Jalan Budaya Melawan Penambangan Pasir Kali Boyong

 

 

Awal Agustus lalu, ratusan orang mengikuti upacara budaya Merti Kali Boyong, di Dusun Glondong, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Dengan berkeliling dusun, mereka mengarak tumpeng, gunungan berhias hasil bumi, dan patung ular raksasa panjang sekitar 30 meter.

Djiatini, perempuan Glodong berusia 78 tahun berada di rombongan terdepan. Keberanian dan kegigihan dia menolak penambangan pasir di Sungai Boyong, menginspirasi banyak warga ikut menyelamatkan sungai.

Betara Bego Siskala, nama ular raksasa itu. Bego diambil dari kata backhoe atau eksavator, alat berat buat menggali pasir. Sesampai di Sungai Boyong ular raksasa itu dibakar beramai-ramai.

“Membakar Betara Bego Siskala berarti memusnahkan sifat dengki, jahat, rakus, yang merusak alam,” kata Pambudi Sulistio, salah satu penggagas Merti Kali Boyong.

Nama aneh ular itu untuk mengingatkan kehancuran Sungai Boyong dampak penambangan pasir memakai alat berat.

Sungai Boyong, salah satu dari tiga sungai yang mempunyai hulu di Gunung Merapi dan mengalir melewati atau berada dekat Kota Yogyakarta. Dua lainnya, Sungai Bedog dan Sungai Kuning. Sungai Code, persis membelah kota adalah lanjutan Boyong ini.

Boyong dan Code memiliki keunikan karena seperti garis imajiner dari utara ke selatan, yang menghubungkan antara Merapi, keraton, dan Parangtritis, berada di pantai selatan laut Jawa.

Sekitar tujuh tahun lalu, di hulu Boyong terjadi konflik sosial. Penyebabnya, penambangan pasir Merapi. Warga Dusun Glondong protes penambangan pasir pakai alat berat. Kontraktor yang bekerja untuk Desa Candibinangun, mengklaim pasir merupakan tanah kas Desa Candibinangun yang berbatasan dengan Purwobinangun.

Djiatini sejak 2010 aktif menentang perusakan lingkungan yang mengancam sumber air dan mata pencaharian warga dusun itu.

Rumahnya hanya beberapa puluh langkah dari Sungai Boyong. Sebagian tetangga mencari tambahan penghasilan dari pasir dan batu.

Mereka bekerja dengan peralatan sederhana di Sungai Boyong. Djiatini mendengar sendiri keluh kesah mereka. Dia juga menyaksikan bagaimana para buruh itu bekerja keras menghidupi keluarga.

“Waktu itu ditambang 24 jam. Memakai bego (backhoe). Warga yang biasa mencari batu, pasir, pakai alat sederhana menjadi takut. Mereka juga dilarang mengambili. Padahal mengambil sedikit-sedikit,” kata Tini.

“Orang sini kalau mencari pasir untuk bisa sebanyak satu colt (truk kecil) butuh lima hingga enam hari. Upah mereka Rp10.000 hingga Rp30.000 per hari.”

Tak jarang para buruh pencari pasir dan batu punya kebutuhan mendadak minta bantuan uang kepadanya.

“Kalau mereka datang meminta, saya ada (uang) saya beri. Kalau begini terus ya tidak mampu. Saya merasa prihatin, mau membantu mereka kok tidak berdaya.”

Atas keresahan sebagian tetangga itu, akhirnya dia memutuskan bertemu kepala desa, dan camat untuk mengadukan persoalan warga. Djiatini merasa tak mendapat tanggapan semestinya. Akhirnya dia mengadu ke polisi, di Polsek Pakem.

“Saya melapor. Saya warga Glondong, saya minta diperlakukan sama sebagai warga negara, untuk dilindungi, untuk dibantu. Saya menginap satu hari di kantor polisi tidak mau pulang kalau bego itu tidak berhenti (mengeruk pasir),” katanya.

Hasilnya, backhoe berhenti bekerja pada malam hari, namun siang masih menggali pasir. Warga juga boleh mengambil pasir kembali.

 

Arak-arakan warga tiba di hulu Sungai Boyong. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Setelah mengelilingi dusun, peserta arak-arakan berkumpul di bagian hulu Sungai Boyong. Sebagian membawa umbul-umbul berwarna merah, kuning, dan hitam. Sebagian lain membawa wayang berwarna keperakan. Beberapa orang memakai kostum raksasa, pakaian adat, dan anak-anak memainkan tarian kuda kepang.

