaruh besar. Kalau ramai atau suara lebih bising membatasi pembuahan. Ia mencontohkan, saat Hari Raya Nyepi 4 pasang nemo bertelur. Nyepi adalah perayaan tahun baru Saka umat Hindu di Bali yang ditandai dengan ritual menyepi salah satunya tak boleh bekerja atau keluar rumah.

Hasil budidaya ini sebagian dilepaskan ke taman-taman laut sekitar Buleleng dan pantai depan LATC. Terumbu karang dirawat, ikan hias ditambah, dan nelayan ikan hias masih bisa melaut di kawasan ini.

 

Anakan ikan badut atau dikenal dengan ikan Nemo hasil budidaya di area budidaya ikan hias oleh Yayasan LINI, Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di LATC, tak hanya nelayan pencari ikan hias yang biasanya laki-laki saja dilatih. Juga istri atau perempuan. Misalnya di LATC sedikitnya ada 10 perempuan keluarga nelayan penangkap ikan hias yang terlibat bekerja dalam areal pembudidayaan.

Gayatri Reksodihardjo-Lilley, pendiri Yayasan LINI menyebut ada 20 perempuan yang dilatih, dan 11 orang yang bekerja di LATC. Kesungguhan para perempuan ini menurutnya nampak dari disiplinnya mengisi logbook yang berisi rangkaian aktivitas budidaya. “Mereka mengerti PH, ammonia, tak hanya mengikuti instruksi,” seru Gayatri riang. Ada sejumlah buku yang mencatat waktu, jumlah ikan, berapa yang mati, kadar ammonia, PH, dan lainnya dengaan detail sehingga mudah diidentifikasi.

Kawasan LATC cukup luas dan lengkap dengan sejumlah akomodasi rumah kayu, kebun, dan kolam-kolam akuakultur. Gayatri bersyukur ada pengusaha ikan hias yang tertarik dengan ide budidaya dan pemberdayaan keluarga penangkap ikan hias ini dengan memberikan akses tanah dan bangunannya.

“Warga juga bisa budidaya tak hanya kampus. Masyarakat bisa melihat ada peluang nilai ekonomi tambahan,” kata Gayatri. Namun hingga kini belum ada warga sekitar mencoba budidaya. Risiko kematian memang tinggi, beda jika hanya pembesaran saja.

 

Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni) merupakan jenis ikan yang populer dipelihara di akurium. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

LATC juga membuka kesempatan untuk mahasiswa magang karena pendidikan akuatik tak banyak. Saat ini ada sejumlah mahasiswa dari Universitas Nusa Cendana, NTT dan mahasiswa asing.

Gede Surya Risuhana, 23 tahun, lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Udayana adalah mahasiswa yang tertarik mendalami akuakultur. Awalnya ia mengaku tak tertarik karena fokusnya bukan ikan hias. Ia memelajari pemetaan ikan dan citra satelit. Setelah magang kerja 3 bulan kini perpanjangan. Ia bertugas di Banggai, pendampingan nelayan konservasi ikan karang.

Salah satu keluarga nelayan perempuan yang terlatih adalah Made Sutarini. Ia mengaku belajar kualitas air, amonia, dan lainnya di LATC. “Dulu tidak tahu jenis ikan, sekarang tahu. Tapi budidaya sendiri belum mampu,” kata perempuan muda ini. Kecuali kalau punya bahan-bahan tertentu yang sudah didapatkan di desanya seperti amonia.

 

Survei Banggai

Budidaya ikan Banggai dilakukan sejalan dengan pemantauan di habitatnya. Dikutip dari website LINI, bersama dengan Yayasan Khatulistiwa Alam Lestari (KALI) melakukan survei sejak 2014. Ini adalah ikan akuarium laut yang populer dan telah dieksploitasi untuk pasar luar negeri sejak pertengahan 1990-an.

Survei awal Mei 2017 di 11 lokasi berbeda di sekitar Pulau Banggai: Popisi, Asasal, Bone Baru, Bongo, Kapela, Tolokibit, Monsongan, Tinakin Laut, daerah di sekitar Pulau Peleng (desa Liang, Paisuluno, dan Lumbia-Lumbia). Hasilnya, Popisi memiliki jumlah Bangkai Cardinalfish tertinggi dengan 1910 individu di 1500 m2, kepadatan populasi terendah di Tolokibit, sekitar 108 individu di 1500 meter2.

 

Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni), ikan laut yang dinamakan dari Pulau Banggai, Sulawesi Tengah. Terlihat anakan ikan dalam mulut indukannya. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Hasil survei dipresentasikan ke pertemuan para pemangku kepentingan pada Mei 2017. Tujuannya rencana memasukkan dalam daftar spesies yang dilindungi berdasarkan UU dan beberapa opsi untuk pengelolaan Banggai Cardinalfish. Misalnya penangkapan, pembentukan kawasan konservasi, kuota yang membatasi jumlah ikan yang dipanen, dan ukuran yang diijinkan.

(baca : Banggai Cardinal ditengah Meningkatnya Kepopuleran dan Ancaman Populasinya)

Artikel Mongabay ini memaparkan dampak perdagangan dan upaya pembatasannya di pasar global ttps://www.mongabay.co.id/2016/02/06/banggai-cardinalfish-ditengah-meningkatnya-popularitas-dan-keterancaman-populasinya/

The National Marine Fisheries Services US (NMFS) pada Januari 2016 lalu menerbitkan aturan baru perihal memasukkan spesies ikan hias banggai cardinalfish sebagai spesies “terancam” di bawah Undang-Undang Spesies terancam punah. Langkah ini yang pertama mendaftarkan ikan akuarium laut sebagai spesies langka dari sekitar 28 jenis ikan hias lainnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,