Seperangkat gamelan dan pengrawit melantunkan tembang-tembang berisi penghormatan terhadap alam. Dua penari perempuan dengan lemah gemulai turun ke sungai berair dangkal dan terus menari ditingkahi gemericik air Boyong nan jernih.

“Semua ciptaan bisa hidup kalau ada air. Air lestari kalau semua hidup rukun, saling menghargai, tidak rakus,” kata sang dalang, Agus Bima Prayitna, yang memainkan jantur atau seni dongeng Jawa kuno.

Di tengah-tengah gundukan pasir Sungai Boyong, di hadapan peserta dan penonton Merti Kali Boyong, dalang itu menjadi salah satu pemeran dalam lakon besar gelaran budaya ini yang diberi judul Tembang Sedaya Titah (The Song of All Creature).

Selain menjadi juru cerita, dalang sekaligus sutradara yang mengarahkan peserta untuk beberapa aksi, seperti  meminta seluruh peserta mengambil dua batu sungai dan dipukulkan bersama-sama, menghasilkan suara koor batu beradu seperti tepuk tangan.

Kali lain, dalang meminta mereka yang membawa wayang keperakan itu untuk menggoyang-goyangkan wayang hingga menimbulkan suara khas dari lembaran seng yang diterpa angin, berisik.

“Untuk melengkapi atraksi dan menggambarkan banyaknya kepentingan manusia digunakanlah wayang milenium, terbuat dari seng. Hanya bersuara tapi tidak bertindak. Seng seperti memunculkan suara kemeriyik,” kata Pambudi.

Lalu, dua batu dipukul bersama melambangkan politik adu domba. Sisi lain, berarti kekuatan besar di masyarakat yang kalau tak terarah hanya akan menjadi penonton. “Kalau lepas kendali bisa merugikan. Mbalangi.”

Seperti pelaksanaan Merti Kali Boyong sebelumnya, katanya, gelaran budaya ini selalu diadakan merespon persoalan kekinian. Mulai perlawanan warga Glondong atas penambangan pasir Kali Boyong pada 2010, hingga persoalan toleransi dan hidup berbangsa pada 2017.

Dia mengenang kejadian pecah konflik antarwarga. Dulu, katanya,  ada rencana membangun water boom seluas 17 hektar. Terjadi pro kontra.

“Mungkin pro lebih banyak, tetapi teman-teman menyadari kalau itu terwujud, akan ada kesenjangan sosial, ekonomi, dan persoalan lain. Terjadilah perlawanan fisik yang keras. Penyanderaan, pemukulan, karena dari investor dan masyarakat berbeda pandangan.”

Menyadari perlawanan fisik berisiko, strategi aksi lalu diubah tanpa harus keluar dari tujuan awal, menyelamatkan sumber air dan mengembalikan ketentraman warga.

“Muncul pemikiran bersama, bagaimana mengadakan perlawanan tapi tidak dengan jalan kekerasan. Lalu kami menyepakati jalan budaya,” ucap Pambudi.

Lahirlah konsep Merti Kali Boyong itu, suatu upaya menggugah kesadaran dengan simbol-simbol budaya. Bentuknya,  melibatkan sebanyak mungkin warga untuk merasakan, mengalami, dan menangkap pesan pelestarian lewat kesenian.

“Tampaknya dengan cara seperti itu ada langkah positif, yaitu mundurnya investor. Mundur beberapa yang mengampu atau menginginkan proyek terjadi. Kita berhasil menyatukan masyarakat yang sebelumnya terbelah, bersatu kembali.”

Menjelang Merti Kali Boyong usai, Djiatini melarung sepasang pakaian tradisional laki-laki perempuan. Ada kebaya, kain jarik, sorjan, dan iket. Perlahan kain-kain itu hanyut melewati bebatuan, terbawa aliran air Sungai Boyong.

“Kita sudah diberi rezeki oleh Tuhan, harus berbagi ke sesama. Nanti kainnya bisa diambil siapapun. Semoga mendapat berkah, sehat jasmani dan rohani.”

Gunungan pun diperebutkan. Tumpeng dipotong, lalu bagi-bagi ke warga. Makanan tradisional dalam wadah  pincuk ditawarkan ke peserta, di antaranya rombongan Asian Youth Day VII Keuskupan Semarang. Ada doa lintas agama, dan sebatang pohon bodi, pohon yang disebut-sebut dalam kitab suci ditanam di pinggiran sungai.

 

Pembakaran ‘ular’ raksasa di tepi sungai. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,